Slow Food
Slow Food (Indonesia: Makanan Lambat) adalah gerakan global yang didirikan pada tahun 1989 oleh Carlo Petrini dengan tujuan untuk menyelamatkan rasa dan produk tradisional di seluruh dunia, melawan kebangkitan gaya hidup cepat, dan memberikan advokasi tentang bagaimana pilihan makanan kita dapat mempengaruhi dunia di sekitarnya.[1] Gerakan ini muncul sebagai respons atas pembukaan gerai makanan cepat saji, Mc Donald’s, di monumen Spanish Steps, Roma, Italia yang dianggap akan mengancam eksistensi hidangan tradisional Italia.[2] Apa yang dikhawatirkan Petrini dan warga Italia ini ternyata mendapat dukungan dari negara-negara lain, sehingga disepakatilah Manifesto Slow Food yang menandai kelahiran organisasi Slow Food internasional.[3]
Slow Food menyebarkan filosofi gerakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip makanan yang baik (good), bersih (clean), dan adil (fair).[4] Dalam praktiknya, hal itu diwujudkan melalui proyek-proyek seperti: Ark of Taste, Presidia, Aliansi Juru Masak, Pasar Bumi, Dana Ketahanan, dan Terra Madre Salone del Gusto.[5] Seiring berjalannya waktu, gerakan ini bahkan mempelopori kampanye lain terkait produk pangan tertentu (Slow Cheese, Slow Meat, Slow Fish, dan Slow Wine), wisata berkelanjutan (Slow Food Travel) maupun komunitas pemuda (Slow Food Youth Network).[6][7][8][9][10][11] Jaringan anggota gerakan Slow Food terdiri dari produsen, juru masak, akademisi, dan aktivis makanan yang tersebar luas di benua Amerika, Eropa, Asia, Oseania, dan Afrika. Dalam menjalankan misinya, mereka senantiasa mengacu pada prinsip dan proyek utama Slow Food, tetapi tetap memiliki proyek khas sesuai negaranya.[12] Walau telah diadopsi di banyak negara, gerakan ini nyatanya masih menimbulkan pro dan kontra terkait metode dan potensi biasnya.[13]
Sejarah
Restoran McDonald's membuka gerainya di jantung Piazza di Spagna, Spanish Steps, Roma, Italia pada 20 Maret 1986. Rantai burger Amerika itu telah menetapkan Piazza di Spagna sebagai lokasi McDonald's terbesar di dunia dengan tempat duduk berkapasitas 450 orang. Warga Italia sangat marah akan gagasan budaya Amerika yang dianggap mengancam eksistensi hidangan tradisional Italia dan merusak situs bersejarah mereka (monumen Spanish Steps). Sebagai respons akan hal tersebut, ribuan orang Italia menyerbu Piazza untuk berunjuk rasa. Protes pun tak terhindarkan.[2][14]
Jurnalis dan praktisi kuliner, Carlo Petrini, memimpin protes kelompok penentang globalisasi makanan cepat saji. Sambil menyodorkan semangkuk pasta penne pada orang-orang yang lewat, Petrini dan kawan-kawannya meneriakkan slogan, "Kami tidak ingin makanan cepat saji... Kami ingin makanan lambat (slow food)!". Hidangan pasta dipilih sebagai simbol, cita rasa, dan memori dari budaya dan tradisi Italia untuk melawan homogenisasi makanan.[14]
Desainer Italia bernama Valentino yang bergabung dalam unjuk rasa mengeluhkan McDonald's telah mencemari studio adibusananya dengan kebisingan dan bau gorengan. Ia pun turut pula mengambil tindakan hukum dengan meminta Hakim Domenico Bonacorso agar segera menutup gerai makanan cepat saji tersebut. Para pengunjuk rasa lainnya menyuarakan bahaya makanan cepat saji. Mereka meneriakkan ''degradasi Roma'' dan ''Amerikanisasi'' budaya Italia jika McDonald's diizinkan untuk terus melakukan bisnis di negeri pasta. Tak hanya itu, pengunjuk rasa juga membuang bungkus hamburger di pelataran gerai-gerai lain yang ada di Roma. Atas ajuan Partai Komunis, Dewan Kota Roma lantas mengancam akan menangguhkan lisensi pemilik McDonald's tersebut yakni Jacques Bahbout terkait dugaan degradasi pusat bersejarah, sampah, masalah kesehatan, dan kemacetan lalu lintas.[2][15]
Seusai aksi unjuk rasa yang begitu besar itu, Petrini selaku pemimpin protes menyadari bahwa aksi tersebut tak dapat mengusir McDonald's dari Italia. Segera setelah itu, ia dan beberapa orang yang peduli terhadap pelestarian masakan tradisional memulai sebuah organisasi bernama Arcigola, yang menjadi cikal bakal Slow Food. Arcigola mengemban misi untuk melindungi kepentingan produsen makanan skala kecil, mempromosikan kenikmatan, dan rasa makanan yang baik. Tiga tahun setelah unjuk rasa, tepatnya pada 1989, Petrini dan perwakilan dari 15 negara bertemu di Paris untuk menandatangani Slow Food Manifesto, yang menentang apa yang mereka gambarkan sebagai “fast life”. Momen ini meresmikan lahirnya gerakan Slow Food internasional.[12][3]
Meskipun gagasan tentang gerakan ini berasal dari budaya makanan Italia, Slow Food tidak hanya terbatas di Italia. Saat ini, Slow Food telah menyebar ke 160 negara di seluruh dunia dan telah merangkul lebih dari satu juta anggota, sukarelawan, dan aktivis.[3]
Prinsip
Setiap anggota organisasi Slow Food diminta untuk mempraktikkan dan menyebarluaskan konsep kualitas makanan yang baru, lebih tepat dan, pada saat yang sama, lebih luas berdasarkan tiga prasyarat dasar yang saling berhubungan. Tiga prasyarat itu adalah baik (good), bersih (clean), dan adil (fair). Makanan yang baik mengacu pada makanan yang mampu menghasilkan kenikmatan saat dikonsumsi, memenuhi kriteria keaslian dan kealamian. Makanan bersih mengikuti prinsip keberlanjutan, menghormati hubungan sosio-lingkungan, dan membawa kesejahteraan. Sedangkan, kriteria adil mengacu pada makanan yang memiliki produksi, budidaya, dan perdagangan yang terhormat, adil, dan bermartabat bagi produsen dan pihak lain yang terlibat.[14][4] Setiap konvivia (cabang lokal) akan beroperasi sesuai dengan tiga prasayarat utama dalam piagam Slow Food, tetapi tujuan dan praktiknya akan unik untuk setiap lokasi dan anggota.[14]
Proyek
Sebagai sebuah gerakan, Slow Food mengusung proyek-proyek yang bertujuan untuk melindungi keragaman hayati dan melestarikan hidangan tradisional dunia. Proyek-proyek tersebut antara lain:
Ark of Taste
Ark of Taste mewakili katalog keanekaragaman hayati, budaya dan tradisional terbesar di dunia yang terkait dengan pangan dan pertanian.[16] Ark of Taste menjadi langkah awal dalam strategi penyelamatan keanekaragaman hayati. Dengan proyek ini, Slow Food berusaha untuk meningkatkan kesadaran tentang makanan dan keanekaragaman hayati pertanian; mengidentifikasi varietas tanaman, jenis hewan, dan produk makanan tradisional (roti, keju, daging yang diawetkan, manisan, dll); menyoroti risiko hilangnya produk makanan tradisional; dan mendorong tindakan lembaga pendidikan maupun konsumen untuk melindungi produk-produk tersebut.[5]
Kriteria produk Ark of Taste:
Produk harus berkualitas menarik dan dapat berupa: spesies domestik (varietas tanaman, ras hewan asli); spesies liar (hanya jika terkait dengan teknik pengumpulan, pengolahan atau penggunaan tradisional); dan produk olahan.
Varietas asli atau lokal dapat diidentifikasi dengan jelas dan biasanya memiliki nama lokal. Varietas tersebut sering muncul dari seleksi oleh petani individu atau masyarakat dan ditandai dengan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan suatu daerah. Akibatnya varietas tersebut lebih kuat, tahan terhadap stres, dan tidak membutuhkan input eksternal (air, pupuk, dll) secara berlebihan. Varietas asli terkait erat dengan budaya suatu komunitas (misal: adat istiadat, resep, pengetahuan, dan dialek). Contoh varietas asli antara lain: Apel Carla (Italia), kubis Lorient (Prancis), dan lobak Akkajidaikon (Jepang).[16]
Sementara itu, ras hewan asli terkait dengan area spesifik dengan berbagai ukuran di mana hewan tersebut telah berkembang atau beradaptasi secara alami dari waktu ke waktu. Ras hewan umumnya hanya membutuhkan sedikit perhatian dan makanan pada lingkungan ekstrim. Ras hewan asli ini juga dihubungkan ke produk-produk seperti daging, susu, keju, atau produk daging yang diawetkan. Pengakuan dan pendaftaran hewan sebagai ras hewan asli dalam katalog Ark of Taste umum dilakukan melalui aksi kolaboratif para peternak. Contoh ras hewan asli antara lain: sapi Mirandais, yakni jenis sapi yang berasal dari Gers di wilayah Midi-Pyrénées, Prancis; ayam betina putih Saluzzo dari Piedmont, Italia; dan domba Villsau dari pantai barat laut Norwegia (salah satu ras domba tertua yang masih bertahan di Eropa Utara).[16]
Seperti halnya ras hewan asli, populasi hewan juga dapat didaftarkan dalam Ark of Taste. Populasi hewan merujuk pada sekelompok individu dari spesies yang sama dengan karakteristik terkait yang tidak termasuk ras hewan asli. Populasi ini dapat dikenali peternak melalui karakteristik yang terlihat (bulu, ukuran, bentuk tanduk atau ekor) dan perilaku (produktivitas dan kesuburan). Contoh dari populasi hewan ialah ayam Mushunu Molo di Kenya dan kambing Roccaverano di Italia.[16]
Untuk produk liar, hewan dan tumbuhan ditinjau terkait dengan metode panen tradisional, penangkapan ikan atau teknik pengolahan sesuai budaya setempat. Ark of Taste menekankan bahwa dengan menjaga produk liar berarti kita melindungi pengetahuan yang diturunkan dalam masyarakat. Hal ini secara langsung akan melestarikan ekosistem tempat produk ini tumbuh, seperti hutan, gunung, dan danau. Dalam dunia hewan misalnya, ikan adalah kelompok spesies liar besar yang paling beragam. Oleh karena itu, dimungkinkan untuk menominasikan berbagai ikan yang berhubungan dengan teknik penangkapan ikan tradisional atau metode pengawetan (seperti pengasinan, pengeringan atau pengasapan). Beberapa contoh produk liar dikaitkan dengan teknik yang kompleks, seperti beras Manoomin (AS) yang dipanen dengan kano lalu dikeringkan dan diasap, atau kopi liar dari Harenna (Ethiopia) yang dijemur lalu dipanggang. Produk lainnya terkait dengan teknik yang lebih sederhana, seperti tumbuhan radìc di mont (Italia) yang dikumpulkan di pegunungan dan diawetkan dalam minyak zaitun murni. Produk liar seperti ini dapat menjadi kuliner, kosmetik, atau bahkan obat-obatan.[16]
Sementara itu, produk olahan dalam Ark of Taste mengacu pada keju, daging yang diawetkan, roti, hidangan penutup, minuman, pengawet dan produk yang telah berevolusi untuk melestarikan bahan asalnya (susu, daging, ikan, sereal, dan buah). Berbagai produk ini merupakan hasil pengetahuan, kreativitas, dan keterampilan yang diwariskan secara turun temurun di setiap penjuru dunia.Dalam konteks ini, variasi terkecil dapat menghasilkan makanan yang sangat berbeda. Misalnya saja, ribuan jenis keju yang dihasilkan dari tiga bahan yang sama (susu, rennet, dan garam), atau daging yang diawetkan, di mana terkadang satu-satunya perbedaan hanya terletak pada potongan dagingnya, rempah-rempah atau jenis kayu yang digunakan untuk pengasapan. Praktik pengolahan artisanal memungkinkan penciptaan produk tertentu yang unik, relevan dengan budaya lokal, dan bersifat melindungi produsen dari fluktuasi musim dan minat pasar. Langkah ini juga diyakini dapat melindungi varietas tanaman dan ras hewan asli lokal dengan cara mempromosikan produk olahan yang terkait dengannya. Katakanlah, keju atau daging yang diawetkan dapat menyelamatkan ras hewan asli, sementara roti dapat menyelamatkan jenis gandum yang terancam punah.[16]
Produk harus memiliki kualitas sensori tertentu, seperti yang ditentukan oleh tradisi dan kegunaan lokal.
Dalam kurasi produk Slow Food, katalog Ark of Taste memperhatikan aspek-aspek seperti: asal produk, iklim daerah penghasil, tujuan penggunaan (festival, upacara, atau makanan rakyat), teknik pengolahan, dan metode pengawetan. Seluruh aspek tersebut kemudian ditinjau melalui analisis sensori (pencicipan) untuk mengevaluasi aspek organoleptiknya. Suatu produk dikatakan menarik jika bersifat kompleks, artinya kaya akan rasa, menawarkan persepsi unik, dan bertahan lama. Analisis sensori bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kerusakan suatu produk pangan (ketengikan dan keasaman), mengidentifikasi karakteristik organoleptik utama (aroma, rasa, dan konsistensi), memahami adanya keseimbangan dan keselarasan antara berbagai komponen rasa dan aroma, serta mengenali produk yang mengekspresikan wilayah dan tipologinya. Dalam pandangan Slow Food, unsur yang tampak sebagai tanda kerusakan bisa jadi merupakan ciri khas suatu daerah ataupun selera lokal dan topologinya. Sebagai contoh, rasa pahit pada keju kambing tergolong sebagai tanda kerusakan. Namun, dalam beberapa varian keju sapi alpine, rasa pahit adalah sebuah karakteristik khasnya.[16]
Produk harus terhubung dengan suatu wilayah, memori, identitas, dan pengetahuan lokal tradisional suatu komunitas.
Wilayah adalah elemen kunci bagi keanekaragaman hayati. Produk yang diklaim tradisional akan terkait tak hanya dalam hal iklim dan lingkungan, tetapi juga dalam konteks budaya dan sejarah. Produk artisanal misalnya, tidak pernah sama karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Dari mulai ketinggian, komposisi tanah, iklim, pengetahuan lokal, hingga kreativitas sang pengrajin. Sebagai contoh ialah ricotta yang diproduksi di seluruh Sisilia dapat dibuat dari beragam susu (sapi, domba, kambing atau campuran) dan diolah dengan berbagai cara (dipanggang, diasap, digumpalkan dengan cabang-cabang pohon ara, dan sebagainya). Sehingga, produk-produk dengan nama yang sama, tetapi memiliki pembeda sebagai kekhasan wilayahnya dapat dimasukkan dalam Ark of Taste. Beberapa contohnya: hidangan slatko prem dari Bosnia dan Herzegovina dan slatko ara liar dari Makedonia; hidangan freekeh Jabal ‘Amel dari Lebanon, freekeh dari Jenin di Palestina, atau dari Idleb di Suriah; dan keju feta asal Yunani, Turki, dan Makedonia.[16]
Produk harus diproduksi dalam jumlah terbatas.
Produk yang tercatat dalam Ark of Taste terikat pada wilayah tertentu dan pengetahuan komunitas. Kedua elemen inilah yang menentukan batasnya. Tidak mungkin meningkatkan kuantitas yang diproduksi melebihi batas tertentu tanpa secara mendasar mengubah sifat produksi. Jika volume yang dihasilkan tumbuh begitu besar atau terlalu cepat, hal ini akan meningkatkan luas produksi tanaman yang mengarah ke model monokultur ataupun intensifikasi hewan yang berakibat pada risiko impor bahan utama. Hal-hal semacam ini tidak diizinkan dalam produk Slow Food.[16]
Produk harus beresiko punah.
Risiko hilangnya produk tradisional ditandai dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memproduksinya hanya dimiliki oleh satu atau beberapa produsen, terutama para manula. Atau juga bisa sebuah produk yang hanya bertahan dalam tradisi keluarga (produk rumahan) dan tidak ada di pasaran. Di Balkan dan banyak negara bekas jajahan Uni Soviet misalnya, perusahaan kecil milik pribadi sebelumnya tidak ada, yang ada hanyalah koperasi publik. Di negara-negara tersebut, produk artisanal hanya bertahan dalam keluarga dan sedikit yang dijual di pasaran, sehingga terancam punah di masa-masa mendatang. Selain itu, hal-hal lain yang dapat memicu kepunahan produk tradisional antara lain: perubahan tren konsumsi, pasar yang tidak lagi menghargai produk tradisional, depopulasi daerah dan emigrasi untuk mencari mata pencaharian baru, perubahan atau hilangnya ekosistem dan lanskap pedesaan, hilangnya dukungan dari kebijakan pertanian nasional dan internasional, dan kurangnya perhatian dari institusi.[16]
Presidia
Presidia (tunggal: Presidium) adalah proyek yang dibangun sejak tahun 1999, di mana Slow Food bekerja dengan kelompok produsen skala kecil untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi, menyatukan produsen yang terisolasi dan menghubungkan mereka dengan pasar alternatif yang lebih peka terhadap situasi mereka. dan menghargai kualitas produk mereka.[5]
Presidia dapat bekerja untuk melindungi[17]:
Produk tradisional yang terancam punah (produk Ark of Taste);
Mayoritas Presidia termasuk dalam kategori ini, yakni berfokus pada produksi produk yang terdaftar dalam Ark of Taste. Beberapa contohnya antara lain: Presidia untuk domba Navajo-Churro (AS),[18] roti gandum hitam Müstair (Swiss),[19] sosis Mangalica (Hongaria),[20] keju Maiorchino (Italia),[21] safron Taliouine (Maroko),[22] stroberi putih Purèn (Chili),[23] dan lada hitam Rimbàs (Malaysia).[24]
Praktik produksi tradisional yang terancam punah.
Sebuah teknik tradisional berisiko hilang karena berbagai alasan, baik karena pengetahuan dan keterampilan yang hanya dimiliki generasi tua ataupun kaum muda yang berpindah ke tempat lain dan memilih profesi berbeda. Beberapa teknik tradisional seperti memancing, beternak, dan produksi sangat penting tidak hanya karena alasan budaya atau identitas, tetapi juga karena teknik tersebut menjamin kelestarian lingkungan (dampak rendah) dan meningkatkan ekonomi lokal.[17] Beberapa contohnya antara lain: Presidium Camogli Tonnarella dan Presidium kacang Smylian. Presidium Camogli Tonnarella (Italia) yang melindungi sistem penangkapan ikan 'tonnarella' kuno dengan cara melemparkan jarring selama enam bulan ke laut dari April hingga September dan hanya menangkap ikan berukuran sedang dan besar (ikan makarel, bonito Atlantik, garfish, dan lainnya).[25] Sedangkan, Presidium kacang Smylian (Bulgaria) melindungi kacang yang ditanam di lembah yang tidak tercemar dengan kondisi iklimnya bersuhu sedang di musim panas dan memiliki perbedaan suhu yang besar antara siang dan malam. Komunitas di pegunungan kecil Bulgaria telah membudidayakan kacang tersebut selama lebih dari 250 tahun dengan catatan setiap keluarga merawat sebidang kecil tanah, menanam kacang dengan jagung atau kentang, menghindari penggunaan pupuk kimia, dan tidak menguras tanah.[26]
Lanskap atau ekosistem pedesaan yang terancam punah.
Lanskap juga berisiko menghilang akibat ditinggalkan (depopulasi akibat emigrasi), praktik perampasan tanah, deforestasi atau bahkan eksploitasi secara berlebihan karena industralisasi. Beberapa bentuk keanekaragaman hayati yang terancam punah seperti ras hewan asli lokal dan tanaman hutan hanya dapat diselamatkan jika lanskap atau ekosistem agraria tertentu bertahan. Dalam hal ini, Presidia dapat menjaga lanskap dan melindungi praktik pertanian kuno tertentu (seperti pembuatan teras dengan dinding batu untuk menahan tanah yang tidak stabil). Sebagai contoh, Presidium Maestrat Millenary Tree Extra-Virgin Oil (Spanyol) yang bekerja untuk melestarikan pohon Farga berusia lebih dari 800 tahun yang rentan ditebang, melalui produksi minyak zaitunnya.[27]
Sementara itu, terdapat dua aspek yang harus selalu diverifikasi dalam proyek Presidia, antara lain ialah aspek pelestarian lingkungan (“bersih”) dan keberlanjutan sosial serta ekonomi (“adil”). Pelestarian lingkungan menyangkut teknik budidaya yang menjaga kesuburan tanah dan ekosistem hidrografik, menghindari penggunaan bahan kimia sebanyak mungkin, mempertahankan metode tradisional budidaya dan pengelolaan lahan (jika memungkinkan), melarang penanaman monokultur, dan peternakan intensif serta produk rekayasa genetika. Di mana seluruh batasan ini harus didasarkan pada pedoman umum Slow Food ketika pengembangan protokol produksi apa pun. Sedangkan, keberlanjutan Presidia menyangkut peran aktif produsen dalam mempengaruhi keputusan bisnis. Produsen dapat mengembangkan Presidia dengan bersatu dalam badan kolektif (misalnya asosiasi, konsorsium, koperasi) dan menetapkan harga yang adil dan transparan. Dengan itu, produk Presidia yang sebagian besar dibuat di daerah marginal (pegunungan tinggi, pulau-pulau terluar, dan daerah pedesaan terpencil) dapat memperoleh harga yang memadai dan menguntungkan sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial ekonomi warga terkait.[17]
Aliansi Juru Masak
Slow Food meluncurkan proyek aliansi koki makanan lambat yang disebut dengan Slow Food Cooks' Alliance untuk meningkatkan kesadaran dalam industri restoran terkait tantangan yang dihadapi petani skala kecil dan pengrajin makanan (artisanal) yang senantiasa melindungi keanekaragaman hayati sumber pangan dan merawat alam yang rapuh. Proyek ini dilatarbelakangi oleh banyaknya juru masak yang terbiasa menggunakan model pasokan bahan makanan dari grosir dan distribusi skala besar karena alasan kepraktisan. Hal-hal seperti itulah yang lantas mengakibatkan hilangnya keterkaitan antara masakan tradisional dengan produksi pangan lokal.[17]
Beragam gerakan telah dilakukan melalui aliansi juru masak. Aliansi juru masak Slow Food di Kolombia misalnya, meluncurkan publikasi harian resep yang menampilkan produk lokal dan menyerukan kepada para keluarga untuk membeli makanan dari produsen lokal. Ada Altin Prenga, seorang juru masak di Mrizi i Zanave, Albania yang mengajak para juru masak dan pelayan di restorannya untuk bersama-sama merawat kebun makanan yang berisiko ditinggalkan oleh penduduk setempat.[5] Sementara itu, bekerja sama dengan aliansi juru masak Afrika Selatan (South African Chefs Association) dan sebuah asosiasi penyelamat limbah makanan bernama NOSH Food Rescue, Slow Food berhasil mengorganisir sebuah proyek penyelamatan bahan makanan segar yang berisiko dibuang dan mengolahnya sebagai hidangan baru. Sebanyak 1.382.362 hidangan baru dikirimkan kepada orang-orang yang sedang membutuhkan.[28]
Pasar Bumi
Pasar Bumi (Indonesia: Earth Markets) adalah jenis khusus pasar petani yang dibuat dan dijalankan oleh komunitas lokal jaringan Slow Food berdasarkan prinsip baik, bersih, dan adil. Hanya produk lokal dan musiman yang dijual langsung oleh produsen, di mana produsen memastikan bahwa seluruh produknya dijual dengan harga yang wajar, baik bagi yang membelinya maupun yang memproduksinya. Pasar Bumi bukan hanya tempat jual beli makanan, melainkan juga sebuah ruang untuk membangun komunitas, mengedukasi, dan melindungi identitas budaya, sejarah, dan tradisi.[5]
Dengan hampir 70 Pasar Bumi yang beroperasi di seluruh dunia, masing-masing berfungsi sebagai bagian integral dari komunitas lokal dalam membangun sistem pangan alternatif. Tidak seperti rantai distribusi besar yang menciptakan jarak antara konsumen dan produk yang mereka beli, Pasar Bumi berfokus pada produksi skala kecil dan artisanal, sehingga memberikan konsumen kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan makanan yang mereka konsumsi. Di Pasar Bumi, selera yang baik dan tanggung jawab sosial-lingkungan disampaikan melalui pendidikan rasa. Beberapa pasar bekerja sama dengan sekolah untuk menyediakan kegiatan ekstra kurikuler rasa, sementara yang lain mengatur acara kuliner dengan mendatangkan para pakar kuliner dan pecinta makanan untuk bertukar pengalaman bermakna.[29]
Pasar Bumi mengusung konsep unik di berbagai lokasi jaringan Slow Food. Pasar Bumi Finca Vista Hermosa di Havana, Kuba didirikan untuk mempromosikan konsep “farm-to-table” menurut prinsip-prinsip agroekologi Kuba, praktik pertanian yang baik, dan tradisi pertanian lokal. Sebagai sebuah pertanian keluarga dengan luas lebih dari 60 hektar, La Finca Vista Hermosa selama lima generasi telah didedikasikan untuk memproduksi sayuran, susu, keju, dan daging sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan. Pasar Bumi ini diadakan pada Hari Minggu setiap 3 bulannya, dari pukul 10 hingga tiga sore dalam bentuk presentasi, konferensi, pameran, dan kunjungan terpadu yang berpusat pada metode pertanian berkelanjutan.[29] Sementara itu, ada juga Pasar Bumi Bergamo di Italia yang menyelenggarakan kegiatannya dua kali dalam sebulan pada Sabtu ke-2 dan ke-4, dari pukul sembilan hingga dua siang. Diresmikan pada April 2016, Pasar Bumi Bergamo berfokus pada promosi kebiasaan makan yang baik dan sehat, khususnya terkait pangan lokal yang berkelanjutan. Pasar ini menyelenggarakan diskusi dan lokakarya mengenai beragam topik, seperti fermentasi, keanekaragaman hayati, penyerbukan alami, dan tanaman obat, serta hubungan nutrisi makanan dengan kekayan budaya di kawasan tersebut.[29] Beradaptasi dengan pandemi COVID-19, Pasar Bumi Bergamo menambah layanan antar produk menuju rumah.[5]
Dana Ketahanan
Setelah kongres internasional di Chengdu, Cina tahun 2017, Slow Food setuju untuk mengidentifikasi sebuah model organisasi baru yang lebih terbuka, inklusif, dan berakar di area lokal.[30] Di Italia, komunitas ini disebut dengan Comunità del cambiamento, yang berarti “komunitas perubahan”.[5] Dana ketahanan (disebut: Slow Food Resilience Fund), yakni dana yang digalang oleh Slow Food dan ditujukan untuk mendukung komunitas-komunitas lokal tersebut. Komunitas-komunitas ini ialah mereka yang menjalankan proyek bersama dengan perusahaan, individu, dan pemangku kepentingan berdasarkan komitmen untuk mencapai perubahan dalam sistem pangan lokal melalui adopsi praktik yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Dana ini dikucurkan untuk mengatasi krisis, memulihkan pertumbuhan, dan menjadikan komunitas lebih kuat ke depannya.[30]
Melalui proyek dana ketahanan, FPT Industrial memutuskan untuk mendanai nelayan yang berada dalam Presidium Prud'homies Mediterania. Dalam praktiknya, proyek yang didanai ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi rantai produksi pendek dan rantai dingin dengan cara meningkatkan praktik bongkar muat nelayan, praktik penanganan, pemrosesan, dan pemilahan yang sesuai, aman dan efisien. Dana ini juga digunakan untuk menyediakan fasilitas ruang dan peralatan berpendingin guna memproses hasil tangkapan per harinya.[31] Sementara di Brasil, inisiatif dana ketahanan diorganisir untuk membeli 1.450 kg produk agroekologi dari jaringan Slow Food. Produk-produk ini kemudian didistribusikan ke keluarga-keluarga di cagar alam laut Costeira do Pirajubaé (Resex Pirajubaé). Sedangkan, anggota Slow Food Honduras Tegucigalpa Gastronómica mengumpulkan sumbangan untuk mendukung petani lokal (produsen skala kecil di daerah Tatumbla dan Uyuca di Francisco Morazán) yang tidak lagi memiliki akses ke pasar karena COVID-19.[5]
Terra Madre Salone del Gusto
Terra Madre Salone del Gusto adalah pameran gastronomi internasional terbesar di dunia yang diadakan setiap dua tahun sekali.[5] Acara ini merupakan gabungan dari dua acara yang sebelumnya terpisah: Salone del Gusto, festival makanan berbasis di Italia yang menyatukan lebih dari seribu produsen skala kecil Italia; dan, Terra Madre, ruang dua tahunan untuk jaringan internasional produsen kecil dari lebih dari 170 negara yang berpotensi untuk terhubung satu sama lain, memperdebatkan isu-isu yang mempengaruhi mata pencaharian mereka, dan menampilkan produk mereka kepada audiens internasional.[32] Penggabungan Terra Madre Salone del Gusto telah berlangsung sejak 2012 dan menarik perhatian banyak pembicara terkenal, seperti Pangeran Charles dari Inggris, Vandana Shiva, Jamie Oliver (koki Inggris), dan Michelle Obama.[33]
Pelaksanaan Terra Madre Salone del Gusto dikemas dalam bentuk pasar raksasa dan beberapa kegiatan lainnya, yakni konferensi, forum, bincang pangan, lokakarya rasa, dan demo masak. Beberapa tema yang diangkat pada acara ini antara lain: Family Farm as the United Nations (2014), Loving the Earth (2016), Food for Change (2018), dan Our Food, Our Planet, Our Future (2020).[32][34][5] Terkhusus untuk tahun 2020, acara ini diadakan secara daring dengan jangkauan mencapai lebih dari 10 juta profil digital dari 202 negara di dunia.[5]
Jaringan Tematik
Seiring berjalannya waktu, Slow Food melahirkan kampanye spesifik dengan tetap berpedoman pada katalog Ark of Taste. Gerakan tersebut diantaranya:
Slow Cheese
Untuk pertama kalinya, Slow Food mengadakan festival internasional yang disebut dengan Cheese pada tahun 1997. Bertempat di Bra, Italia, festival ini didedikasikan untuk produk susu, di mana saat ini festival tersebut telah berlanjut menjadi acara dua tahunan.[35] Serius menggarap produk keju, Slow Food kemudian menyusun Manifesto dalam Pertahanan Keju Mentah (Inggris: The Manifesto in Defense of Raw Milk Cheeses) dan membidani peluncuran kampanye Slow Cheese di tahun 2001.[6]
Gerakan Slow Cheese berupaya untuk mempertahankan daerah yang rapuh (pegunungan), memberikan penghargaan pada pernggembala, menyelamatkan ras hewan asli yang terancam punah, mendukung sistem pertanian yang selaras dengan lingkungan, dan menambah nilai keju yang dibuat tanpa menggunakan kultur starter industri. Berkat gerakan ini, Slow Food berhasil mencatat 500 keju dalam Ark of Taste. Ribuan penggembala dan pembuat keju telah disatukan melalui Presidia untuk menyelamatkan lebih dari 100 keju tradisional di lebih dari 50 negara di seluruh dunia.[6]
Salah satu jenis keju yang dilestarikan melalui kampanye Slow Cheese ialah keju merah Lluta dari Arequipa, Andes, Peru. Keju ini rentan punah akibat semakin sedikitnya ras sapi Serrana (sapi berkulit hitam dan bertanduk) di wilayah tersebut. Hal ini terjadi karena selama 40 tahun terakhir, sapi Serrana disilangkan dengan sapi Friesian (sapi yang ada di banyak negara). Dalam hal ini, Slow Cheese mendorong pelestarian keju ini dengan cara mengajak seluruh peternak untuk bersedia meningkatkan rantai produksi, mempromosikan produk unik dan bersejarah ini, dan mengubahnya menjadi sebuah elemen budaya.[36]
Sementara itu, Slow Cheese melalui pertemuan State of Raw Milk (dalam festival Cheese tahun 2017) membahas pentingnya regulasi susu mentah. Debora de Carvalho Pereira, jurnalis dan peneliti dari Brasil, menguraikan bagaimana produksi susu mentah skala kecil di Brasil menghadapi kesulitan terkait situasi yang paralel di Balkan dan juga Australia. Ia mengatakan bahwa perlu adanya peningkatan kesadaran di kalangan otoritas publik guna memastikan bahwa undang-undang yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan kebersihan pangan juga mempertimbangkan paradigma produksi lokal, tradisional, dan skala kecil. Selain itu, juga dibahas mengenai penghapusan ragi industri yang telah mengurangi keunikan dan keanekaragaman hayati keju, pentingnya menjaga padang rumput dan kesuburan tanah, dan mengargai pekerjaan dalam lingkup peternakan.[37]
Slow Meat
Slow Meat (Indonesia: Daging Lambat) adalah gerakan yang mendukung peri kehewanan yang dikemas dalam bentuk acara yang menyatukan peternak, petani, tukang daging, juru masak, dan konsumen untuk berbagi ide tentang bagaimana kita dapat mengubah hewan gembala menjadi daging yang baik, bersih, dan adil untuk semua.[7] Kampanye ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa industri peternakan bertanggung jawab atas 14,5% dari seluruh emisi gas rumah kaca dengan peningkatan risiko setiap tahunnya. Slow Meat juga menyoroti bagaimana hewan yang dibesarkan di kendang seringkali tak mendapatkan akses untuk merumput secara bebas, hewan-hewan tersebut juga disuntik hormon maupun obat-obatan tertentu, diberi makan dengan pakan yang diproduksi secara tidak berkelanjutan, dan proses pengangkutan jarak jauh yang menimbulkan stres pada hewan.[5]
Di Amerika, Slow Meat dikampanyekan sebagai Meatless Monday (Indonesia: Senin Tanpa Daging), yakni sebuah gerakan begi penduduk Amerika untuk mengurangi konsumsi daging, mendukung dan berkolaborasi dalam kampanye Meat the Change (Daging Perubahan) dengan menyediakan 26 resep mingguan berbahan dasar kacang-kacangan dan daging lokal, serta memberikan materi tentang daging yang berkelanjutan. Sementara di Italia, proyek pertama Slow Meat diadakan tahun 2020 dengan pendanaan dari Horizon PPILOW (lembaga kesejahteraan sistem produksi organik dan input rendah unggas dan babi) yang melibatkan universitas, lembaga penelitian, peternak, dan LSM di Italia, Prancis, Rumania. Sedangkan di Belgia, Belanda, Denmark dan Finlandia, Slow Meat berupaya mengembangkan solusi inovatif untuk peningkatan kesejahteraan hewan di peternakan babi dan ayam di udara terbuka secara organik dan dengan input serendah mungkin.[5]
Slow Fish
Slow Fish adalah gerakan yang berkomitmen untuk menemukan kembali rantai nilai di balik ikan. Rantai ini dimulai dengan plankton sebagai fondasi keanekaragaman hayati laut dan elemen yang tanpanya tidak ada spesies akuatik lain yang dapat hidup. Rantai tersebut kemudian mencakup pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan oleh nelayan skala kecil di seluruh dunia, transportasi yang digunakannya, perdagangan hewan laut, dan proses pengolahannya.[38]
Dalam menjalankan misi gerakan ini, Slow Food berpartisipasi dalam acara Fisheries for Communities Gathering (British Columbia, Kanada, 10-11 Februari 2020), yakni lokakarya dua hari yang menyatukan individu, komunitas, organisasi, dan pemerintah yang terkait dengan penangkapan ikan lokal. Dalam lokakarya tersebut, Slow Food mendorong pemerintah federal untuk memutuskan apa dan bagaimana cara bertindak berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh FOPO (House of Commons Standing Committee on Fisheries and Oceans) dan memberikan 20 rekomendasi tentang reformasi kebijakan izin penangkapan ikan di Pantai Barat.a8 Sedangkan, di Selandia Baru, gerakan Slow Fish diadakan dalam bentuk festival Food Hui. Festival ini bertujuan untuk menjembatani akses antara konsumen ikan dan pengrajin setempat. Food Hui menawarkan kesempatan untuk berbagi kisah unik seputar kaimoana (makanan dari laut) kepada para pengunjung. Tak ketinggalan, kesempatan itu juga dijadikan momentum untuk meluncurkan kampanye bertajuk "Eat New Zealand #KnowYourFisher" yang dipromosikan oleh Slow Food Auckland.[5]
Slow Wine
Slow Wine adalah sebuah gerakan yang mengkampanyekan bahwa anggur akan mendapatkan rasa yang tepat apabila dibangun dalam gagasan pentingnya tanah tempat itu sendiri dan orang-orang di balik rantai produksi. Dalam menjalankan gerakan ini, Slow Food mengeluarkan panduan dengan nama Slow Wine Guide yang mempertimbangkan kualitas anggur, kepatuhan terhadap terroir (kekhasan tanah tempat produksi anggur), nilai ekonomi, dan kepekaan terhadap lingkungan maupun sosial. Hingga saat ini, panduan tersebut setidaknya telah meninjau lebih dari 2.500 jenis anggur dan 300 gudang bawah tanah di seluruh dunia.[9]
Banyak peserta bersertifikat organik atau biodinamik, tetapi panduan Slow Wine tidak mengecualikan kebun anggur yang tidak bersertifikat. Sebaliknya, panduan ini membagikan informasi tentang praktik pertanian yang diadopsi kebun anggur terkait, sehingga konsumen dapat membuat pilihan yang tepat. Tujuannya adalah untuk menjadi transparan dan inklusif bagi para produsen dan penikmat anggur yang mencoba untuk menjadi ramah lingkungan dan mengakui kompleksitas pertanian.[39]
Selain praktik pertanian, Slow Wine menyoroti produsen yang berfokus pada seni membuat anggur berkualitas. Rick Rainey, mitra pengelola Forge Cellars di wilayah Finger Lakes di New York mengatakan bahwa Slow Wine menghormati pekerjaan terkait anggur dan kurangnya input industri. Ia menambahkan, “Ini tentang karya seni langsung. Kami masih membuat anggur dengan cara tradisional. Kami akan menggunakan pemetik mesin saat diperlukan. Saat ini, kami lebih memilih pemetikan, penyortiran, dan pengepresan dengan tangan. Kami bahkan masih mengelola setiap barelnya secara individual.”. Sementara Ben Casteel, salah satu pemilik dan pembuat anggur di Bethel Heights Vineyards di Eola-Amity Hills Oregon yang terdaftar di Slow Wine, mengatakan bahwa semua kru anggur menerima jaminan kesehatan penuh. Ia berkata, “Saya tumbuh dalam keluarga kebun anggur. Sangat penting bagi kami bahwa pekerja kami merasa diperhatikan dan dibayar dengan upah yang layak.”.[39]
Slow Food Travel
Slow Food Travel (SFT) ialah model baru pariwisata yang memberikan kesempatan kepada para pelancong untuk menemukan warisan gastronomi dan keanekaragaman hayati yang unik di seluruh dunia dan untuk menjalin kontak langsung dengan orang-orang yang melestarikan warisan ini.[10] Narator atau pemandu wisata dalam SFT ialah penduduk setempat yang terdiri dari: petani, pembuat keju, penggembala, tukang daging, pembuat roti, petani anggur, dan koki yang memasak produk mereka.[10] Selain untuk mengembangkan wisata lokal, SFT juga dijadikan sebagai sebuah ajang untuk lebih memahami tantangan global yang besar dari sistem pangan.[5]
Pada praktiknya, SFT dapat dilihat dalam program homestay, ekowisata skala kecil, kunjungan ke peternakan, pasar petani, dan pengalaman menjajal jajanan kaki lima serta usaha makanan skala kecil.[40] Gastronomi holistik yang diemban SFT melingkupi kegiatan: mencicipi produk, menjelajahi lanskap pedesaan, dan penawaran produk lokal yang berkontribusi pada terciptanya mata pencaharian berkelanjutan dan kesejahteraan sosial. Didasarkan pada etika relasional, pengunjung wisata dimungkinkan untuk menjadi konsumen aktif daripada konsumen pasif. Hal tersebut terkait kemampuan pengunjung wisata SFT dalam membuat pilihan berdasarkan informasi mengenai apa yang ingin mereka makan, memahami dari mana asalnya, bagaimana bahan makanan tumbuh dan didistribusikan, dan bagaimana hal itu memengaruhi kesehatan ekologis dan kesehatannya.[41]
Dengan berpedoman hal tersebut, SFT tak hanya menggerakan komunitas lokal dari nol, melainkan juga meneruskan apa yang telah berlangsung sejak lama. Untuk SFT baru, ada negara Swiss yang pada tahun 2020 meluncurkan dua destinasi SFT, yakni di kanton Valais: Fully dan Grand Entremont. Sebanyak 40 bisnis (produsen, restoran, hotel, dan sebagainya) telah bergabung dalam destinasi baru SFT tersebut. Pada Agustus 2020, destinasi ini bahkan menjadi tuan rumah dari Kongres Nasional Slow Food Swiss.[5] Sebaliknya, di Lapland, Swedia, terdapat Pasar Musim Dingin Jokkmokk yang telah mengembangkan wisata makanan selama lebih dari 400 tahun. Namun, baru pada tahun 2011, SFT menjadi tema resminya, di mana rumah makan lokal mulai didorong untuk memenuhi kriteria organisasi Slow Food Sápmi yakni “gott, rent, och rättvist” (menyenangkan, ekologis, dan adil).[42]
Slow Food Youth Network
Slow Food Youth Network (SFYN) didirikan tahun 2007[43] sebagai sebuah gerakan yang menyatukan kelompok anggota Slow Food berusia muda yang aktif dari seluruh dunia untuk menjadi satu jaringan internasional. SFYN mempromosikan kerjasama antara kelompok lokal, memfasilitasi pertukaran pengetahuan, ide, dan kampanye internasional.[44] Melalui acara dan kegiatan uniknya, kelompok SFYN meningkatkan kesadaran tentang agenda utama pangan seperti bagaimana memberi makan dunia, limbah makanan dan produksi pangan berkelanjutan, serta merangsang berbagai tindakan positif.[43]
Jejaring anggota SFYN dihidupkan oleh inisiatif Akademi SFYN. Akademi ini diinisiasi oleh SFYN Belanda pada tahun 2010. Selama bertahun-tahun, model pendidikan ini mencakup pemuda di berbagai benua, antara lain: Eropa (Jerman dan Belanda), Afrika (Uganda dan Kenya), Asia (Korea), dan Amerika Latin (Brasil).[11] Pada tahun 2020, Akademi SFYN diselenggarakan dalam bentuk konferensi terbuka dan kursus pelatihan tertutup yang dilakukan secara daring dengan perwakilan anak muda dari 24 negara.[5]
SFYN selaku jejaring muda juga menghelat Disco Soup sebagai sebuah acara andalan yang menggabungkan kegiatan memasak sup raksasa dari sayuran sisa dengan pentas musik, di mana para pesertanya saling bertukar pendapat dan membuat pernyataan berani untuk menentang limbah makanan.[45] Selain Disco Soup, terdapat pula Food Film Festival Amsterdam yakni festival tahunan yang berlangsung selama tiga hari untuk melihat makanan dari berbagai perspektif, menyajikan film dokumenter dan film layar lebar serta debat dan lokakarya. Sepanjang tahun, acara SFYN diadakan di seluruh dunia, mulai dari pasar dan konferensi hingga festival.[43]
Berbagai Komunitas Slow Food
Meskipun gerakan Slow Food dilatarbelakangi oleh sejarah dan budaya pangan Italia, namun nilai-nilai yang dianutnya nampak mendapat dukungan dari banyak pihak di berbagai belahan dunia. Banyak negara telah mendirikan komite nasionalnya dan menyuarakan kampanye Slow Food melalui terobosan proyek-proyek unik sesuai kekhasan negara tersebut.
Amerika
Slow Food Chicago
Slow Food Chicago telah aktif sejak tahun 1998 dengan adanya 10 orang yang secara sukarela berkumpul di Chicago dan menyebut diri mereka sebagai bagian dari gerakan Slow Food. Pada tahun tersebut, Slow Food masih berakar kuat di Italia dan belum menjadi gerakan nasional di masing-masing negara. Walau begitu, Slow Food Chicago tetap berkampanye dengan menyelenggarakan acara pertamanya bertajuk “Feast of the Senses” yang dihadiri oleh Carlo Petrini selaku pendiri Slow Food. Menjelang akhir tahun 1999, anggota Slow Food Chicago mencapai 100 orang. Barulah, setelah Slow Food USA membuka kantor utamanya di New York tahun 2000, Slow Food Chicago kemudian diresmikan satu tahun setelahnya yakni pada 5 Juni 2001.[46]
Pada tahun 2004, Lynn Hyndman, seorang guru sains di sekolah dasar Dawes di kota Evanston menjalin kerjasama dengan Slow Food Chicago untuk membuat kebun sains di halaman sekolah yang memuat berbagai tanaman yang dapat dimakan. Kemitraan ini kemudian menghasilkan kebun sains tersukses di Evanston sebagai sarana pembelajaran sains, dengan jumlah sebanyak 12 kebun per 2021.[47] Kini, Slow Food Chicago memiliki lebih dari 500 anggota aktif dan 6000 pendukung yang tengah menjalankan inisiatifnya berupa: Snail of Approval (kampanye untuk menghargai bisnis makanan berkelanjutan), meninjau kebijakan pangan Chicago, Ark of Taste, Annual Tomato Seedling Sale (penggalangan dana tahunan dari penjualan bibit tomat), PreSERVE garden (kegiatan berkebun bersama), dan Love Fridge (gotong-royong menyuplai makanan untuk warga kota).[48]
Slow Food Brasil
Slow Food Brasil memiliki 62 konvivia (cabang lokal) aktif, di mana 36 persen dari konvivia tersebut berada di ibu kota negara bagian. Proyek yang diusung Slow Food Brasil antara lain: Disco Xepa (pemanfaatan sisa makanan yang akan dibuang untuk mengurangi limbah makanan), kebun sayur masyarakat, dan inisiatif penyadaran terhadap pola makan berkelanjutan. Beberapa konvivia bahkan menunjukan rekam kesuksesan proyek-proyek tersebut. Konvivia Pró-Vita yang berfokus pada limbah makanan telah berhasil menyediakan 60.000 porsi makanan yang terbuat dari sisa makanan yang akan dibuang selama setahun. Lalu, restoran Dona Chica yang mengadakan lokakarya bagi komunitas pedesaan Joinville dan keluarga imigran agar dapat saling bertukar cerita maupun budaya masakan mereka. Ada pula, konvivia Primeira Colônia da Imigração Italiana yang melakukan diskusi dengan tajuk “Eu sou orgânico, você pode confiar” (Indonesia: Ini organik, Anda bisa mempercayai saya). Diskusi tersebut kemudian menghasilkan rute pariwisata yang terintegrasi ke produsen organik, yang disebut dengan Via Orgânica.[1]
Slow Food Meksiko
Slow Food Meksiko didirikan pada tahun 1996 oleh dua juru masak terkemuka yakni Alicia Gironella dan Giorgio D'Angeli. Di Meksiko, terdapat setidaknya 30 konvivia dengan lebih dari 500 asosiasi terkait.[49] Uniknya, pengalaman serupa terkait sejarah berdirinya gerakan Slow Food pernah terjadi di sini. Pada musim panas 2002, seniman bernama Francisco Toledo berhasil memimpin gerakan untuk memprotes pembukaan gerai McDonald's di zócalo bersejarah di Oaxaca. Dalam protes tersebut, Toledo dan para sukarelawan membagikan hidangan tamale gratis kepada orang-orang yang hadir.[50]
Sementara itu, tepatnya di Puebla, Meksiko menjadi negara pertama di luar Eropa yang menyelenggarakan kongres internasional Slow Food tahun 2007. Berkat adanya kongres tersebut, metode terasering kuno untuk menanam jagung, kacang-kacangan, dan berbagai jenis bayam yang terancam punah berhasil dihidupkan kembali. Saat ini, lokasi tersebut bahkan menjadi tur wisata yang menawarkan santap siang bersama para petani.[51]
Eropa
Slow Food Jerman
Didirikan pada tahun 1992, Slow Food Jerman (nama asli: Slow Food Deutschland) saat ini memiliki lebih dari 13.000 anggota yang mengorganisir 80 konvivia dan menyelenggarakan ratusan acara setiap tahunnya. Topik utama dalam fokus Slow Food Jerman adalah perjuangan melawan limbah makanan, yang diwujudkan melalui acara Teller statt Tonne dan Slow Food Youth Schnippeldisko. Mengacu pada prinsip Slow Food, organisasi ini telah menerbitkan panduan mengenai restoran yang baik, bersih, dan adil, di mana dalam terbitan itu juga disajikan masakan lokal Jerman (Genussführer).[52]
Kepresidenan Jerman di Uni Eropa digunakan Slow Food Jerman untuk bertindak sebagai promotor perubahan pertanian berkelanjutan di Eropa. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kesadaran politik dan sosial tentang kemungkinan dan reformasi yang diperlukan. Sejalan dengan premis bahwa "keragaman biokultural bersifat politis," di tahun 2020, Slow Food Jerman mengembangkan makalah posisi dalam strategi pertanian Eropa (the European Farm to Fork (F2F) and Biodiversity). Berdasarkan hal tersebut, asosiasi Slow Food Jerman telah menuntut re-orientasi ambisius dari kebijakan pertanian Eropa.[5]
Slow Food Jerman termasuk cabang nasional teraktif dengan pergerakan, Slow Food Deutschland Youth Network yang juga masif.a8 Masih pada tahun 2020, Slow Food Jerman berpartisipasi dalam demonstasi "Wir haben es satt!" (Indonesia: Kami muak!) di Berlin. Sebagai anggota koalisi penyelenggara, Slow Food Jerman berperan dalam menjalankan dan mengomunikasikan acara tersebut. Sekitar 27.000 orang turun ke jalan pada 18 Januari 2020 dengan meneriakkan slogan "Agrarwende anpacken, Klima schützen" (Indonesia: Atasi perputaran pertanian, lindungi iklim). Malam sebelum protes, Slow Food Deutschland Youth Network menggelar acara Schnippeldisko, yakni kegiatan memasak dan menyantap bersama produk pertanian yang layak tetapi berisiko dibuang.[53]
Slow Food Belanda
Slow Food Belanda (nama asli: Slow Food Nederland) berdiri pada Mei 2008 dengan 3.600 anggota dan 18 konvivia.[54] Pada praktiknya, Slow Food Belanda pernah berkolaborasi dalam penelitian Chill Food Italia yang diselenggarakan oleh Yayasan Global Experts untuk melihat pentingnya budaya gastronomi pada pilihan makanan anak-anak. Hasil penelitan ini telah diterbitkan secara resmi pada 24 September 2020.[5]
Sementara itu, menjelang pemilihan kota Belanda pada Maret 2022, Slow Food Belanda meminta pemerintah kota untuk dapat menempatkan pangan sebagai agenda penting mereka. Atas hal tersebut, Slow Food Belanda menyusun delapan rekomendasi yang dapat digunakan oleh parpol dalam program pemilunya. Rekomendasi tersebut disampaikan dalam sebuah demonstrasi di kota Eindhoven pada tanggal 30 Oktober 2021. Nelleke Don selaku ketua Slow Food Belanda dan Ernst Hart selaku pimpinan kelompok politik, hadir untuk memaparkan rekomendasi ke hadapan calon pemerintah kota. Berikut rekomendasinya[55]:
- Berikan contoh yang baik.
- Jadikan makanan lokal sebagai pangan yang baik, sehat, berkelanjutan, dan terjangkau bagi semua orang.
- Jadikan makanan sehat sebagai standar.
- Melawan limbah makanan.
- Mulai sejak dini, yaitu mulai mengedukasi masyarakat tentang pangan dan alam sejak sekolah dasar.
- Dorong potensi lokal.
- Sediakan lebih banyak ruang untuk proyek makanan lokal.
- Pikirkan lokal.
Slow Food Swiss
Slow Food Swiss (nama asli: Slow Food Schweiz) dibentuk pada tahun 1993 dengan jumlah konvivia sebanyak 20 unit.[49] Berbeda dengan negara lain yang perlu berusaha ekstra ketika menyuarakan prinsip-prinsip Slow Food, Swiss termasuk negara yang mayoritas masyarakatnya terbiasa dengan prinsip tersebut. Pesan tentang manfaat makanan lokal, musiman, dan makanan yang ditanam secara berkelanjutan dikirim ke setiap rumah di Swiss setiap minggunya dan dikemas dalam surat kabar dari dua pengecer terkemuka, yakni Migros dan Coop. Mirjam Hauser, penulis Laporan Tren Makanan Eropa di Institut Gottlieb Duttweiler, mengatakan kerja sama antara Slow Food Swiss dan Coop terkait label Slow Food di supermarket telah menunjukan bahwa makanan ramah lingkungan memiliki popularitasnya di Swiss.[56]
Selain kerja sama dengan pihak lain, Slow Food Swiss juga menawarkan proyek pendidikan pangan yang disebut dengan Slow Mobil. Proyek ini telah menyulap mobil van menjadi dapur keliling untuk mengajari anak-anak tentang makanan yang sehat dan berkelanjutan dengan cara yang menyenangkan dan ramah. Format proyek ini dimasukkan dalam ekstrakulikuler sekolah ataupun kegiatan pendidikan di jalan. Dalam proyek ini, Slow Food Swiss memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk dapat menemukan cita rasa, mengajari mereka melalui contoh-contoh praktis, membedakan antara makanan yang dibuat di rumah dengan makanan lokal, musiman, dan makanan siap saji atau cepat saji. Di mana pelajaran akan diakhiri dengan sesi menyantap hidangan yang lezat nan berkelanjutan.[5]
Asia dan Oseania
Slow Food Jepang
Tiga puluh dua organisasi Jepang mengadakan rapat umum di Yufuin, Prefektur Oita pada tanggal 26 Juli 1998 dan mendirikan Slow Food Jepang (nama asli: Slow Food Nippon). Kantor pusatnya berada di Sendai, Prefektur Miyagi dengan Hirotoshi Wako sebagai presiden pertamanya.[49][57]Slow Food Jepang secara aktif meningkatkan pengetahuan lokal tentang makanan dalam beberapa cara. Pertama, dengan upaya melindungi masakan daerah dan produk pertanian daerah dalam Ark of Taste (aji no hakobune). Kedua, dengan mengadakan sejumlah festival dan pameran makanan untuk memperkenalkan produk makanan lokal Jepang kepada khalayak yang lebih luas. Setiap tahunnya, pameran makanan diselenggarakan di Yokohama dengan tema yang berbeda, seperti Rice (2007) dan Miso (2008).[58]
Pada tahun 2017, Slow Food Jepang menyelenggarakan festival Ainu. Ainu merupakan penduduk asli pulau Hokkaido dan bagian utara Honshu yang terancam punah. Sebagai satu-satunya penduduk asli Jepang yang diakui oleh pemerintah sejak tahun 2008, Slow Food Jepang memandang pentingnya merawat suku ini melalui sebuah festival. Festival Ainu mengulas tradisi pernikahan Ainu, tarian panen tradisional, hingga sumber makanan Ainu yang berasal dari pangan herbal gunung yang dianggap sebagai obat dan hadiah dari para dewa.[59]
Slow Food Korea Selatan
Slow Food Korea Selatan berdiri pada tahun 2007 dengan Jong-Woon Ahn sebagai ketuanya. Organisasi ini semakin menguat setelah Namyangju dijadikan sebagai lokasi peluncuran pertama AsiO Gusto, sebuah pameran gastronomi terbesar di Asia dengan jumlah 500.000 pengunjung, produsen skala kecil, dan delegasi dari 40 negara di Asia dan Oseania.[60] Korea Selatan yang kental akan penghargaan pangan tradisionalnya juga telah mendaftarkan produknya ke dalam Ark of Taste, di antaranya: sapi Chik-so, teh Don, dan pasta kedelai Purerun Kong.[61]
Slow Food Melbourne
Beranggotakan kumpulan orang-orang Victoria lintas generasi dan multikultural, Slow Food Melbourne menjalankan dua program utama berupa pasar petani dan Slow Fish. Pasar petani rutin diadakan setiap Sabtu keempat setiap bulannya pada pukul delapan hingga satu siang dan bertempat di Spotswood-Kingsville RSL.[62] Sementara, Slow Fish di Melbourne muncul sebagai tanggapan dari keputusan pemerintah negara bagian Victoria tahun 2014 terkait penutupan penangkapan ikan komersial. Sebagai informasi, 80 persen konsumsi makanan laut warga Melbourne ialah produk impor.[8]
Tak hanya menyoal dukungan kepada pemerintah, Slow Fish di Melbourne juga menawarkan terobosan proyek. Ada ‘Speed Date a Fisher(wo)man’, sebuah kegiatan di mana orang dapat bertanya kepada nelayan yang berbeda mengenai industri boga bahari. Ada pula, 'Fish Tales', sebuah program yang menampilkan diskusi untuk menggali seluk-beluk laut bersama para pakar.[63]
Afrika
Hadirnya delegasi asal Afrika di edisi pertama Terra Madre yang berlangsung di Turin tahun 2004 telah memicu terbentuknya jaringan Slow Food di benua ini. Pendorong utamanya adalah komitmen untuk menciptakan kebun makanan di seluruh penjuru Afrika. Pada tahun 2011, Slow Food meluncurkan proyek “1.000 Kebun di Afrika” yang bertujuan untuk memberi akses masyarakat ke makanan berkualitas tinggi, sehat dan berkelanjutan serta memberdayakan mereka agar dapat menolak pengambilalihan sistem pangan Afrika oleh perusahaan. Berkat kerja keras jaringan, tujuan ini tercapai pada tahun 2013 dan kemudian ditingkatkan dengan target baru 10.000 kebun. Hingga tahun 2017, proyek “10.000 Kebun di Afrika” telah mencakup 2.800 kebun makanan baru yang didirikan di 35 negara dan melibatkan lebih dari 50.000 orang. Slow Food Afrika berhasil membentuk beragam komunitas makanan sembari mempertahankan keanekaragaman hayati dan melindungi produk lokalnya dalam katalog Ark of Taste.[63]
Slow Food Kenya
Berdiri pada tahun 2014, saat ini Slow Food Kenya memiliki 60 konvivia dan komunitas yang tersebar di lima belas kota di seluruh Kenya.[64] Slow Food Kenya membangun 219 kebun makanan dengan keragaman tanaman khasnya. Kebun makanan ini adalah bagian dari proyek internasional “10.000 Kebun di Afrika”. Kebun makanan ini tersebar di seluruh negeri dan mencakup kebun komunitas, sekolah, dan keluarga. Di antaranya adalah kebun sekolah Chazon di Lembah Rift, kebun komunitas Iveche di Kenya tengah, dan kebun keluarga Sikulu di Kenya barat.[64]
Slow Food Uganda
Slow Food Uganda telah beroperasi sejak tahun 2006 melalui aksi penyadaran terhadap makanan yang baik, bersih, dan adil. Namun, baru pada tahun 2015, organisasi ini terdaftar secara resmi sebagai badan hukum di Uganda. Sejak saat itu, organisasi ini bergerak bersama lebih dari 10.000 aktivis pangan yang tersebar di Uganda bagian barat, timur, dan tengah.[65][66]
Per November 2020, Slow Food Uganda telah menghimpun 44 produk dalam Ark of Taste, 6 presidia, 3 pasar bumi, 81 komunitas, dan 365 kebun makanan.[65][66] Kampanye yang diusung Slow Food Uganda terkait dengan perlawanan terhadap perampasan tanah maupun penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan bagi pertanian, seperti misalnya: kampanye pengenalan RUU Keamanan Hayati dan Bioteknologi yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai organisme yang telah dimodifikasi secara genetik (GMO). Lebih dari itu, organisasi ini juga menjangkau jaringan muda Slow Food Uganda melalui program pertukaran pelajar dengan Universitas Ilmu Gastronomi di Bra, Italia.[66]
Pro Kontra
Seperti banyak inisiatif lainnya, gerakan Slow Food juga menghimpun dukungan sekaligus kritik dari berbagai pihak. Para pendukung berujar bahwa gerakan ini akan membantu menghadapi beragam masalah kesehatan dan memperjuangkan hak buruh. Sementara di sisi lainnya, para kritikus berpendapat bahwa gerakan ini tergolong eksklusif dan cukup memakan waktu maupun tenaga.
Pro
Asisten Profesor Stephen Schneider di Universitas Alabama di Tuscaloosa mengatakan bahwa banyaknya wabah penyakit dan skandal hak-hak buruh di industri makanan modern yang terjadi belakangan ini merupakan jenis masalah yang ingin ditangani oleh gerakan Slow Food. Keberhasilan Slow Food Amerika misalnya, akan berpotensi pada perbaikan massal dalam kesehatan masyarakat maupun lingkungan secara terus-menerus. Adanya dukungan pada tingkat individu juga dipandang mampu menyejahterakan petani lokal dan pemilik usaha kecil. Uniknya lagi, gerakan Slow Food sangat terbuka terhadap kritik yang membangun. Beberapa cabang Slow Food terlihat rela mengunggah kritik di situs web mereka.[67]
Kontra
Sebaliknya, ada orang yang mendukung tujuan gerakan Slow Food, tetapi mengkritik metode dan biasnya. Dalam sebuah opini, Karen Hernandez di Feminist Wire mempertimbangkan implikasi feminis dari pergerakan ini, khususnya terkait dengan persiapan makanan rumahan yang cukup memakan waktu. Ia juga mengutarakan adanya masalah kelas sehubungan dengan biaya memasak makanan lokal segar.[67] Sementara itu, Alison Caracciolo dari Columnist mengatakan bahwa untuk memaksimalkan keuntungan, para petani telah melakukan pemuliaan (rekayasa genetika) maksimal guna menciptakan produk yang unggul dan seragam. Sehingga, terdapat kemungkinan bahwa daging yang disantap saat ini oleh seseorang berasal dari proses pemuliaan di masa lampau. Alison menambahkan, banyak orang menganggap bahwa daging yang diproduksi secara massal ini sebagai daging “industri” telah kehilangan elemen makanan yang paling penting yakni rasa. Padahal, itu belum tentu benar.[13]
Referensi
- ^ a b Valduga & Minasse (2021). "Slow Food practices in Brazil: analysis of the relations with the everyday spaces of hospitality and tourism in southern Brazil". Revista Brasileira de Pesquisa em Turismo (dalam bahasa Inggris). 15 (2): 1–6. doi:10.7784/rbtur.v15i1.1819. ISSN 1982-6125.
- ^ a b c Suro, Mary Davis (1986). "Romans Protest McDonald's". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c Slow Food (2019). "Slow Food: 30 Years of Projects Around the World". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Van Gelder, Sarah (2014). ""Slow Food" Pioneer's Love for Food Ripened into a Life's Work - Our World". ourworld.unu.edu. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Di Croce dkk (2020). Annual Report 2020 Slow Food (PDF). Italy: Slow Food Press. hlm. 1–135.
- ^ a b c Slow Food (2022). "Slow Cheese - Themes". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Slow Food Chicago (2022). "Slow Meat". Slow Food Chicago (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Slow Food (2019). "Slow Fish Melbourne Keeps the Conversation about Sustainable Seafood Going". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Slow Food (2022). "Slow Wine - Themes". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c Marc, Jean (2021). "Slow Food Travel – Tourism for SDGs". Tourism for SDGs (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b SFYN (2022). "Slow Food Youth Network Academy - #servingchange". SFYN Academy (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Ronca, Debra (2009). "Everything to Know About the Slow Food Movement". How Stuff Works (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Caracciolo, Alison (2017). "Slow food movement not as glamorous as it seems". The Duquesne Duke (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c d Zuppello, Suzanne (2018). "How a Cult-Like Food Movement Drove One Woman to McDonald's Instead". Eater (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Phillips, John (1986). "McDonald's brings Americanization fears to Rome". UPI (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c d e f g h i j Slow Food (2018). The Ark of Taste (PDF). Italy: Slow Food Press. hlm. 1–26.
- ^ a b c d Slow Food (2015). Slow Food Presidia (PDF). Italy: Slow Food Press. hlm. 1–36.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Navajo-Churro Sheep - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Müstair Valley Rye Bread - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Mangalica Sausage - Presidi Slow Food". Fondazione Slow Food. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Maiorchino - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Taliouine Saffron - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Purén White Strawberry - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Rimbàs Black Pepper - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Camogli Tonnarella - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Fagioli di Smilyan - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Italia). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Maestrat Millenary Tree Extra Virgin Olive Oil - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Sand & Tourism (2020). "Alliance based on compassion gives rise to surplus-driven movement" (PDF). Sand & Tourism. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c Slow Food (2019). "Slow Food Earth Markets – A Farmers' Market Like No Other". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Slow Food Resilience Fund - What We Do". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2020). "The Resilience Fund project, aimed at supporting the fishermen of the Mediterranean Prud'homies Slow Food Presidium, was presented today". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Notaras, Mark (2014). "Slow Food Movement Growing Fast". ourworld.unu.edu. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2012). "Salone del Gusto and Terra Madre 2012" (PDF). Biocultural Diversity and Territory. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2016). "Terra Madre Salone del Gusto 2016 food and wine fair". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2022). "Our history - About us". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2022). "Lluta Red Cheese - Presìdi Slow Food". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Foundation for Biodiversity (2017). "Slow Cheese network established to support raw milk cheese producers around the world". Fondazione Slow Food (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2022). "Slow Fish - Themes". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Bennett, Sophia McDonald (2020). "Slow Wine, Explained". Wine Enthusiast (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Stone dkk (2018). "Beyond the journey: the lasting impact of culinary tourism activities". Current Issues in Tourism. 22 (2): 147–152. doi:10.1080/13683500.2018.1427705.
- ^ Lappé, F (1991). Diet for a Small Planet. New York: Ballantine Books. hlm. 1–30. ISBN 9780307754530.
- ^ De la Barre & Brouder (2013). "Consuming stories: placing food in the arctic tourism experience". Journal of Heritage Tourism. 8 (2-3): 213–223. doi:10.1080/1743873X.2013.767811.
- ^ a b c Slow Food (2022). "Slow Food Youth Network". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Forum Synergies (2022). "SFYN (Slow Food Youth Network)". www.forum-synergies.eu. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2021). "World Disco Soup Day April 24, 2021". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Chicago (2022). "History". Slow Food Chicago (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Aie, Sarah (2021). "Dawes Elementary hosts school garden meet and greet". The Daily Northwestern. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food USA (2021). "Slow Food Chicago x Urban Growers Collective". Slow Food USA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c Petrini dkk (2003). Slow Food : The Case for Taste. New York: Columbia University Press. hlm. 1–176. ISBN 9780231128445.
- ^ Bourdeaux, Richard (2002). "A heated Mc-culture clash". L.A. Times. Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2007). "Mexican Diversity". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2022). "Convivia in Germany". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2020). ""Wir Haben Es Satt!" Demonstration in Berlin to Bring Thousands of Voices Against Climate Change and Industrial Farming". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2008). "Convivia in Netherlands". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food (2021). "Slow Food Netherlands Wants Ambition for Food". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Bechtel, Dale (2009). "Swiss quick to move into Slow Food fast lane". SWI Info (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Japan For Sustainability (2005). "Slow Food Movement in Japan Establishes a National Organization|JFS Japan for Sustainability". JFS Japan for Sustainability (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Assmann, Stephanie (2010). Food Action Nippon and Slow Food Japan: The Role of Two Citizen Movements in the Rediscovery of Local Foodways. Tokyo: Institute of Comparative Culture in Sophia University. hlm. 2–14.
- ^ Slow Food (2017). "The First Edition of Ainu Food Festival kicks off in Japan". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Korea (2022). "연혁". https://www.slowfood.or.kr/untitled-cxfu (dalam bahasa Korea). Diakses tanggal 14 Februari 2022. Hapus pranala luar di parameter
|website=
(bantuan) - ^ Slow Food (2014). "Slow Food South Korea Launches". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ Slow Food Melbourne (2022). "About Us". Slow Food Melbourne (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Slow Food (2017). Slow Food Africa 2012-2017 Report (PDF). Italy: Slow Food Press. hlm. 1–21.
- ^ a b Slow Food (2015). "Slow Food Launches a National Branch in Kenya". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Slow Food Uganda (2022). "About Us". Slow Food Uganda (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b c Slow Food (2020). "Slow Food Uganda Celebrates Five Years". Slow Food International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.
- ^ a b Stubblefield, Megan (2019). "What Is the Slow Food Movement?". Love to Know (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 14 Februari 2022.