Perundungan

penganiayaan secara fisik atau verbal untuk mengintimidasi orang lain
Revisi sejak 2 Juli 2022 01.43 oleh 182.3.102.106 (bicara) (Memperbaiki ringkasan)

Penindasan, perundungan, perisakan, atau pengintimidasian (bahasa Inggris: {{{1}}}) adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu; mungkin atas dasar ras, agama, gender, Orientasi seksual, atau kemampuan. Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara Emosi, fisik, verbal, dan Media siber. Kebiasaan penindasan dapat berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antar manusia, misasalnya dari mulai di pemerintahan, organisasi, sekolah, tempat kerja, keluarga, dan lingkungan.[2][3]

Penindasan merugikan kesehatan dan perkembangan siswa.[1]

Bentuk-bentuk penindasan

Penindasan fisik

Tindakan penindasan dengan kontak secara fisik yang menimbulkan perasaan sakit fisik, luka, cedera, atau penderitaan fisik lainnya. Contohnya memukul, menampar, atau menendang orang lain.

Penindasan psikologis

Tindakan penindasan yang menimbulkan trauma psikologis, ketakutan, Depresi (psikologi), kecemasan, atau stres. Selain itu juga menimbulkan kegalauan/gusar akibat Penghasutan dari orang lain.

Faktor psikologis

Pada remaja, salah satu faktor psikologis dari tingkah laku penindasan adalah pola asuh dari orang tua, keturunan sedarah atau pengganti orang tua.[4] Pola asuh orang tua, keturunan sedarah yang otoriter dan yang permisif-memanjakan sama-sama membentuk kecenderungan anak menjadi aktor penindasan. Sebaliknya, pola asuh orangtua yang otoritatif meghindarkan remaja dari keterlibatan sebagai pelaku maupun korban penindasan.

Faktor psikologis lain yang dapat meningkatkan peluang seseorang menjadi pelaku maupun korban penindasan adalah sejarah pribadi masa lalu seseorang sebagai korban/pelaku kekerasan, asertivitas penonton penindasan yang rendah untuk menghentikan penindasan, jebakan permainan politik identitas, kepribadian yang maladaptif, kurangnya empati, kurangnya keterampilan untuk menyelesaikan masalah secara beradab disebabkan adanya campur tangan orang lain, rendahnya perasaan bertanggung jawab dalam penggunaan media sosial dikarenakan kurangnya wawasan dalam memahami kesimpulan yang terdapat dalam media sosial tersebut, kebiasaan melontarkan humor yang ofensif, hingga kebijakan publik yang tidak membuka ruang bagi audit kekuasaan.[5]

Dalam kebiasaan populer

Penindasan atau perisakan sering kali dijadikan tema cerita dalam berbagai karya, baik karya cetak maupun elektronik seperti film, FTV, permainan video atau sinetron. Biasanya yang diangkat adalah penindasan antar remaja dan berlatar di lingkungan sekolah. Beberapa judul karya seni yang mengangkat tema ini antara lain:

Referensi

  1. ^ Student Reports of Bullying, Results From the 2001 School Crime Supplement to the National Crime Victimization Survey, US National Center for Education Statistics
  2. ^ "Cambridgeshire.gov.uk". Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Oktober 2011. Diakses tanggal 21 Mei 2013. 
  3. ^ (U.S. Dept. of Justice, Fact Sheet #FS-200127)
  4. ^ Pertiwi, Mutiara; Juneman, Juneman (2012). "PERAN POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENGEMBANGKAN REMAJA MENJADI PELAKU DAN/ATAU KORBAN PEMBULIAN DI SEKOLAH". Sosio Konsepsia : Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (dalam bahasa Inggris). 17 (2): 173–191. doi:10.33007/ska.v17i2.822. ISSN 2502-7921. 
  5. ^ "Bernas.id | Persekusi Atau Perundungan Dari Sudut Pandang Psikologi Sosial". bernas.id. Diakses tanggal 13 September 2021. 

Pranala luar