Barongan Gembong Amijoyo

salah satu tarian di Indonesia
Revisi sejak 3 November 2021 02.42 oleh Dubaya (bicara | kontrib)

Barong Blora merupakan salah satu bentuk kebudayaan Jenis Reog Ponorogo yang ada dan berkembang Kabupaten Blora.

Barongan khas Blora
[Foto Ini Bukan Barongan Blora] Bentuk Barong Blora saat ini yang menyerupai Barong Ponorogo tahun 1920

Sejarah

1. Versi Samin Suro Sentiko

Barongan Blora sendiri dibawa dan dikembangkan oleh Samin Surosentiko setelah tinggal di Sumoroto, Ponorogo, tempat leluhurnya dimana nama Reyog di Sumoroto saat itu lebih populer dikenal Barongan. dari segi bentuk saat itu juga kepala Reyog dengan mulut terbuka dengan mahkota merak yang besar, namun saat di Blora sangat sulit untuk mendapatkan bulu merak, sehingga di ganti dengan bahan ijuk yang di bentuk seperti dadak merak dan di selipkan beberapa bulu merak saja di ijuk sebagai rambut barongan blora.

Samin Surosentiko ke Sumoroto atas perintah ayahnya untuk menemui saudaranya disaat namanya masih Raden Kohar. selama di Sumoroto, Suro Sentiko berganti nama yang sebelumnya raden kohar atas saran saudaranya, serta mendapatkan berbagai pengetahuan seperti bertani, kebatinan, bela diri, barongan serta pemahaman masyarakat Sumoroto yang anti Belanda, terutama kalangan warok. Barongan dari Sumoroto dibawa ke Blora sebagai media menarik simpati rakyat Blora untuk hidup lebih mandiri dan menolak kesewenangan yang merugikan rakyat, kini pola pikir tersebut dikenal dengan ajaran Samin. Namun setelah Suro Sentiko dan Pengikutnya ditangkap kolonial Belanda bahkan merampas Barongan yang digunakan pengumpulan masa dan dilarangnya pementasan barongan di kalangan pengikut inti samin, Kemudian Barongan di dilesetarikan oleh anak keturunan pengikut samin yang ditangkap Belanda, tetapi sebagian keturunan menanggalkan sebagai wong samin, karena dapat terindikasi sebagai pembangkan pemerintah kolonial belanda.

2.Versi Grobogan

Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah Grobogan termasuk Daerah Monconegoro dan pernah menjadi wilayah koordinatif Bupati Nayoko Ponorogo, sehingga Grobogan mendapatkan pengaruh dari budaya Barongan Ponorogo. Barongan di Grobogan dilapisi kulit hewan harimau yang kemudian menyebar ke Blora. Sedangkan Barongan di Blora pada masa itu menggunakan kulit hewan luwak.[1]

3. Versi Giyanti

Dalam babad Giyanti disebutkan bahwa Blora termasuk daerah mancangara yang merupakan bawahan dari bupati Ponorogo, Sehingga pengaruh budaya dari Ponorogo termasuk barongan Ponorogo juga mempengaruhi kebudayaan Di Blora.[1]

Sehingga begitu kuatnya pengaruh ponorogo menyebabkan nama-nama grup barongan di Blora menggunakan nama khas Ponorogo, seperti Singo Lodro, Singo Lodoyo, Menggolo. Dalam perkembangannya, properti Barongan Blora selalu mengikuti properti Barongan Ponorogo, dari busana, gerakan, dan sebagian musik. seperti barongan yang diperankan oleh dua orang, kini hanya di lakukan satu orang saja serta kepala barong yang botak di tengah. Pemerintah Blora mendeklarasikan Barongan Blora sebagai kesenian Khas Blora, meskipun di kota jawa tengah lainnya sendiri masih banyak terdapat group Barongan yang diperankan oleh dua orang, alias Reyog Tradisional.

Dalam Sastra Modern, tokoh Singo Barong (singa raksasa) yang merupakan tokoh utama dalam kesenian barongan, merupakan visualisasi dari semangat para pejuang itu. Boleh jadi para pejuang terinspirasi oleh keberanian dan ideologi Gembong Amijoyo yang merupakan figur asli dari jelmaan Singo Barong. Lirik selanjutnya dari pantun kilat tersebut, barongan moto beling merupakan gambaran sepasang mata Singo Barong yang dibuat dari kelereng berukuran besar dan berbahan dasar kaca.

Parikan ini ingin menyatakan bahwa semangat perjuangan anak bangsa tak mengenal kompromi dalam melawan penjajah Belanda. Hal ini semakin jelas apabila kita mendengar lirik selanjutnya ndhas pethak ditempiling. Menggambarkan semangat para seniman yang waktu itu ingin sekali menempeleng kepala para pejabat Belanda yang kebanyakan berkepala botak.

Tokoh

  • Singo Barong (Gembong Amijoyo)
  • Gendruwon (Joko Lodro)
  • Klono Sewandono
  • Jathilan perempuan (dahulu diperankan oleh remaja laki-laki)
  • Bujang Ganong
  • Seorang Warok (pawang dengan cambuknya)
  • Untub
  • Noyontoko
  • Nggainah
  • Bondet

Barongan Blora Hari Ini

Sebagai bentuk jati diri kesenian dari Blora, kini Barongan di Blora telah terdaftakan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2017 di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski sudah terdaftar dalam WBTB, Sebagian besar kelompok kesenian Barongan di Blora masih menggunakan properti dari Reog Ponorogo terutama pakaian kesenian dan properti jathilan.

Apabila dahulu mata barongan dilapisi cermin, saat ini menggunakan mata reog yang terbuat dari kaca ataupun resin, kerudung reog masih banyak dipakai oleh kalangan seniman barongan di blora untuk menarikan barongan tunggal. Disisi lain juga kerap ditampilkannya tokoh warok, Jathilan, Ganongan dan tarian dadak merak dari reog ponorogo yang di blora disebut dengan Kadak Merak.

Alur Pemenasan

Umumnya pementasan barongan di Blora tidak jauh beda dengan kesenian tradisi lainnya, karena mendapatkan pengaruh yang kuat dari budaya Ponorogo, maka barongan di blora sedikit berbeda dengan kesenian tradisi yang ada di peta kesenian di Jawa Tengah.

kesenian dibuka oleh seorang warok yang menggunkanan penadon dan pecut besar, membaca manta di depan ubo rampe, kemenyan dan barongan. setelah itu barongan ditarikan sebagai tarian pembuka, kemudian tiap grup memiliki selera masing - masing terkait urutan tarian.

Dalam pertunjukan, sering di tampilkan berbagai atraksi kesaktian, setelah itu pertunjukan ditutup dengan tarian Kadak Merak.

Budaya

Beberapa budaya tradisi mensyaratkan keterlibatan kesenian barongan di dalamnya. Tradisi lamporan ritual tolak bala misalnya, mengharuskan keterlibatan barongan. Bahkan, justru Singo Barong yang dianggap sebagai pengusir tolak bala. Tak mengherankan bila kesenian barongan sangat populer dan sangat lekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Blora. Mereka beranggapan bahwa barongan telah berhasil mewakili sifat-sifat kerakyatan mereka, seperti spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, tegas, kekompakan, dan keberanian yang didasarkan pada kebenaran.

Lihat juga

Catatan kaki

  1. ^ YASADIPURA I, Raden Ngabei. BABAD GIYANTI. 

Pranala luar