Anis bin Alwi al-Habsyi
Peran Habib Anis bin Alwi al Habsyi Peneguh Thariqah Alawiyin di Surakarta Oleh: Aji Setiawan ajisetiawanst@gmail.com Cipawon 6/1, Bukateja Purbalingga-Jawa Tengah 53382 simpedes BRI 372001029009535 ABSTRAKSI Peranan Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam dakwah Islam di tengah gempuran pembaharuan Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Permasalahan utama penelitian ini adalah ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam melestarikan ajaran Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Pertanyaan pokok studi ini adalah bagaimana ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi, serta peran dan pengaruhnya terhadap masyarakat luas, khususnya masyarakat Surakarta. Jawaban atas pertanyaan dikaji dari sumber primer dan skunder seperti sumber lisan, surat kabar, dan beberapa referensi yang relevan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan Habib Anis selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid Simthud Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan Rajab, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di Zawiyah pada tengah hari. Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW. Gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf dll yang berpusat di masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada era 96 an ada forum remaja masjid militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan remaja masjid. Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin (pencinta) habaib yang tersebar luas ke seluruh Indonesia berdatangan menjadi koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas tidak saja konteks lokal, nasional namun juga go internasional Kata Kunci : Habib, Islam Tradisional, Tradisi Salaf, Maulid, Muhibbin, Pasar Kliwon Solo, Solo Raya
PENDAHULUAN Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah Syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Ayah Habib Anis yakni Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad Ash-Shoghir bin Alwy bin Abu Bakar Al-Habsy bin Ali-Al-Faqih bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqadam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibthi bin Amirul mukminin Ali Abi Thalib ibin Sayidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang (Bulan Rabi'ul Awal 1373 H / 27 November 1953). Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Problem masalah (problem statement) dari penelitian ini adalah karena menulis orang yang sudah wafat atau dari sumber primer yang bersangkutan. Namun lewat kesaksian kerabat, murid dan orang terdekat almarhum, sosok Habib Anis sebagai tokoh penggerak Sadah Alawiyin, khususnya Solo Raya, problem itu mudah teratasi. Maka fokus Penelitian ini adalah sebagaimana menulis manakib, mencari data dari awal lahir, masa muda, awal berkiprah sampai peran-peran strategis dan akhir hayat dari Habib Anis al Habsyi.
Ada banyak pertanyaan siapa sesungguhnya Habib Anis al Habsyi, Guru Spiritualnya? Jaringan relasi keagamaan tingkat lokal, nasional dan internasional yang dibangun?
MASA MUDA
Pada Sewaktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama dan Habib Anis adalah Peneguh Tarekat Alawiyyin di Solo Raya.
Kemunculan Tharīqah Alawiyyin di dalam dunia Islam, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan terminologi-terminologi tasawuf dan kaum sufi itu sendiri. Jika memakai tipologi fikih, maka Tharīqah adalah mahzab-mahzab dari ajaran tasawuf yang merupakan pengejawantahan dari salah satu rukun agama yaitu Ihsan. Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, sebenarnya tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Sofyan al-Tsauri, Junaedi al-Baghdadi, Abu Yazid al-Busthami dan sebagainya. Meski dalam perjalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama ahli fikih, hadist dan sebagainya. Menurut Alwi Shihab, setidaknya periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tasawuf terbagi ke dalam beberapa tahap: Pertama, tahap Zuhud (Abad ke 1-2 H). Kedua, tahap kodifikasi ilmu tasawuf dimana istilah tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran teori dan praktik sufistik mulai diperkenalkan (Abad ke 3-4 H). Ketiga, tahap tasawuf falsafi (Abad ke 6 H), dan keempat tahap moderasi tasawuf akhlak yang pondasinya dimulai dari al-Ghazali yang dengan rumusan konsep tasawuf moderatnya menjadikan tasawuf dianggap selaras dengan syariat. Pada tahap inilah kemudian melahirkan tipologi tasawuf menjadi tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi; Tasawuf Sunni merupakan kepanjangan aliran tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul al-Ghazali dan para pengikutnya dari guru-guru tarekat dan berwawasan moral praktis dan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun tasawuf falsafi lebih kepada menggabungkan tasawuf dengan berbagi aliran mistik dari dari lingkugnan di luar Islam, seperti Hinduisme, kependetaan Kristen ataupun teosofi dan neo-Platonisme.
Tarekat atau tharīqah sendiri yang merupakan mazhab-mazhab dalam tasawuf adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh para ulama dalam menempuh jalan spiritualitas menuju Allah SWT. Kata tarekat dan tharīqah berasal dari Bahasa Arab al-Tharīq yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik teruji maupun tercela. Sebagai sebuah metode spiritualitas, biasanya tarekat memiliki amalam zikir dan wirid yang dilazimkan serta hubungan khusus antara guru dan murid (Shuhbah) yang kesemuanya merupakan proses perjalanan untuk melalui tahap-tahap mencapai tujuan. Setiap tarekat memiliki karakter wirid dan zikirnya masing-masing yang dianggap dapat membantu seorang salik dalam mengasah daya ruhaninya. Dalam tarekat mu’tabarah (tarekat yang terverifikasi), biasanya wirid dan zikir ini memiliki jalur transmisi periwayatan yang terus bersambung kepada tokoh-tokoh sentral di generasi sebelumnya yang terus bersambung kepada pendiri sebuah taraket. Proses kegiatan tarekat biasanya dimulai dengan pengambilan baiat atau sumpah (bai'at) dari seorang murid di hadapan guru setelah sebelumnya melakukan tobat, puasa atau ritual-ritual lain yang diperintahkan sang guru (mursyid) tersebut. Ritual baiat seperti ini hampir ditemukan di dalam semua institusi tarekat yang mu’tabar kecuali Tharīqah ‘Alawiyyah yang tidak mengharuskan adanya mursyid dan juga baiat.
Akibat lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan spiritual, tarekat juga seringkali menjadi kambing hitam dari kemunduran dialektika sosial di kalangan umat Islam. Para pengamal sufi, seringkali lebih asik bercengkrama dengan amalan-amalan seperti sujud, zikir, hidup di kesunyian dan jauh dari hingar bingar matrealistik sehingga tidak jarang malah meniadakan dialektika serta peran sosial di sekitarnya. Tentu kita pahami bahwa adanya distorsi dalam pelaksanaan tarekat ini bukanlah hakikat dari ajaran tarekat, sebab ajaran tarekat merupakan ajaran spiritualitas yang menempatkan moralitas, etika, sopan santun pada posisi yang utama, sehingga sangat tidak masuk akal jika seseorang yang mengaku sebagai pengamal tarekat malah meniadakan peran sosialnya di tengah-tengah masyarakat sebab substansi dari moralitas terletak pada keberhadirannya di ruang sosial.
Seorang muslim wajib menempuh jalan spiritualitas, namun bukan berarti dia harus masuk ke dalam sebuah institusi tarekat. Tarekat hanyalah sebuah metode dalam bertasawuf, itu berarti bahwa seseorang bisa saja sudah dikatakan mengamalkan tasawuf walaupun tanpa mengamalkan tarekat tertentu. Dari hal inilah kemudian para sarjana ada yang membedakan antara istilah tharīqah dan tarekat; Tharīqah merupakan metode spiritualitas, tarekat lebih kepada pelembagaan secara rigid dari metode itu sendiri.
Dalam penelitian ini, secara operasional, penulis merasa perlu membedakan antara istilah tarekat dan tharīqah saat menjelaskan ‘Alawiyyah.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan karakter antara Tharīqah ‘Alawiyyah yang berbeda dengan tarekat kebanyakan. Beberapa karakter yang menonjol dari tharīqah ini adalah: Pertama, tharīqah ini tidak mengharuskan talqin atau baiat bagi murid baru, sehingga siapa pun dapat langsung mengamalkan tarekat ini tanpa harus berguru kepada mursyid. Kedua, selain berintikan keharusan menghiasi diri dengan akhlak mulia, tarekat ini menekankan amalan yang tergolong cukup ringan, yakni berupa himpunan wirid dan dzikir yang dikenal dengan wirdu al-Latfhīf dan Ratib al-Haddad.
Ada yang berpendapat bahwa sementara tarekat lain biasanya cendrung melibatkan riyādhah-riyādhah (latihan-latihan) fisik dan kezuhudan yang ketat, Tharīqah ‘Alawiyyah hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak.
Ketiga, posisinya yang unik berhadapan dengan kontroversi tasawuf falsafi, yakni menjaga jarak dan tidak mau berurusan dengannya seraya menjaga sikap simpati terhadapnya.
Kebanyakan para Habaib ini , termasuk Habib Anis bin Alwi al Habsyi menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/ 1178 M, dan wafat 653 H/1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M- 653 H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya.
Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW (mu'tabar). Sejarah Thariqah Sâdah Ba ‘Alawi dan Para Tokohnya Nasab para Sâdah Ba ‘Alawi kembali kepada datuk mereka, Alwi bin ‘Ubaidillah, cucu al-Imam al-Muhâjir, Ahmad bin Isa an-Naqîb,
yakni naqîb (pemimpin) para syarif di Irak, bin Muhammad anNaqîb bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shâdiq bin Muhammad al-Bâqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin al-Imam al-Husain bin Ali bin
Abu Thalib. Kehidupan Imam Ahmad al-Muhâjir dijalani di Bashrah. Di daerah inilah dia tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, Ahlulbait berada di dalam kehormatan dan pemeliharaan. Tetapi para khalifah Bani ’Abbas yang menjadikan Irak sebagai pusat mulai melemah kekuasaan. Lalu muncullah gerakan-gerakan dan pemberontakanpemberontakan.
Sedikit demi sedikit fitnah melanda Irak, yang paling besar di antaranya adalah hadirnya kaum Qaramithah yang menyerang Bashrah di awal abad ke-4 H, dan munculnya kelompokorang-orang Sudan.
Pada situasi yang kacau itu, orang-orang saleh yang menjauhkan diri dari dunia, tak dapat menghadapinya. Tepatnya pada tahun 317 H, Imam Ahmad bin Isa pun hijrah—yang karena itu beliau digelari al-Muhâjir—untuk menghindari fitnah-fitnah yang bergelombang.
Beliau meninggalkan Bashrah bersama tujuh puluh orang dari keluarga dan para pengikutnya. 88Beliau menempuh jalan menuju Hijaz agar rombongannya dapat singgah setahun di Madinah.
Setelah itu, menuju Tanah Haram Makkah pada tahun ketika kaum Qaramithah memasuki kota ini dan merampas Hajar Aswad.
Kemudian Imam Ahmad al-Muhâjir keluar dari Makkah melalui padang sahara menuju ’Asîr lalu ke Yaman. Lalu takdir membawa mereka ke Lembah Hadramaut, lembah terpencil dengan sedikit kekayaan, yang sebagian besar daerahnya saat itu dikuasai oleh kaum Khawarij Ibadhiyah.
* * *
Imam al-Muhâjir pertama kali singgah di negeri Hajrain. Setelah itu pindah ke Kindah, dan akhirnya menetap di Husayyisah. Karena suatu hikmah mendalam dan faktor-faktor penyebab yang Allah siapkan, masa kekuasaan mazhab Ibadhiyah tidak berlangsung lama. Setelah terjadi adu argumentasi antara mereka dan al-Muhâjir dan pengikutnya serta orang-orang yang menolong dan bergabung dengan mereka dari pengikut Ahlussunnah di sana, maka sebagian besar lembah ini dapat dibersihkan dari kejahatan kaum Khawarij dan para pengikutnya. Setelah itu Ahlussunnah mengakar di sini dan orang-orang pun menganut mazhab mereka.
Imam Muhâjir mempunyai anak bernama ‘Ubaidillah, yangkemudian mendapatkan tiga orang anak, Bashri, Jadid, dan Alwi. Kepada Alwi inilah keturunan para Sadah Ba ‘Alawi bernasab sebagaimana telah disebutkan di atas. Sedangkan keturunan kedua saudaranya habis bersamaan dengan berakhirnya abad keenam Hijriah.
Beberapa lama setelah al-Muhâjir wafat, keturunannya pindah ke kota Tarim yang dinamai dengan nama raja yang membangunnya, yaitu Tarim bin Hadramaut. Mereka menetap di sana pada tahun 521 H. Keturunan al-Muhâjir yang pertama mendiami kota ini adalah al-Imam Ali bin Alwi, yang dikenal sebagai Khali` Qasam dan saudaranya, Sâlim, serta mereka yang segenerasi dengan keduanya dari keturunan Bashri dan Jadid yang ada pada saat itu
Maka Tarim pun yang dijuluki al-Ghanna menjadi tempat tinggal keturunan yang mulia ini. Lalu muncullah di sana ma`had-ma`had kebajikan dan banyak pula terdapat masjid. Di samping itu, kota ini menjadi mulia karena terdapat jasad sejumlah sahabat mulia yang meninggal di sana, saat memerangi orang-orang murtad.
* * *
Sumber-sumber sejarah tidak memberikan data yang rinci tentang periode pertama kaum ‘Alawiyyin. Informasi sejarah lebih banyak dimulai sejak periode dua anak Imam Muhammad bin Ali, yang dikenal sebagai Shahib Mirbath , yaitu Ali (ayah dari al-Faqîh alMuqaddam) dan Alwi (yang dikenal sebagai paman dari al-Faqîh al-Muqaddam), dan periode sesudahnya. Kepada kedua orang inilah kembalinya nasab semua keluarga Ba ‘Alawi di masa sekarang ini.
Peletak pondasi sebenarnya pada bangunan thariqah ini adalah al-Imm Muhammad bin Ali Ba ’Alawi yang digelari dengan al-Faqîh al-Muqaddam yang lahir di Tarim pada tahun 574 H dan wafat di sana pada tahun 653 H. Yang diterima oleh beliau—meskipun dari jauh—dari seorang ‘Arif Billah, Syaikh Abu Madyan al-Maghribi, yang dikenal dengan gelar al-Ghauts melalui perantara beberapa pengikut Abu Madyan yang sampai ke Makkah. Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqîh yang dikenal sebagai ‘Allamah ad-Dunya (wafat tahun 1162 H) mengatakan, “Asal Thariqah Sadah Ba ’Alawi adalah Thariqah Madyaniyyah, yaitu thariqah Syaikh Abu Madyan Syu‘aib al-Maghribi. Sedangkan quthub dan inti hakikatnya adalah asy-Syaikh al-Faqîh al-Imam Muhammad bin Ali Ba ‘Alawi alHusaini al-Hadhrami. Thariqah ini diterima oleh para pemimpin.dari para pemimpin yang mendahuluinya dan diwariskan kepada orang-orang besar yang memiliki maqâmât dan ahwâl.
* * *
Setelah masa al-Faqîh al-Muqaddam, di tangan keturunannya thariqah ini tetap mengikuti sistem dan cara beliau. Tetapi karena Thariqah ‘Alawiyah merupakan jalan yang mementingkan tahqiq (pendalaman), rasa, dan rahasia, cenderung bersikap khumul (menutup diri) dan merahasiakan, maka mereka tidak membuat suatu karangan tentang itu. Periode pertama ini berlangsung demikian hingga zaman al-‘Aydarus (wafat 864 H) dan saudaranya, asy-Syaikh Ali (wafat 892 H). Ketika itu wilayah penyebarannya semakin meluas sehingga dibutuhkan suatu karangan. Maka muncullah karangan-karangan—mengenai adab thariqah ini dan petunjuk-petunjuk untuk menjalaninya—yang menenangkan hati dan menyenangkan jiwa, seperti al-Kibrit alAhmar, al-Juz al-Lathîf, al-Ma’ârij, al-Barqah8, dan sebagainya. Lalu muncullah di antara para pemuka thariqah ini orangorang yang memiliki keunggulan dalam kecerdasan serta dalam ilmu dan amal dibandingkan teman-teman seangkatan dan orang-orang yang lebih dulu dari mereka. Sebagian mereka bahkan telah mencapai derajat seorang mujtahid dalam fiqih.
Sedangkan sebagian yang lain, muncul keajaiban-keajaiban kewalian yang dapat menyamai orang-orang di masa lalu, seperti asy-Syaikh al-Quthb Abdurrahman as-Saqqâf (wafat 819 H) yang dijuluki al-Muqaddam ats-Tsâni (al-Muqaddam kedua) dan anaknya al-Imam al-Ghauts Umar al-Muhdhar (wafat 833 H), juga al-Quthb Abdullah bin Abu Bakar al-‘Aydarus (wafat 865 H) dan anaknya Abu Bakar al-‘Adni (wafat 914 H) yang dimakamkan di ‘Adan, asy-Syaikh Abu Bakar bin Sâlim yang dikenal dengan Fakhrul-Wujûd (wafat 992 H), asy-Syaikh alImam Umar bin Abdurrahman al-Attas (wafat 1072 H), dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Sehingga thariqah ini sampai kepada pembaharu menaranya dan penyebar cahayanya, al Imam Syaikh al-Islam Quthb ad-Da’wah wa al-Irsyad Abdullah bin Alwi al-Haddad (1132 H).
Di tangan al-Imam al-Haddad, thariqah ini mengambil metode baru yang dinamainya Thariqah Ahl al-Yamîn. Beliau berpandangan bahwa yang paling sesuai dengan orang-orang di masa itu, yang paling dekat dengan keadaan mereka, dan yang paling mudah untuk menarik mereka menuju ketaatan adalah menghidupkan kehidupan keimanan mereka, yang dengan perannya dapat menyiapkan mereka untuk meningkat kepada tangga ihsan. Buah dari metode ini merupakan buah terbaik dalam dakwah, dan perbaikan kondisi keagamaan manusia pada umumnya. Thariqah ini tersebar sangat luas di berbagai wilayah dan tetap mengambil metode pilihan iniuntuk dakwah umum sampai sekarang.
Al-Imam Abdullah al-Haddad telah memberikan pengaruh yang sangat penting. Wirid-wirid, ucapan-ucapan, pesan-pesan, dan syair-syairnya terus dituturkan oleh lisan kaum muslimin di negeri-negeri Afrika: Guinea dan Tanzania, atau Asia: Indonesia, Malaysia, Singapura, bahkan di Eropa, terlebih lagi di negerinegeri Arab. Hal itu terjadi berkat pengorbanannya dalam menyebarkan ilmu dan dakwah, dengan ucapan dan penanya yang lancar dalam karangan-karangannya yang dipandang telah mencakup ringkasan dari kitab orang-orang di masa lalu, seperti al-Ihya. Juga dengan mewujudkan teladan yang sempurna pada dirinya, wirid-wiridnya yang diberkahi, serta para ulama dan orang-orang saleh yang telah berhasil melalui didikannya, yangmereka itu menempuh metode gurunya.
* * *
Setelah al-Imam al-Haddad, maka dakwah yang sesuai dengan metodenya, kemudian diemban oleh para imam besar dan para da’i terkemuka dari murid-murid terbaik beliau, seperti al-Imam al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi (wafat 1144 H), al-Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqîh (wafat 1162 H) yang digelari ‘Allamah ad-Dunya, dan al-Imam Muhammad bin Zain bin Sumaith (wafat 1172 H). Anak-anak Habib Abdullah al-Haddad sendiri merupakan bukti didikan ayah mereka.Periode al-Haddad dan murid-muridnya kemudian berlanjut kepada periode yang menonjol dalam penyebaran dakwah dan memiliki kelebihan dengan pengaruhnya yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, yaitu seorang imam dan wali besar, Habib Umar bin Saqqâf as-Saqqâf yang dijuluki Syaikh al-Aqthâb dan murid-muridnya, yaitu par imam, Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith (1257 H), Habib Abdullah bin Husain bin Thâhir (1272), pengarang al-Majmu’ ath-Thâhiri, dan saudaranya Habib Thâhir bin Husain bin Thâhir (wafat 1241 H), Habib Hasan bin Shâlih al-Bahr al-Jufri (wafat 1273 H), dan Habib Abdullah bin Umar bin Yahya (wafat 1265 H). Murid paling terkenal dari tingkatan ini adalah al-Muhaddits al-‘Allamah (seorang ahli hadits dan sangat alim) Habib Idrus bin Umar al-Habsyi (wafat 1314 H), pengarang kitab langka, ‘Iqd al-Yawâqât al-Jauhariyyah yang di dalamnya dihimpun sanad-sanad para Sadah Ba ‘Alawi.
Dengan demikian, beliau telah memberikan pengabdian yang sangat besar kepada kaumnya karena sedikitnya perhatian kepada hadits dan ‘ulûmul-hadits di daerah itu.
Tampaknya yang paling menonjol di antara para tokoh Ba ‘Alawi setelah periode ini adalah tiga orang imam. Pertama, Mufti Hadramaut al-Imam Abdurrahman bin Muhammad alMasyhur (wafat 1320 H), pengarang Bugyah al-Mustarsyidîn dan lain-lain. Kemudian tokoh mutaakhir yang langka, al-‘Allamah al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas (wafat 1334 H) yang memiliki popularitas yang tinggi di lingkungan ilmiah di luar Hadramaut, seperti Mesir, Syam, dan Hijaz. Dan yang ketiga, yang tersisa dari para salaf, beliau meninggikan panji kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw., al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (wafat 1333 H). Karya-karya yang ditinggalkannya dalam sastra dan tasawuf sangat besar. Semoga Allah meridhai mereka semua.
Kemudian tingkatan ini digantikan oleh beberapa tokoh, seperti Syaikh al-Islam al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syâthiri (1361 H), pendiri Rubath Tarim. Dan tokoh kebangkitan ilmiah di masanya, al-’Arifbillah al-Habib Alwi bin Abdullah bin Shihabuddin (wafat 1386 H), al-‘Allamah al-Habib Sâlim bin Hafîzh (wafat 1378 H). Serta seorang da’i besar dan pengembara yang dikenal, al-‘Allamah al-Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith (wafat 1397 H) yang mengambil ilmu dari para tokoh pada periode ini dan periode sebelumnya. Murid-muridnya menjadi imam dan da’i terkemuka di masa kita sekarang, seperti Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqâf, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, Habib Abu Bakar Aththas al-Habsyi, Habib Muhammad bin Abdullah alHaddar, Habib Muhammad bin Sâlim bin Hafîzh, Habib Ibrahim bin Umar bin ‘Aqil bin Yahya, dan sebagainya.
Masing-masing tokoh di masa lalu memiliki peninggalan ilmiah dan sastra yang tak dapat disebutkan di sini. Sesungguhnya pembicaraan tentang para tokoh Thariqah ‘Alawiyah adalah mencakup bidang yang sangat luas.
Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.Selrpas itu gelombang penyebaran Islam terus berlanjut dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara.. Sebelumnya orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya Kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke VI M. dengan jatuhnya Al-Andalus (1492 M), mengakibatkan pengerjaan bangsa Spanyol terhadap Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis ialah memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak dengan masing-masing Belanda dan Inggris, maka kedua bangsa ini turut juga datang ke Indonesia ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita. Dengan pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh negara-negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia dan ekonomi Belanda mulai berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin dari pada awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan, oleh karena Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah yang dalam segala lapangan menjadi pelopornya, baik di medan perang maupun dalam bidang pengangkutan barang-barang lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama). Dilarangnya Alawiyin menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya berkeluarga dengan anggota istana (yang memang keturunan Alawiyin), hingga yang tiada mampu pindah ke perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi laut, atau karena sebab lain, mengambil nama keluarga Jawa agar dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh karenanya pindahanya Alawiyin dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut, maka pula pusat ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, dst. Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman menetap di perkampungan-perkampungan yang disebut “kaum” Suku-suku Alawiyin yang telah anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan mengambil nama ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban, Al-Baabud, Al-Binyahya, Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam keadaan yang demikian itu, Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa Tengah, dimana Islam tiada dapat berkembang oleh karena peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya aneka fitnah yang Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri. Anak Muslim tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Kristen dapat pendidikan dan pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda anak-anak orang yang berpangkat pada pemerintah jajahan, dan diharuskan mereka tinggal (yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar, dapat lancar berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberi dalam bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu berfikir dan hidup secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka dari bangsawan sendiri, dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat biasa, awam, mengaji, baik pada madrasah-madrasah Alawiyin atau pesantren-pesantren. Hubungan Alawiyin dengan para kiyahi erat sekali. Untuk melumpuhkan berkembangnya agama islam di antara anak-anak rakyat jelata, Belanda mengadakan sekolah-sekolah Hollands Inlandse School (H.I.S) dengan syarat bahwa murid tiada boleh bersaring dan berkopyah-pici, harus mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian mana bukan kebiasaan orang yang mendirikan salat. Jangan sampai kanak-kanak dapat membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang tertulis dengan huruf Arab, Belnda mengajar dengan sungguh menulis dengan huruf lain, dan mengadakan buku-buku yang menarik, dalam huruf ini, untuk maksud mana dibentuknya Balai Perpustakaan. Banyak buku-buku yang dikarang oleh pendeta dan padri indolog dan orientalis, mengandung racun bagi anak murid yang pengetahuannya tentang Islam dan tarikhnya masih sangat Dangkal. Alawiyin menolak tawaran Belanda untuk membangun Hollands-Arabise School (H.A.S, dan menolak pula subsidi dari pemerintah jajahan bagi madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut dri tipu muslihat dan pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam, Alawiyin tiada dibolehkan mendirikan cabang-cabang mandrasah di kota-kota besar dengan nama yang sama. Oleh karena itu nama-nama madrasah yang sama skala pendidikannya, berlainan namanya. Para guru dari negara Islam didatangkan untuk mengajar di madrasah-madrasah, dan kanak-kanak yang berbakat dikirim lanjutkan pelajarannya ke Hadramaut, Hejaz, Istanbul, Kairo dan lain-lain. Tahun 1900 merupakan awal abad 20 yang sering dikatakan awal abad keemasan. Batavia, sebutan kota Jakarta saat itu, sedang memasuki periode kota kolonial modern. Berkat revolusi industri berbagai teknologi dperkenalkan. Sistem transportasi dan komunikasi mulai berkembang. Angkutan kereta api Jakarta-Bogor mulai diperkenalkan, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok semakin ramai oleh pendatang dari Belanda dan Eropa setelah dibukanya terusan Suez di Mesir.
Tapi sayangnya, yang menikmati kemajuan itu hanyalah kelompok minoritas Belanda dan orang-orang Eropa. Tidak demikain halnya dengan orang-orang pribumi, termasuk orang-orang keturunan arab. Khusus terhadap orang-orang keturunan arab, Belanda menganggap keberadaan mereka di Indonesia sangat membahayakan politik kolonialnya yang anti Islam. Apalagi semangat Pan-Islamisme yang dikobarkan di Turki dan pejuang Islam kaliber internasional dari Ahul-Bayt, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bergaung di Indonesia. Prof. Snouck Hurgronye terang-terangan menuduh kaum Alawiyyin yang menyebarkan paham Pan-Islamisme di Indonesia.
Begitu bencinya Belanda terhadap Islam dan orang-orang keturunan Arab, sehingga di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah waktu itu, citra buruk Arab digambarkan secara kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah. Hingga tidak heran, menurut Mr. Hamid Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda mengakibatkan mereka tidak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Belanda. Bukan hanya orang-orang keturunan Arab, tapi juga kelompok ulama dan santri menganggap sekolah Belanda sebagai sekolah kafir.
Dalam situasi dan tekanan kolonial yang keras itulah, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab tampil untuk mendirikan sebuah perguruan Islam, yang bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pendidikan umum. Pada tahun 1901, berbarengan dengan maraknya kebangkitan Islam di tanah air, berdirilah perguruan organisasi yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan Jamiat Kheir. Pada saat pertama kali berdiri, perguruan ini membuka sekolah di kawasan Pekojan yang saat itu penghuninya banyak keturunan arab.
Selain Abubakar bin Ali shahab, turut serta mendirikan perguruan ini sejumlah pemuda Alawiyyin yangn mempunyai kesamaan pendapat dan tekad untuk memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus melawan propaganda-propaganda jahat Belanda yang anti Islam. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Syechan bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas dan Abubakar bin Muhammad Alhabsyi.
Begitu suksesnya Jamiat Kheir hingga diakui oleh pemerintah RI dan ahli sejarah Islam sekarang ini sebagai organisasi Islam yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS. Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Budi Utomo), H. Agus Salim (tokoh KMB), dan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan lainnya yang merupakan anggota atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.
Habib Abubakar bin Ali Shahab, sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KHM. Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, bersama-sama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen. Disamping perguruan, Alawiyin aktif juga di lapangan politik hingga beberapa orang ditangkap dan dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh, dan sesudah Aceh ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pemberontakan disana dengan mengibarkan bendera Khalifah Muslimin. Alawiyin hendak menerbitkan pemberontakan di Singapura di kalangan tertentu Muslimin India yang Inggeris hendak berangkatkan untuk berperang di Iraq (Perang Dunia I). Perlu juga diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan dengan Muslimin di luar negeri, orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh, teristimewa dengan Padisyah, Khalifatul Muslimin, di Istanbul, yang atas aduan Alawiyin pernah mengirim utusan rahasia untuk menyelidiki keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.
Pendudukan militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin, terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya di-angkat Jepang, entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah Al-alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur (dahulu jalan Karet) No. 17 Jakarta Pusat (II/24). Setelah Indonesia Merdeka, Pemuda Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di pegunungan. Semua Kaum AWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya pecah perang dunia ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kini adalah lebih baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang tersebar sampai di pelosok-pelosok kepulauan Indonesia. Alawiyin yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayip dan sebagainya tetap dicinta dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat dibuat-buat sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyin di-ikuti dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian dan sebagainya. Suku-suku Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab, Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua keturunan asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin yang berpusat di gedung “Darul Aitam”. Kantor tersebut awalnya terletak di kompleks Jamiat Kheir di Tanah Abang, tetapi kemudian dipindahkan ke gedung terpisah di TB. Jalan Simatupang, Jakarta Selatan.
Al-Maktab al Daimi ( Arab : المكتب الدائمي , diromanisasi : al-maktab al-dāimiy ; lit. Kantor Catatan ) adalah badan resmi otonom Rabithah al-Alawiyyah yang bekerja untuk melestarikan data silsilah, kekerabatan, sejarah dan sensus Alawiyyin . Berdirinya lembaga ini pada tahun 1954 adalah pada masa kepemimpinan Alwi bin Thahir al-Haddad , tidak lama setelah berdirinya Rabithah al-Alawiyyah dan setelah mendapat persetujuan bulat dari para tokoh Alawiyyin, sesepuh, dan ulama, seperti Habib Alwi bin Thahir al-Haddad ( Mufti Johor), Habib Ahmad bin Abdullah al-Seggaf (penulis buku silsilah Khidmah al-Asyirah ) dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habshi dari Kwitang .
Untuk melaksanakan tugas ini, majelis mengangkat seorang putra wulayti , Sayyid Ali bin Ja'far bin Syeikh al-Seggaf (lahir di Palembang , 16 November 1889 M atau 22 Rabi' al-awwal 1307 H), yang juga menjadi Dewan Pengawas di Rabithah Alawiyyah di Batavia . Dengan dana Rabithah Alawiyah dan dari seorang dermawan bernama Syekh bin Ahmad bin Shahab, ia melakukan sensus dan pencatatan keluarga Sayyid di seluruh Indonesia pada tahun 1928 dan 1940 (versi lain menyebutkan tahun 1932). Per 28 Januari 1940 M (18 Dzulhijjah1358 H) ada 17.764 orang terhitung sebagai anggota keluarga Sayyid. Ali bin Ja'far kemudian terpilih sebagai ketua pertama dan Hasyim bin Muhammad al-Hadi bin Ahmad al-Habshi sebagai wakil ketua, dengan Alwi bin Thahir al-Haddad dan Ahmad bin Abdullah al-Shofie al-Seggaf sebagai penasihat mereka. Hari ini badan ini mencatat catatan silsilah tidak hanya untuk orang Alawiyyin di Indonesia, tetapi juga dari luar negeri.
Untuk referensi, al-Maktab Daimi menggunakan buku-buku seperti al-Shamsu al-Dzahirah karya Habib Abdurrahman bin Mohammed al-Mashhoor, tujuh jilid buku tulisan tangan asli Salman bin Said bin Awad Ba-Ghauts, tiga jilid buku tulisan tangan Sajarah Ansaab Al-Alawiyyin (شجرة الانساب العلوين ) ] oleh Habib Ali bin Ja'far al-Seggaf, buku tentang laporan sensus Alawiyyin di Indonesia, dan 15 jilid Buku Besar Silsilah Alawiyyin yang ditulis oleh Habib Abdullah bin Isa ibn Hud al-Habshi yang merupakan perluasan dan didasarkan pada kitab tiga jilid Ali bin Ja'far al-Seggaf, semuanya shahih, dan hanya dimiliki oleh al-Maktab al-Daimi. JEJAK GERAKAN SANTRI Di SOLO RAYA Sudah sejak lama wilayah Surakarta atau wilayah Solo Raya dan di sekitarnya menjadi tempat berkumpulnya para santri. Zaman Pajang atau sebelumnya pada zaman Pengging, dicatat bahwa penguasa Kesultanan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya lahir dan besar di lingkungan keluarga santri. Sultan yang sebelumnya dikenal dengan nama Jaka Tingkir atau Mas Karebet ini merupakan putra dari Kiai Ageng Pengging Kedua, seorang tokoh yang menguasai wilayah Pengging.
Kiai Ageng Pengging Kedua yang bernama asli Kiai Kebo Kenanga adalah Putra dari Sri Mangkurung Andayaningrat, menantu Raja Brawijaya terakhir, atau ipar Raden Patah penguasa Demak. Meski dalam sejarah pada umumnya dua anak bapak dan anak keturunannya ini sering disalahpahami sebagai tokoh yang kurang baik, namun jika kita membaca penjelasan di dalam Babad Jaka Tingkir yang ditulis Sinuhun Paku Buwana VI, Raja Surakarta yang diasingkan ke Ambon oleh pemerintah kolonial, sebab membantu perjuangan Pangeran Dipenegoro pada Perang Jawa, keluarga Pengging merupakan keluarga yang sangat religius memegang prinsip syariat Islam.
Selain penjelasan di dalam Babad Jaka Tingkir, penjelasan lain juga disinggung oleh Nancy K. Florida di dalam satu tulisan yang membahas tentang pujangga pujangga ternama Keraton Surakarta, seperti R.Ng. Yasadipura I, R.Ng. Yasadipura II, R.Ng. Ronggowarsito Sepuh, R.Ng. Ronggo Sasmito, R.Ng. Ronggowarsito Muda. Dalam penjelasannya, keluarga pujangga asal Pengging keturunan Kiai Kebo Kenanga merupakan keluarga santri terpelajar yang semuanya merampungkan pendidikan di pesantren sebelum kemudian siap mengabdikan dirinya pada rajanya di Keraton Surakarta.
Dalam penjelasannya, Nancy K. Florida menyebut bahwa bukan pujangga keraton saya yang mencecap pendidikan pesantren sebagai bagian dari persiapan mereka untuk menunaikan tugas mereka di lingkungan keraton pada akhir abad ke-18 maupun awal abad ke-19. Nancy mengutip J.F. G. Brumond, yang mencatat bahwa pendidikan pesantren dipandang merupakan pengajaran jamak untuk pejabat Istana Surakarta.
R.Ng. Yasadipura I disebut lahir dari keluarga Muslim saleh. Ibunya, Maryam, adalah anak seorang ulama yang bernama Kalipah Caripu. Sedangkan ayahnya, bernama Kiai Tumenggung Padmanegara, seorang keturunan generasi ketujuh Sultan Pajang, juga merupakan cicit Amangkurat I (Raja Mataram 1645-1677), dikatakan sebagai seorang ‘santri’ yaitu seorang ‘pelajar Islam’ yang disebut mengambil risiko meninggalkan Jawa untuk belajar ke Palembang Sumatera Selatan, di bawah bimbingan seorang guru sufi bernama Syekh Jenal Ngabidin. Sepulang dari Palembang, Padmanegara masuk sebagai abdi di Istana Kartasura pada masa Susuhunan Paku Buwana I (1704-1719), memangku jabatan Bupati Jaksa.
Sedangkan Yasadipura I sendiri pada tahun 1737, saat masih berumur 8 tahun, dikirim nyantri oleh ayahnya ke desa pedalaman Bagelen Kedhu untuk mempelajari bahasa Arab dan Jawa kepada Kyai Honggamaya, sahabat kakeknya dari pihak ibu. Tradisi mengantar anak turun untuk nyantri, belajar ke pesantren ini terus berlanjut sampai dengan anak dan cucu keturunan Padmanegara. Yasadipura II dan lalu anaknya Ranggawarsita Sepuh, kemudian cucunya yang dikenal sebagai pujangga panutup, pujangga paling besar bergelar R.Ng. Ranggawarsita Kedua, semuanya dikenal sebagai alumni pesantren Tegalsari Wengker Panaraga, santri di bawah bimbingan Kiai Ageng Imam Besari dan keturunannya. Sedangkan putra Yasadipura II lainnya yang bernama Ranggasasmita adalah pengikut tarekat Syathariyyah, salah satu tarekat yang pada masa itu diikuti oleh hampir semua pejabat di lingkungan keraton Mataram Islam.
Dari keturunan keluarga santri R.Ng. Padmanegara inilah kemudian lahir para pujangga, para cendekiawan Keraton Surakarta yang menulis banyak sekali karya sastra yang sampai hari ini masih menjadi rujukan utama untuk mengenal orang Jawa. Karya karya seperti Serat Centhini, Serat Tekawardi, Serat Kala Tidha, Babad Pakepung, Serat Ambiya, Serat Musa, Suluk Acih, Serat Wicara Keras, Serat Martabat Sanga, Serat Tajussalatin, Suluk Makmuradi Salikin, Suluk Dewaruci, Serat Cebolek, Tapel Adam, dan lain sebagainya, menjadi rujukan penting dalam memahami sejarah atau mendalami alam pikir dan kahanan spiritualitas masyarakat Jawa yang khas ilmu kebatinan ala santri, yakni ilmu tasawuf di dalam tembang tembang sufi yang disebut suluk.
Demak, Pajang, Kartasura, dan kemudian Surakarta tempo dulu adalah kota besar serupa Baghdad, Damaskus, atau Iskandaria, tempat yang Surakarta memang menjadi kota besar pada zaman itu. Kota besar kedua yang pertama kali dialiri listrik setelah Batavia, pada zaman dipimpin oleh ‘Ratu Sugih’, raja kaya Sinuhun Paku Buwana X. Dalam tulisan selanjutnya, Kiai Saifuddin menyebutkan tempat tempat untuk menginap para santri dari luar kota. Ada beberapa tempat di Kota Solo, sebagai asrama maupun tempat tinggal para santri. Tempat terbesarnya adalah Jamsaren, yang diasuh oleh Kiai Abu ‘Ammar dan yang lainnya Jenengan yang diasuh oleh Kiai Ma’ruf. Keduanya terkenal sebagai ulama besar. Keahlian Kiai Abu ‘Ammar, terutama dalam bidang Tauhid. Adapun keahlian Kiai Ma’ruf, terutama dalam bidang hadits.
Selain Pondok Pesantren Jamsaren yang dipimpin oleh Kiai Abu ‘Ammar dan Pesantren Jenengan yang diasuh oleh Kiai Ma’ruf Mangunwijata, Kiai Saifuddin juga menjelaskan kedudukan dan kelebihan madrasah lain yang ada pada saat itu, seperti Madrasah Mambaul Ulum yang terletak dekat Masjid Agung Surakarta, sebuah madrasah yang diasuh oleh para ulama di bawah restu dan perlindungan keraton, dan sebagian besar pegawai kepenghuluan keraton Surakarta Hadiningrat. Madrasah ini merupakan gabungan pendidikan Islam dari tingkat dasar atau ibtidaiyah 5 tahun, tingkat menengah pertama atau tsanawiyah 3 tahun, dan menengah atas atau ‘aliyah 3 tahun.
Seluruh pengajaran di madrasah keraton yang didirikan Sunan PB X tersebut berbasis ‘kitab kuning’. Kitab-kitab yang masih dipelajari di pesantren salaf atau tradisional sampai hari ini. Madrasah Mambaul Ulum disebut Kiai Saifuddin menempati gedungnya yang bagus, tak beda dengan gedung-gedung sekolah Belanda (HIS). Guru-guru Mambaul Ulum adalah para kiai yang berpakaian resmi Jawa, yaitu berkain batik panjang, baju jas dengan leher tinggi, yakni jas tutup, berwarna putih, serta mengenakan blangkon ala Solo. Pada hari-hari tertentu di antara kiai senior mengenakan kuluk, kopiah kebesaran ala keraton. Ciri pakaian ini menjadi salah satu pembeda Mambaul Ulum dengan madrasah lain.
Selain madrasah Mambaul Ulum yang berada dalam naungan Keraton Kasunanan Surakarta, Kiai Saifuddin juga bercerita tentang Madrasah lain yang terletak di depan istana atau Pura Mangkunegaran. Madrasah itu sebelumnya bernama Sunniyah, setelah itu berganti nama Salafiah. Madrasah Salafiah diasuh oleh Kiai Dimyathi al Karim. Gelar ‘al Karim’ disematkan untuk membedakannya dengan Kiai Dimyathi Tjandrawijata, juga dikenal sebagai kiai alim pada zaman itu, yang menjabat sebagai kepala Madrasah Mambaul Ulum.
Kiai Dimyathi al Karim dikenal sebagai kiai sangat alim yang pernah menjadi Lurah, semacam kepala staf pengurus, Pondok Pesantren Tremas, Pacitan. Tremas adalah salah satu pesantren penting pada masa itu. Hampir rata-rata kiai pengasuh pondok pesantren di Jawa bersambung sanad keilmuannya pada Kiai Mahfudz dan Kiai Dimyathi dari pesantren Tremas, Pacitan. Kurikulum di Madrasah Sunniyah berbeda dengan Mambaul Ulum yang melandaskan hampir semua pelajarannya pada pedoman kitab kuning, kitab-kitab klasik, sedangkan Madrasah Sunniyah Salafiyah menempuh sistem modern, mengikuti pola pendidikan seperti halnya dengan sekolah menengah di Kairo Mesir.
Selain madrasah yang telah disebut tadi, Kiai Saifuddin menjelaskan tentang Madrasah Al Islam. Di Madrasah inilah Kiai Saifuddin Zuhri tuntas menyelesaikan pendidikan. Madrasah Al Islam terletak di Kampung Sorosejan, tak jauh dari Pondok Pesantren Jamsaren. Madrasah ini berdiri atas prakarsa masyarakat dan diasuh oleh seorang ulama terkenal bernama Kiai Imam Ghozali. Beliau dikenal sebagai ulama beraliran pembaharu atau modern tetapi berdiri di luar persyarikatan Muhammadiyah. Meski dalam penjelasan profil Kiai Ghozali disebut sebagai ulama pembaharu, namun diceritakan oleh Kiai Saifuddin bahwa Kiai Ghozali mengajar Tafsir Al-Quran dan fiqih menggunakan kitab kuning Tafsir Jalalain dan Fathul Muin, sama dengan yang dipelajari oleh santri atau yang diajarkan oleh kiai di pesantren-pesantren tradisional. Kiai Saifuddin sendiri dalam ujian akhirnya di Al Islam, diuji oleh Kiai Imam Ghozali dengan tes menjelaskan kandungan kitab Fathul Muin.
Tidak jauh dari Keraton, di daerah yang bernama Pasar Kliwon, tempat di mana komunitas keturunan Arab berkumpul, juga terdapat ‘Madrasah Arabiyah’ yang pada dasarnya diperuntukkan keluarga keturunan Arab, sebab oleh guru-guru yang sebagian besar keturunan Arab. Di daerah Pasar Kliwon inilah tempat utama di mana para habaib di Kota Surakarta, para sadah keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW berkumpul.Mereka memenuhi majelis-majelis yang digelar di Masjid Assegaf, masjid yang pada mulanya dipimpin oleh ulama terpandang, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik, yang kemudian diteruskan oleh Habib Abdul Qodir Assegaf, ayah dari Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf yang dikenal sebagai pelantun salawat itu. Sebagian dari mereka juga berkumpul, melingkar di majelis yang berada di masjid Riyadh, diampu oleh keluarga Habib Ali Muhammad al Habsy, pengarang kitab maulid Simthut Dhuror yang terkenal itu, seperti Habib Alwi bin Ali al Habsyi, lalu dilanjut oleh cucunya, Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsy.
Pada zaman itu, di daerah lain belum lazim ada madrasah yang diperuntukkan khusus untuk pelajar perempuan, sedangkan di Surakarta pada masa itu sudah ada Madrasah yang diperuntukkan untuk perempuan yang terletak di daerah Kauman, bernama Madrasah Nahdlatul Muslimat. Madrasah Nahdlatul Muslimat pada saat itu diasuh oleh tokoh perempuan Nahdlatul Ulama, bernama Ibu Nyai Mahmudah Mawardi dan Ustadzah Aisyah.
Selain alim ulama para kiai pemangku madrasah dan pesantren yang disebutkan di atas, Surakarta dikenal sebagai kota di mana banyak kiai besar yang hanya memiliki langgar, mushola kecil, atau masjid sebagai tempat berkumpul para muridnya. Seperti Kiai Ma’ruf Mangunwijata dengan Langgar Jenengan, Kiai Dimyathi Tjandrawijata, Kiai Abdu Ghani Ahmad Sajadi, Kiai Masyhud Keprabon, dan banyak lagi. Pada generasi selanjutnya, juga lahir pesantren di daerah lain, seperti Mangkuyudan, Tegalsari, dan sebagainya. Seperti di Mangkuyudan lahir Pesantren Al Muayyad yang didirikan oleh empat tokoh ulama terpandang pada zaman itu, yaitu Kiai Abdul Mannan, Kiai Ahmad Shofawi, Kiai Umar Abdul Mannan, dan Kiai Prof Moh. Adnan. Nama terakhir ini merupakan putra dari Kiai Tafsir Anom, ulama yang menjabat sebagai pengulu atau Penghulu Keraton Surakarta.
Tempat-tempat penting seperti Jamsaren, Keprabon, Sorosejan, Tegalsari, Mangkuyudan, Kauman, Pasar Kliwon, Gurawan, Jayengan, Panularan, Laweyan, dan Keprabon adalah sedikit daftar tempat yang menjadi tujuan para santri dari berbagai daerah untuk mencari pengetahuan. Saya membayangkan daerah atau kampung-kampung itu seperti halnya kampung-kampung ternama di daerah lain, yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan, seperti Buntet di Cirebon, Lirboyo, Ploso di Kediri, Tebu Ireng, Tambak Beras, Denanyar, Pacul Gowang di Jombang, Bangkalan di Madura, Sarang, Lasem, Kajen, dan lain sebagianya. Para santri datang berkumpul mendekati pusat-pusat cahaya ilmu pengetahuan, berkumpul di sekitaran rumah kediaman para kiai. Seperti halnya Kiai Saifuddin sendiri yang selama berada di Surakarta tinggal menginap di Langgar Keprabon Wetan, sebuah mushola yang berada tidak jauh dari kediaman Kiai Masyhud, ulama yang dikenal sebagai ahli ilmu.
MENELISIK LELUHUR HABIB ANIS bin ALWI al HABSYI Habib Anis bin Alwi al Habsyi terhitung masih cucu dari Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi (Shohibul Maulid Simthud Durar). Habib Anis berguru kepada Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayanda). Kisah Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husain al Habsyi sampai ke Indonesia Adalah bermula lepas ditinggal Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi (Shahibul Maulid Simthud Durar), atas saran Syarifah Khadijah (kakak perempuannya) Habib Alwi disarankan untuk berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain yakni Habib Ahmad bin Ali Al-Habsyi di Betawi.
Habib Alwi pergi ke Jawa dari Yaman, ditemani Salmin Douman, santri senior Habib Ali Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih mengandung di Seiyun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi. Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.
Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.
Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.
Akhirnya, Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta. Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpin Majlis Dzikir Ratib Syamsi Syumus ), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.
Wakaf itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. Habib Ja'far Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. ayat tersebut, menurut Habib Ja'far yang meninggal di Pasuruan 1374 H / 1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dunia, yaitu ruang antara kamar Nabi SAW dan masjid Nabawi. Sekarang bangunan bertambah dengan bangunan empat lantai yang menghadap ke Jln. Kapten Mulyadi 228, yang oleh sementara kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.
Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang giru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikinjungi banyak orang dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan masjidnya dikunjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan atau mengaji.
Habib Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelemggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiyun, Hadramaut. Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.
Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi. Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah. "Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh." Katanya waktu itu.
Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib Taufiq Assegaf, Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.
Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.
Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.
Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul Awal 1373 H / 27 November 1953. pihak keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat, seperti kain mori, wangi-wangian dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi tanda oleh Allah SWT bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.
Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo. (Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006).
Lepas kemangkatan Habib Alwi, Habib Anis melanjutkan estafeta dakwah di Kota Solo. Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama (sanad 'ilm) dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad 'ilm) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah.
Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah).
Tarekat Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.
Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Sadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini.
Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah SWT.
Membahas serta menganalisa Tharīqah ‘Alawiyyah ini khususnya menentukan masyarakat Surakarta sebagai wilayah kajian tesis ini adalah karena masyarakat muslim Solo Raya memiliki kesejarahan yang identik dengan komunitas ‘Alawiyyīn. Hal itu dapat dibuktikan dengan begitu besarnya pengaruh pemikiran Abdullah al-Haddad dalam banyak kehidupan masyarakat Islam baik dari sisi akidah, dakwah dan tasawuf dengan Tharīqah ‘Alawiyyah -nya. Hal ini terlihat dari adanya amalan-amalan yang dipraktikkan oleh kalangan yang berafiliasi kepada para Habāib, baik secara individu, maupun berjamaah. Pun pengaruh Tharīqah ‘Alawiyyah ini terlihat dari majelis-majelis taklim yang saat ini berkembang di Solo Raya yang kesemuanya merupakan kepanjangan dari majelis taklim pertama di Surakarta yaitu Majelis Taklim Habib Alwi bin AlI bin Muhammad Husein al-Habsyi yang merupakan tokoh ulama Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta.
Setelah terjadinya gelombang pelajar Indonesia yang melanjutkan belajar agama di Tarim, Yaman seperti di Darul Mushtofa dibawah asuhan Habib Umar bin Hafidz dan Rubat dibawah asuhan Habib Salim Syatiri pada kisaran awal tahun 90-an, menjadikan proses identifikasi Tharīqah ‘Alawiyyah kembali menguat. Hadirnya majelis-majelis taklim di Surakarta dan sekitarnya yang diasuh oleh para Habāib yang notabene merupakan pengamal Tharīqah ‘Alawiyyah yang juga merupakan lulusan dari Yaman, lebih menguatkan proses transmisi jaringan keulamaan Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta dan Indonesia. Pada tahun 1993, atas preferensi Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), Habib Anis menjalin relasi jaringan dakwah dan pendidikan dengan Habib Umar bin Muhammad Al Hafidz (Yaman). Banyak sekali murid dan muhibbin tidak saja dari Majlis Solo Raya, namun juga hampir seluruh Indonesia. Dengan adanya gelombang pelajar yang massif ke Hadramaut tersebut, majelis-majelis Habāib di sekitar Solo Raya yang juga mengamalkan Tharīqah ‘Alawiyyah sudah banyak bermunculan, seperti Majlis Taklim al Hidayah, pimpinan Habib Alwi bin Ali al Habsyi (Habib Alwi Kuadrat), Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Habib Soleh al Jufry (Karang Pandan, Karanganyar), Habib Syech Assegaf ( Ahbabul Musthofa) dll.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa Jawa halus kepada orang Jawa, berbicara bahasa Sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa Indonesia baik dengan orang luar Jawa dan Sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The Smilling Habib. Berdakwah dengan akhlak baik berpakaian, berkata-kata mapun berperilaku sehari-hari adalah gambaran bagaimana meniru Rasulullah SAW.
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
TEGUH PADA TRADISI
Ajaran pokok yang digerakan oleh Habib Anis adalah ajaran gerakan ulama yang berusaha menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan tersebut dengan menyebut sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga alawiyin dengan cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah.
Cara berpikirnya adalah dinamisasi agar gerakan alawiyin tidak jumud, statis pada teks-teks saja, tidak statis pada ibarat-ibarat saja, tapi berpikir dinamis dan kontekstual, tapi tidak liberal. Gerakan yang kedua adalah amaliyah, yaitu menghidupkan amaliyah-amaliyah thoriqoh alawiyin. Amaliyah tersebut adalah praktik yang bersumber dari ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
Apa yang dilakukan Habib Anis al Habsyi adalah melestarikan ajaran leuhur alawiyin yang sarat dengan muatan faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Istilah Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah – ahl as-sunnah wa al-jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Di sini, paling kurang istilah Aswaja dipahami pada dua pemahaman (verstehen).
Pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah· di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abû Hasan al-‘Asy’âri (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abû Manshûr al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996: 189).
Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.
Pada dasarnya kerangka pemikiran diturunkan dari (beberapa) konsep/teori yang relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga bisa memunculkan asumsi-asumsi dan/atau proposisi, yang dapat ditampilkan dalam bentuk bagan alur pemikiran, yang kemudian kalau mungkin dapat dirumuskan ke dalam hipotesis operasional atau hipotesis yang dapat diuji.
Istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya”. Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan Asy’ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam Hanbali). (Syekh Hasyim Asy’ari, Risâlah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, 1418: 23).
Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam. Tak pelak, gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Al Qur'an, Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf, Majlis Maulid, Majlis Tahlil dan Yasinan dll yang berpusat di Masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada era 96 an ada Forum Remaja Masjid Militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan remaja masjid. Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin (pencinta) habaib yang tersebar luas seluruh Indonesia berdatangan menjadi koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas sejak Habib Anis bertemu Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jedah) dimana, Habib Anis mendapat referensi agar mendatangkan Habib Umar al Hafidz pada 1992 dan Habib Zain Ibrahim bin Smith (Madinah) serta juga alumni Mahad Maliki (Mekkah) dll. Galibnya Rubath Ar Riyadh Surakarta mempertemukan banyak fam (keluarga), ulama, pondok pesantren, muhibbin dari berbagai pelosok. Melalui jejaring ulama kaliber internasional ini memperkuat benteng akidah Ahlusunnah wal Jamaah di Solo Raya semakin kuat. Terutama sekali dalam mengkader ulama baik kalangan habaib maupun muhibbin (ada banyak murid Habib Anis) yang setelah belajar demgan Habib Anis kemudian dikirim ke Yaman atau Timur Tengah.
BERDAKWAH DENGAN AKHLAK
Menguraikan paradigma/pendekatan/metode yang dipergunakan dalam penelitian. Uraian mencakup, tetapi tidak terbatas pada lingkup masjid saja. Habib Anis juga peduli dengan sekitar masjid. Bahkan untuk menopang ekonomi, berdagang batik dan membuka toko.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat Jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara cuma-cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk Islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.
Habib Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi SAW. Beliau menjalankan dakwahnya berdasarkan kepada ilmu dan amal taqwa, dengan menganjurkan dan mengadakan majlis-majlis ta’lim dan juga majlis-majlis Maulid, dalam rangka menumbuhkan mahabbah umat kepada Junjungan Nabi SAW. Selain berdakwah keliling kota, sehingga muridnya menjangkau puluhan ribu orang di merata-rata tempat. beliau memusatkan kegiatan dakwah dan ta’limnya di masjid yang didirikan oleh Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, yang dikenali sebagai Masjid ar-Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon, Solo (Surakarta), Jawa Tengah.
Dalam majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab di adakan Khotmul Bukhari, yaitu khataman pengajian kitab "Jami` ash-Shohih” tersebut. Setiap malam Jumat pula diadakan majlis Maulid dengan pembacaan kitab Maulid “Simthud Durar” karya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Manakala setiap malam Jum'at Legi diadakan satu majlis taklim dan mawlid dalam skala besar dengan dihadiri ramai masyarakat awam dari pelbagai tempat yang terkenal dengan Pengajian Legian, di mana Maulid diperdengarkan dan tausyiah-tausyiah disampaikan kepada umat.
Peringatan Maulid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan Haul Imam Ali al-Habsyi disambut secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah – tamah dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan istimewa. Menurut Habib Muhammad bin Husein, semasa hidupnya, Habib Anis mengabdikan untuk berdakwah dan bergelut dalam majelis ilmu. “Beliau punya pengajian setiap harinya saat ba'da dzuhur, kecuali Jumat dan Ahad, di kediaman beliau. Pernah, ketika istri beliau meninggal masyarakat datang untuk bertakziyah. Namun begitu tiba waktunya pengajian, langsung beliau membuka kitabnya dan mulai membaca serta mengajar. Didalam rumah jenazah istrinya sedang dimandikan tapi beliau tetap istiqomah mengajar dan membimbing ummat,” terang Habib Muhammad bin Husein.
Untuk mengungkap pribadi sosok Habib Anis, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan bahwa ada empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, Zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW.
JEJARING KEILMUAN DAN THORIQOH ALAWIYIN Habib Anis bin Alwi bin Ali Al Habsyi adalah salah satu pelestari dan penjaga ajaran salafus sholih, baik secara keilmuan maupun thariqah Alawiyin pada zamannya (1953-2006) sejak ia ditinggal sang Ayah, yakni Habib Alwi bin Ali Al Habsyi. Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Ada yang sering keliru memaknai Haul Solo, atau Haul Shahibul Maulid Simthud Durar, yakni Haul dan Maulid Habib Ali bin Muhammad Husein Al Habsyi pada setiap minggu ketiga bulan Rabiul Awwal. Sekalipun yang di peringati Haul dan Maulid tidak hanya digelar di Seiwun (Hadramaut). Haul dan Maulid Solo adalah puncak kemeriahan dari semua aktivitas kegiatan keagamaan Masjid Riyadh. Menjadi magnet ratusan ribu muhibbin dari berbagai belahan dunia. Awal sejarah maulid Simthud Durar masuk ke Indonesia sendiri sebenarnya justru digelar di Jatiwangi, kemudian di Bogor dan baru di Jakarta. Selepas itu menyebar ke Pasuruan, Gresik, Surabaya, Bali, Kalimantan dan seluruh pelosok Nusantara. Seiring makin digemarinya Maulid Simthud Durar secara luas. Haul dan maulid Solo digelar oleh Habib Alwi sejak tinggal di Solo dan bersambung ke Shohibul Maulid, Habib Anis al Habsyi yakni Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi.
Habib Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi itu seorang keturunan Rasulullah SAW yang dilahirkan pada 24 Syawal 1259 H atau 1839 M di desa Qosam, Hadramaut.
Beliau seorang anak dari pernikahan al Imam al Arif Billah Habib Muhammad bin Husein AHabsyi dan Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri. Beliau diberi nama Ali oleh Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir karena dikaitkan dengan Sayyidina Ali Khali Qasam, untuk mengambil berkah darinya. Ketika berusia 7 tahun ia ditinggal oleh ayahnya untuk hijrah ke Mekkah Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir dan habib Ali pun diasuh oleh ibunya yang tetap tinggal di Qasam.
Saat Habib Ali al Habsyi mulai dewasa, dan sudah menguasai berbagai disiplin ilmu, guru-guru beliau mengizinkan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya. Beliau mulai menjadi pendakwah dan mengisi pengajian di depan umum, sehingga dengan cepat Habib Ali menjadi pusat perhatian dan dikagumi orang-orang, serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan kepimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta pertemuan-pertemuan besar yang digelar pada masa itu.
1. Simthud Durar Kitab Maulid Melegenda Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi mengarang kitab yang menceritakan bagaimana perjalanan hidup nabi yang di kenal dengan nama Simthud Durar. Kitab ini ditulis setelah kitab-kitab maulid yang telah terkenal sebelumya seperti Barzanji, ad-Dibai, Burdah al Madih dan kitab maulid lainnya. Habib Ali menulis kitab ini sebagai perwujudan dari cintanya beliau kepada Rasulullah SAW dan juga kitab ini ditulis ketika umur beliau menginjak 68 tahun.
Kitab Maulid Simthud Durar ini pertama kali dibacakan di rumah Habib Ali sendiri, saat Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi berumur 68 tahun, tepatnya 26 Shofar 1327 H/18 Maret 1909 M). Kemudian pada 12 Rabiul Awwal beliau membacakan maulid Simthud Durar di rumah Habib Umar bin Hamid murid beliau. Kemudian pada tahun 1330 H (1912 M). Kitab ini sudah bahas secara khusus oleh Dr. Ma'san Hamid,"Tradisi Pembaruan Simthud Dhurar Dalam Masyarakat Keturunan Arab di Kawasan Ampel, Surabaya, 2006 (Majalah Mafahim, 2007). Selain itu, Kitab Maulid Simthud Durar atau Simthud Durar fi Akhbar Maulid Khayril Basyar waa Ma Lahu min Ahlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama, Akhlaq,Sifat dan Riwayat Hidupnya) menurut Prof Dr. Muhammad Baharun, MA menilai kandungan Simthud Durar lebih detil dibanding kitab lainnya terutama dalam melakukan deskripsi. Banyaknya nazham-nazham di dalamnya memungkinkan orang berkreasi nada dengan rebananya. Sementara menurut Musthafa Helmi , karya Maulid ini lebih ringkas di banding ad Dibai atau al-Barzanji, karena mengkhususkan pada kisah maulid dan sedikit kehidupan dan akhlaq Rasulullah hingga hijrah. Karena ringkasnya itu banyak yang hafal kitab ini. Sementara itu menurut Habib Abdur Rahman Bassurah, Wakil Rabithah Alawiyyah, Jakarta, Maulid Simthud Durar karena mudah dihafal dengan nazham yang unik dari al Quran, mengandung madad (keagungan) dan sirr (rahasia) pada sebagian kalangan juga untuk memudahkan dan menghafalkan al Quran. Di samping kitab Maulid Simthud Durar, banyak juga karya Habib Ali lainnya yang menyebar terutama nazhamnya.
Namun secara langsung, Habib Ali bin Muhammad Husain Al-Habsyi mengungkap niatnya yang lurus dan meyakini hadirnya Rasulullah SAW di tempat yang dibacakan maulid ini. Beliau mengatakan: “Maulid Simthud Durar yang saya susun ini atas dasar niat yang benar, media yang baru, dan tidak diragukan kembali bahwa sungguh ruh Rasulullah akan hadir saat membacanya". Selain kitab Maulid, Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi lainnya adalah kitab kumpulan amalan yang berisi wirid, hizb, ratib dan lain-lain, sebagian besar berasal dari al Quran, hadis dan amalan para ulama terkemuka. Demikian juga dengan putra beliau yakni Habib Alwi bin Ali al Habsyi, kitabnya berupa kalam salaf dan catatan perjalanan (Rihlah) semua tercatat memungkinkan pada generasi penerus untuk melestarikan tradisi salaf yang masih otentik. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid Simthud-Durar dan Haul Habib Ali bin Muhammad Husein al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada Khataman Bukhari pada bulan Rajab, Khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di Zawiyah pada tengah hari.
2. Empat wasiat Habib Anis Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, Zawiyah. Di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW.
Meskipun tidak pernah masuk dalam struktur NU di Solo, namun peranan Habib Anis atas kemajuan NU di wilayah Solo Raya sangatlah besar. Beberapa muridnya bahkan kini menjadi Rais Syuriyah KH A. Baidlowi dan KH Abdul Aziz (Wonogiri), Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf (Mustasyar PWNU Jawa Tengah 2014-2019. Sekarang A'wan Syuriah PBNU 2022-2027), Habib Alwi bin Ali al Habsyi (MT al Hidayah), Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Habib Soleh al Jufri (Karangpandan, Karanganyar) dll.
3. Jaringan ulama dan Habib Sebagai penerus kekhalifahan (imam) di Masjid Riyadh, Habib Anis meneruskan beerbagai kegiatan yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Kegiatan seperti Haul Habib Ali Al-Habsyi, yang awalnya digelar oleh Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayah Habib Anis) dan kebanyakan tamunya datang dari Pasuruan (Jawa Timur). Selain maulid, acara Khatmul Bukhari, dan Maulid yang terselenggara setiap malam Jumat selalu dihadiri oleh ratusan bahkan puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah. Para ulama terkemuka, seperti TG Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul), Habib Salim bin Ahmad Jindan, KH Abdul Hamid (Pasuruan), Abuya Dimyati, Kiai Siraj, Habib Thohir Abdullah al Kaff (Tegal) dan lainnya, bahkan pernah hadir di Masjid Riyadh untuk mengikuti majelis ilmu yang dipimpin Habib Anis. Relasi ulama kaliber lnternasional yang dibangun Habib Anis semasa hidup seperti Habib Abdul Qadir Ahmad Assegaf (Jedah), Habib Zein bin Smith (Madinah), Habib Umar al Hafidz (Darul Musthofa, Tarim Yaman) dll.
Sebagai seorang ulama, Habib Anis juga pernah berkeinginan untuk menulis kitab. Namun, hingga akhir hayat beliau belum berkesempatan untuk merealisasikannya. “Belum sempat menulis kitab, hanya berencana. tapi kedahuluan dijemput oleh Allah,” tutur Habib Muhammad.
PENUTUP Dua minggu pasca-Lebaran tahun 2006, tepatnya 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006, Habib Anis Al-Habsyi wafat (68 Tahun). Sontak, kabar tersebut membuat para murid dan pecinta beliau yang tersebar di penjuru dunia, bergegas untuk ikut memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru. Kota Solo di hari wafat Habib Anis diserbu puluhan ribu pentakziah. Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam salah satu tausiyah, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad Jindan mengatakan, “Seperti saat ini kita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi."
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-Habsyi, penggubah maulid Simthud-Durar yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin Abdur Rahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdul Qadir engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin Abdurrahman meninggal dunia, Habib Abdul Kadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyimpang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin Abdur Rahman.
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk mencintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Kemurahan hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan disegani ramai. Sungguh tangan beliau senantiasa di atas dengan memberi, tidak sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta. Inilah antara ketinggian akhlak Habib Anis al-Habsyi. Habib Anis di makamkan di Qurbah Gurawan, Pasar Kliwon tepat berada di tengah tiga makam para keturunan Habib Ali, yakni makam Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, dan diapit dua makam lainnya; Habib Anis bin Alwi al-Habsyi dan Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi. Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdullah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan, Pasar Kliwon, Surakarta.
Nama pertama yang disebut merupakan putera kandung Habib Ali. Habib Alwi hijrah ke Indonesia untuk berdakwah, dan pada akhirnya pada tahun 1355 H ia mendirikan sebuah masjid di Surakarta. Masjid tersebut diberi nama sama dengan masjid yang didirikan oleh ayahnya di Hadhramaut, yakni Masjid Riyadh.
Sedangkan dua nama berikutnya, merupakan putera Habib Alwi atau cucu dari Habib Ali Al-Habsyi. Habib Ahmad lahir ketika ayahnya masih di Hadramaut, lain halnya dengan adiknya, Habib Anis yang lahir di Indonesia. Keduanya meneruskan perjuangan para leluhurnya, sebagai dai. Artinya transmisi baik secara nasab, keilmuan, thariqah serta akhlaq ajaran Nabi Muhammad SAW telah paripurna diemban oleh Habib Anis secara utuh, dimana estafeta khalifah Alawiyyin, dengan menduplikasi ajaran salaf baik sang ayah (Habib Alwi), kakek (Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi) serta ajaran salafuna sholihun yang mu'tabar dan teguh memegang tradisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Selain pada acara haul, ketiga makam tersebut setiap harinya hampir tidak pernah sepi dari peziarah. Bahkan, terkadang datang rombongan bus dari luar daerah. Hal yang tidak jauh berbeda dengan makam para Walisongo.(***)
REFERENSI: 1. Aji Setiawan, Buku Biografi Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Husain al Habsyi, wikipedia.id, 7 Februari 2022 2. Ajie Najmudin, Kamis, 27 Mei 2021 Empat Konsep Dakwah Habib Anis. www.nu.or.id
3. Manakib Salaf, Al-Kisah No.23/Tahun IV/ 6-19 November 2006 4. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006 5. Empat Konsep Dakwah Habib Anis Solo, Tim Suara Merdeka, Kamis, 18 November 2021
6.Irma Ayu Karrija Dewi, Dr. Sri Margana, M.Phil. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006.Tesis , S2 Ilmu Sejarah, Universitas Gajah Mada Yogyakarta. 7. Habib Jindan bin Novel Salim Jindan, Qul Hadihi Sabily, al Fachriyah 2007. 8.Ajie Najmuddin, “Tiga Makam Keturunan Pengarang Simtuddurar”, dalam NU Online, www.nu.or.id, diakses tanggal 7 Mei 2017, www.nu.or.id 9. DR. Ma'san Hamid,"Tradisi Pembaruan Simthud Dhurar Dalam Masyarakat Keturunan Arab di Kawasan Ampel, Surabaya, 2006. 10. Majalah Risalah, Edisi 69, Tahun X 1438 H/Februari 2007. 11. Habib Husein Anis al Habsyi, Biografi Habib Anis Al Habsyi,Muallif Simtud Durar, Solo: Pustaka Zawiyah, 2007.
12. KH Saifudin Zuhri, Jejak Kaki Pesantren, LKiS, 2000 13. KH Jamaludin Achmad, Napak Tilas Aulia’, Jombang: Pustaka Al-Muhibbin PP.Tambak Beras, 2008.
14. Majalah Al-Kisah, No.09/Tahun V/23 April 2007. 13. Eickelman, D.F. dan James Piscatory (ed), Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration, and Religious Imagination, London:Routledge, 1990.n
15. Jonge, Huub de, “Pilgrimages and Local Islam on Java”, dalam Studia Islamika, Vol. 5, No. 2, 1998:1-25.
16. Majalah Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006 17. Novel Muhammad Alaydrus, Mana Dalilnya I, Seputar Ziarah Kubur, Tawassul, Tahlil, Taman Titian Ilmu, 2006 18. Muhajir Madad Salim, “Dua Menara al-Habsyi Solo”, dalam Ensiklopedi Dunia Pesantren dan Literatur Klasik Ulama Nusantara, www.pesantrenmedia.htm, diakses pada 7 Mei 2017.
19. Rosyid, Nur, “Shalawatan With Habib: A New Transformation of the Relation among the NU Moslem Audience in Indonesia”, dalam Jantra Vol. VII, No. 2, Desember 2012:135-144.
20. Sholihah, Nurus, “ Tradisi Haul Habib Ali al-Habsyi Masyarakat Muslim Muhibbin di Pasar Kliwon Surakarta Tahun 1980-2006”, Skripsi, Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009:9-10.
21. Pedoman Kegiatan Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, UII Yogyakarta, 2001. 22. Zainul Milal Bizawie, Buku Jejaring Ulama Diponegoro, Compass, 2019. Edited AST/KKP