Orang Gelaralam
Orang Ciptagelar (bahasa Sunda: ᮅᮛᮀ ᮎᮤᮕ᮪ᮒᮌᮨᮜᮁ, translit. Urang Ciptagelar) adalah kelompok masyarakat adat yang merupakan bagian dari sub-etnis suku Sunda dan mendiami wilayah sekitar pegunungan Salak dan Halimun[3] tepatnya di Kampung Adat Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Lebak di Banten.[4]
ᮅᮛᮀ ᮎᮤᮕ᮪ᮒᮌᮨᮜᮁ | |
---|---|
Jumlah populasi | |
15.795[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Bahasa | |
Bahasa Sunda | |
Agama | |
Islam, Sunda Wiwitan[2] | |
Kelompok etnik terkait | |
Badui • Sunda • Banten |
Sejarah
Sejarah Urang Ciptagelar dimulai bersamaan dengan didirikannya Kampung Adat Ciptagelar pada tahun 1368 yang menurut sejarah didirikan oleh pasukan Kerajaan Sunda yang diperintah Prabu Siliwangi dan dibebaskan karena Prabu Siliwangi ingin melakukan moksa. Para prajurit kemudian dipisahkan menjadi tiga kelompok, membentuk desa baru yang saling berhubungan. Salah satunya adalah Kampung Gede yang berfungsi sebagai pusat kasepuhan. Sejak saat itu terbentuklah masyarakat adat yang dikenal dengan sebutan Urang Ciptagelar yang saat ini mendiami wilayah Kampung Adat Ciptagelar.[5]
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Ciptagelar adalah bahasa Sunda, taetapi kebanyakan dari mereka juga bisa berbahasa Indonesia dengan baik, terkecuali orang tua yang usianya 70 tahun ke atas, diantara mereka ada yang tidak bisa bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh orang Ciptagelar sama dengan bahasa Sunda Banten pada umumnya, namun mereka bisa membedakan mana kosakata yang halus mana yang kasar, tergantung siapa yang diajak bicara.[6]
Kebudayaan
Urang Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang sangat mengamalkan ajaran leluhur dan norma adat lainnya termasuk juga etika berpakaian masyarakat. Masyarakat Ciptagelar mempunyai aturan khusus yaitu menggunakan ikat kepala bagi laki-laki dan menggunakan kain yang dililitkan ke pinggang bagi kaum perempuan. Arti dari aturan ini yaitu hidup harus saling terikat dan menjaga kebersihan.[7]
Kemudian tata cara makan di masyarakat Ciptagelar juga masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur begitu pula dalam adab makan sehari-hari. tata cara makan yaitu piring harus diletakkan di bawah, makan tidak boleh sambil berbicara, tidak boleh ada suara ketika menyendok makanan di piring, dan perempuan tidak boleh makan dengan duduk bersilang. Perempuan yang sehari-hari menggunakan kain akan sangat tidak elok dipandang jika duduk bersilang. Selain itu perempuan juga diharapkan dapat berperilaku anggun, lemah lembut, dan sopan.
Di Kampung Adat Ciptagelar juga masih masyarakatnya masih memanfaatkan kebudayaan lama dalam memisahkan gabah padi yakni dengan menggunakan lesung dan alu. Gabah pada padi baru akan dipisahkan pada pagi hari. Kegiatan ini dilakukan oleh perempuan dari Kasepuhan Ciptagelar. Warna beras yang ditumbuk dengan lesung dan alu berbeda dengan beras yang digiling. Beras berwarna kecoklatan karena masih terbalut dengan bekatul. Sedangkan, beras yang digiling dengan mesin akan berwarna putih. Memasak beras yang dilakukan oleh Urang Ciptagelar juga masih dengan cara tradisional. Masyarakat Ciptagelar tetap mempertahankan memasak nasi dengan cara tradisional. Keberadaan kompor gas hanya digunakan untuk memasak sayuran serta lauk pauk. Tentu saja cara tersebut mengacu pada kebudayaan Sunda setempat yang telah turun-temurun. Alat yang digunakan antara lain adalah tungku (Sunda: hawu), dandang (Sunda: seeng), kukusan (Sunda: aseupan), dan kayu bakar.
Kemudian juga Listrik yang digunakan oleh masyarakat Ciptagelar berasal dari masyarakat Ciptagelar sendiri. Kampung Adat Ciptagelar tidak teraliri listrik dari PLN tetapi dengan alat mikrohidro. Mikrohidro digerakkan menggunakan air untuk mengaliri listrik di kawasan Kasepuhan Ciptagelar.[8]
Kemudian ada Upacara Seren Taun yang juga dimaksudkan untuk menghormati leluhur dan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi yang telah dilakukan. Berbagai pertunjukan seni budaya masyarakat yang ditampilkan dalam perayaan ini. Acara Seren Taun biasanya berlangsung selama 3 hari 2 malam.[9]
Kepercayaan
Masyarakat Ciptagelar umumnya beragama Islam,[10] dengan kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan yang masih bercampur didalamnya.[11] Kampung Adat Ciptagelar atau Kasepuhan Ciptagelar juga dikenal sebagai "Kasepuhan Islam Ciptagelar" yang berarti ketua adat serta sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam.[12]
Referensi
- ^ "Tradisi Ciptagelar Di Sukabumi Mampu Pertahankan Kampung Adat". www.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Penganut Sunda Wiwitan: Kami Tetap Islam". www.jpnn.com. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Keunikan Perkampungan Di Lereng Gunung Halimun". www.kompasiana.com. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Ciptagelar, Kampung Adat Di Sukabumi Yang Teguh Memegang Tradisi". kumparan.com. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Tentang Kasepuhan Ciptagelar". ciptagelar.info. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Buku Budaya Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar". repository.uinbanten.ac.id. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Keunikan Tradisi Kasepuhan Ciptagelar Yang Telah Dijaga Ratusan Tahun". priangantimurnews.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Belajar Dari Kasepuhan Ciptagelar Panen Energi Dari Air Dan Matahari". www.mongabay.co.id. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "8 Budaya Unik Dalam Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi". travel.detik.com. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Piring Suguhan Yang Berjajar Di Kasepuhan Ciptagelar". medium.com. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Masyarakat Sunda Wiwitan Terusir Dari Tanahnya Sendiri". beritagar.id. Diakses tanggal 12 April 2022.
- ^ "Menjelajahi Kasepuhan Islam Ciptagelar". alif.id. Diakses tanggal 12 April 2022.