Kekuatan pangan

Revisi sejak 30 Januari 2022 21.15 oleh Agung Snd (bicara | kontrib) (Paragraf kebijakan)

Kekuatan pangan dalam politik internasional adalah penggunaan pertanian sebagai alat kontrol politik di mana satu negara atau kelompok negara menawarkan komoditas kepada, atau menahannya dari negara atau kelompok negara lain untuk kepentingan tertentu. Potensi penggunaannya sebagai senjata diakui setelah penggunaan minyak OPEC sebelumnya pernah digunakan sebagai senjata politik. Pangan memiliki pengaruh besar terhadap tindakan politik suatu bangsa. Mengantisipasi kekuatan pangan sebagai senjata, suatu negara akan berusaha bertindak untuk memenuhi ketersediaan pangan warganya.[1][2]

Panen jagung di Iowa, Amerika Serikat

Kekuatan pangan merupakan bagian integral dari politik pangan. Gagasan penggunaan kekuatan pangan telah digunakan dalam embargo, lapangan kerja, dan politik pangan. Agar suatu negara dapat memanfaatkan kekuatan pangan secara efektif, negara tersebut harus mampu secara efektif menerapkan dan menampilkan kelangkaan, penguasaan pasokan, penyebaran permintaan, dan kemandirian tindakan.[3] Pada tahun 1970-an, empat negara pengekspor komoditas pertanian dalam jumlah yang dianggap cukup sebagai sebuah pengerahan kekuatan pangan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.[1] Saat ini empat negara yang mendominasi produk pangan dunia yaitu Amerika Serikat, Brazil, India, dan China.[4] Dalam skala yang lebih kecil, khususnya di beberapa negara Afrika, kekuatan pangan telah digunakan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang berseberangan dalam perang saudara dan konflik melawan rakyatnya sendiri.[3][5][6]

Latar belakang sejarah

Pada era 1970-an, empat negara ini memiliki kemampuan mengekspor komoditas pertanian dalam skala yang dianggap cukup sebagai kekuatan pangan hipotetis, yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.[1][2]Ketergantungan negara-negara yang kekurangan pangan kepada negara pengekspor utama itu mungkin akan menyebabkan krisis pangan seandainya pasokan dihentikan. Akan tetapi, sementara para pemimpin politik di negara-negara pengimpor pangan dilanda kekhawatiran atas ketergantungan mereka, negara-negara pengekspor tadi umumnya tidak menahan karena produsen pertanian di negara-negara tersebut menekan pemerintah mereka untuk terus mengekspor.[7]

Kebijakan

Politik pangan adalah aspek politik produksi, pengendalian, pengaturan, pemeriksaan, dan distribusi pangan. Politik itu sendiri dapat dipengaruhi oleh perdebatan etika, budaya, medis dan lingkungan tentang bagaimana bercocok tanam yang tepat, metode pertanian dan pemasaran, juga regulasi-regulasi yang mengaturnya. Kekuatan pangan merupakan bagian integral dari politik pangan.[1][2]

Pangan adalah senjata”, kata Earl Butz, Sekretaris Pertanian Amerika Serikat, pada tahun 1974.[4] Politik minyak OPEC membuka kemungkinan bagi Amerika untuk menggunakan pangan sebagai alat untuk menghadapi negara-negara lain demi tercapainya tujuan-tujuan mereka.[4] Beberapa alternatif penggunaan kekuatan pangan bisa terjadi. Seorang importir dapat menolak untuk melanjutkan impor kecuali ada konsesi politik. Efeknya sama dengan kasus eksportir yang menolak untuk mengekspor.[3] Salah satu contoh yaitu pengurangan kuota gula Kuba oleh Amerika. Secara sederhana, dalam kondisi permintaan yang dimonopoli (satu importir menjadi pembeli dominan) sementara pasokannya tersebar (beberapa eksportir bersaing untuk menjual produk yang sama), importir dapat memanfaatkan kesenjangan ini secara politis demi meraih keuntungan. Hal itu akan sangat efektif terutama jika eksportir tidak punya banyak pilihan kecuali mengekspor (kemandirian rendah).[3]

Kekuatan pangan dan ketahanan pangan

Kekuatan pangan dan embargo

Penerapan

Kondisi struktural

Penerapan sebagai senjata ekonomi

Amerika Serikat

Afrika

Sudan

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c d Wallensteen, Peter (1976). "Scarce Goods as Political Weapons: The Case of Food". Journal of Peace Research. 13 (4). doi:10.1177/002234337601300402. 
  2. ^ a b c Thompson, Paul B.; MacLean ·, ‎Doug (1992). The Ethics of Aid and Trade: U.S. Food Policy, Foreign Competition, and Social Contract. Cambridge University Press. hlm. 20–40. 
  3. ^ a b Владимирович, ринкевич Владислав (3 April 2014). "Food as a Weapon". HSE University. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  4. ^ Ross, Sean (29 April 2021). "4 Countries That Produce the Most Food". Investopedia. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  5. ^ Human Rights Watch (8 Februari 1999). "Famine in Sudan 1998". Human Right Watch. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  6. ^ Grunwald, Michael (1 Januari 2003). "In Hungry Zimbabwe, Food Used as Political Weapon". Washington Post. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  7. ^ Paarlberg, Robert L. (2015). Hard Case: What Blocks Improvement agriculture in Africa? Dalam Ronald J. Herring (ed.). The Oxford Handbook of Food, Politics, and Society. Oxford: Oxford University Press.