Dampak lingkungan dari biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari bahan dapat terbarukan (renewable) seperti minyak nabati, minyak hewani[1] atau dari minyak goreng bekas/daur ulang. Senyawa yang digunakan dalam biodiesel dinamakan metil ester lemak (fatty acid methyl ester/FAME)[1]. Minyak tumbuhan yang sering digunakan antara lain minyak sawit (palm oil), minyak kelapa, minyak jarak pagar dan minyak biji kapok randu. Sedangkan lemak hewani seperti lemak babi, lemak ayam, lemak sapi, dan juga lemak yang berasal dari ikan.
Bahan pembuatan
Bahan-bahan mentah pembuatan biodiesel menurut Mittelbach, 2004 adalah:
a. Trigliserida-trigliserida, yaitu komponen utama aneka lemak dan minyak-lemak, dan b. Asam-asam lemak, yaitu produk samping industri pemulusan (refining) lemak dan minyak-lemak.
Biodiesel merupakan monoalkil ester dari asam-asam lemak rantai panjang yang terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewani untuk digunakan sebagai alternatif yang paling tepat untuk menggantikan bahan bakar mesin diesel. Biodiesel bersifat biodegradable, dan hampir tidak mengandung sulfur. Alternatif bahan bakar terdiri dari metil atau etil ester, hasil transesterifikasi baik dari triakilgliserida (TG) atau esterifikasi dari asam lemak bebas (FFA). Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar disel yang dibuat dari sumber yang dapat diperbaharui seperti minyak nabati dan lemak hewan. Dibandingkan dengan bahan bakar fosil, bahan bakar biodiesel mempunyai kelebihan diantaranya bersifat biodegradable, non-toxic, mempunyai angka emisi CO2 dan gas sulfur yang rendah dan sangat ramah terhadap lingkungan. Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan, namun yang paling umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah minyak nabati. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-asam lemak. Akan tetapi, minyak nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol, atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester asam-asam lemak dengan metanol. Perbedaan wujud molekuler ini memiliki beberapa konsekuensi penting dalam penilaian keduanya sebagai kandidat bahan bakar mesin diesel :
- Minyak nabati (yaitu trigliserida) berberat molekul besar, jauh lebih besar
dari biodiesel (yaitu ester metil). Akibatnya, trigliserida relatif mudah mengalami perengkahan (cracking) menjadi aneka molekul kecil, jika terpanaskan tanpa kontak dengan udara (oksigen).
- Minyak nabati memiliki kekentalan (viskositas) yang jauh lebih besar dari minyak diesel / solar maupun biodiesel, sehingga pompa penginjeksi bahan bakar di dalam mesin diesel tak mampu menghasilkan pengkabutan
(atomization) yang baik ketika minyak nabati disemprotkan ke dalam kamar pembakaran.
- Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibanding ester metil asam- asam lemak. Akibatnya, cetane number minyak nabati lebih rendah daripada cetane number ester metil. Cetane number adalah tolok ukur kemudahan menyala/terbakar dari suatu bahan bakar di dalam mesin
diesel.
Di luar perbedaan yang memiliki tiga konsekuensi penting di atas, minyak nabati dan biodiesel sama-sama berkomponen penyusun utama (≥ 90 %-berat) asam-asam lemak. Pada kenyataannya, proses transesterifikasi minyak nabati menjadi ester metil asam-asam lemak, memang bertujuan memodifikasi minyak nabati menjadi produk (yaitu biodiesel) yang berkekentalan mirip solar, cetane number lebih tinggi, dan relatif lebih stabil terhadap perengkahan.
- ^ a b Times, I. D. N.; Creative, Editor IDN. "Benarkah Penggunaan Biodiesel Aman bagi Lingkungan dan Mesin?". IDN Times (dalam bahasa In). Diakses tanggal 2023-09-16.