Museum Rumah Cimanggis

museum di Indonesia
Revisi sejak 22 April 2022 20.15 oleh CommonsDelinker (bicara | kontrib) (Menghapus Rumahcimanggisdepok.jpg karena telah dihapus dari Commons oleh Túrelio; alasan: Copyright violation: https://eppid.pu.go.id/assets/vendors/ckfinder/userfiles/images/WhatsApp%20)

Museum Rumah Cimanggis Landhuis atau lebih dikenal dengan Rumah Cimanggis adalah bangunan tua era penjajahan Belanda di Sukmajaya yang telah dijadikan museum. Lokasinya berada di dalam Komplek RRI yang direncanakan akan menjadi area dibangunnya kampus Universitas Islam Internasional Indonesia.

Museum Rumah Cimanggis Landhuis
ᮙᮥᮞᮩᮙ᮪ ᮛᮥᮙᮂ ᮎᮤᮙᮀᮌᮤᮞ᮪ ᮜᮔ᮪ᮓ᮪ᮠᮥᮄᮞ᮪
Peta
Informasi umum
Gaya arsitekturArsitektur Hindia Baru
LokasiJl. Umum, Cisalak, Kec. Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat 16416
Negara Indonesia

Bangunan ini sudah berdiri sejak abad ke-18 dan telah beberapa kali kepemilikannya berpindah tangan. Dari yang awalnya dimiliki oleh Yohana van der Parra, istri Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-29 Petrus Albertus van der Parra, rumah Cimanggis kemudian dimiliki oleh sejumlah orang Eropa hingga kemudian menjadian bagian dari tanah milik Radio Republik Indonesia (RRI).[1][2]

Sejarah

Rumah Cimanggis diperkirakan dibangun sekitar tahun 1771-1775 dan dulunya menjadi tempat tinggal Yohana Van Der Parra, istri kedua Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus van der Parra. Oleh Petrus Albertus Van Der Parra, rumah itu diberikan kepada istrinya sebagai hadiah untuk dijadikan tempat peristirahatan. Yohana kemudian menempati rumah itu hingga wafat.[1]

Gambaran mengenai Rumah Cimanggis didokumentasikan oleh penulis buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Adolf Heuken SJ. Menurut keterangan Adolf Heuken, Rumah Cimanggis memiliki atap tinggi dengan halaman yang luas dengan arsitektur yang memadukan gaya dari berbagai negara, di antaranya gaya Inggris dan Prancis. Cimanggis sendiri dipilih sebagai lokasi bangunan karena pada masa lalu Batavia pernah berada dalam keadaan tidak sehat menyusul merebaknya penyakit malaria yang merenggut banyak nyawa. Para pejabat Belanda memilih mendirikan rumah peristirahatan di pinggiran Batavia yang lingkungannya dianggap lebih sehat.[3]

Dibangunnya rumah Van der Parra di Cimanggis turut menggerakan roda perekonomian di daerah sekitarnya. Tidak lama setelahnya, berdiri Pasar Cimanggis sebagai sentra ekonomi masyarakat setempat. Hingga saat ini, Pasar Cimanggis masih ada dan dikenal dengan nama Pasar Pal.

Pasar Pal saat itu bukan hanya sekadar tempat berlangsungnya aktivitas jual-beli, melainkan tempat beristirahat bagi para pengembara yang sedang dalam perjalanan. Biasanya para pengembara yang melalui rute Jakarta-Bogor akan berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda.[4] Yohana dan Petrus Albertus kemudian wafat. Pasca wafatnya Yohana, kepemilikan rumah berpindah tangan kepada seorang pengusaha bernama David Smith. Setelah David Smith bangkrut, kepemilikan Rumah Cimanggis sempat menjadi tidak jelas. Siapa yang berhak atas Rumah Cimanggis baru diketahui kembali pada 1953 dengan Samuel de Meyer tercatat sebagai pemiliknya. Sebelumnya, tentara Belanda sempat menempati rumah tersebut sebagai markas selama berlangsungnya agresi militer pertama.

Memasuki era orde baru, di sekitar Rumah Cimanggis didirikan tiga pemancar RRI pada 1964. Adanya pemancar RRI membuat fungsi Rumah Cimanggis ikut berubah. Pada 1978, Rumah Cimanggis dijadikan rumah dinas bagi karyawan RRI di mana rumah dibagi menjadi 13 bagian dan setiap bagiannya ditempati satu kepala keluarga.[5] Awal 2000-an, Rumah Cimanggis akhirnya dikosongkan. Sejak saat itu kondisi bangunan mulai tidak terawat dan secara perlahan mengalami kerusakan. Perhatian besar terhadap Rumah Cimanggis baru kembali muncul saat di komplek RRI tempat berdirinya bangunan ini direncanakan akan dibangun UIII.

Pembangunan UIII yang dikhawatirkan akan melenyapkan Rumah Cimanggis mendorong masyarakat dan aktifis untuk bergerak menyerukan penyelamatan bangunan tersebut mengingat nilai sejarah yang ada di dalamnya. Seruan itu utamanya ditujukan kepada Kementerian Agama selaku pemilik lahan serta Pemerintah Kota Depok.

Keinginan publik untuk menyelamatkan Rumah Cimanggis ditanggapi positif. Ketua Harian Komite Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komarudin Hidayat memastikan Rumah Cimanggis tidak akan dirobohkan saat UIII dibangun. Ia bahkan menyebut akan dilakukan restorasi bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk menambah daya tarik kampus.[6] Sementara itu, Pemkot Depok menetapkan Rumah Cimanggis sebagai bangunan yang dilindungi. Ketetapan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 593/289/Kpts/Disporyata/Huk/2018 pada 24 September 2018 yang dikeluarkan oleh Wali Kota Mohammad Idris.[7]

Dengan adanya kepastian tidak akan dirobohkan, beragam ide dari publik muncul terkait peruntukan Rumah Cimanggis untuk ke depannya. Sehubungan dengan hal itu Pemerintah Kota Depok meresmikan Rumah Cimanggis untuk dijadikan museum pertama bersejarah tepatnya timur Kota Depok.[8]

Referensi

  1. ^ a b Saraswati, Dias. "Rumah Cimanggis, Sejarah Depok dan Jejak VOC". nasional (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20. 
  2. ^ "Rumah Cimanggis Mulai Bersolek". beritasatu.com. Diakses tanggal 2019-02-24. 
  3. ^ Lestari, Sri (2018-01-21). "Pantaskah Rumah Cimanggis dibongkar karena 'peninggalan gubernur jenderal VOC yang korup'?" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20. 
  4. ^ "Kisah Rumah Cimanggis: Ditinggali Jenderal VOC hingga Gelandangan". kumparan. Diakses tanggal 2019-02-20. 
  5. ^ Saraswati, Dias. "Rumah Cimanggis, Sejarah Depok dan Jejak VOC". nasional (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20. 
  6. ^ Solehudin, Mochamad. "Kampus UIII Dibangun, Rumah Cimanggis Tidak akan Dibongkar". detiknews. Diakses tanggal 2019-02-20. 
  7. ^ Media, Kompas Cyber. "Rumah Cimanggis Ditetapkan Jadi Cagar Budaya". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-02-20. 
  8. ^ Wijanarko, Tulus (2018-10-01). "Rumah Cimanggis Depok Diusulkan Menjadi Museum Hindia Belanda". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-02-20. 

Pranala Luar