K'un-lun po
K'un-lun po (juga disebut Kun-lun po, Kunlun po, atau K'un-lun bo) adalah kapal layar kuno yang digunakan pelaut Nusantara. Pada milenium pertama setelah masehi, kapal ini menghubungkan jalur perdagangan antara India dan Cina. Kapal jenis ini masih digunakan setidaknya sampai abad ke-14.
Sejarah | |
---|---|
Wangsa Sailendra Sriwijaya Majapahit | |
Nama | K'un-lun po, Kun-lun po, Kunlun po, K'un-lun bo, Kun-lun bo, Kunlun bo, kolandiapha, kolandiapha onta, kolandiaphonta, kolandia, colandia[1] |
Pembangun | Orang Jawa dan Sumatra |
Ciri-ciri umum | |
Jenis | Kapal layar |
Panjang | Lebih dari 50 meter (164,04 ft) atau 60 meter (196,85 ft) |
Tata layar | Layar tanja |
Sejarah
Ahli astronomi Yunani dari Alexandria, Claudius Ptolemaeus, pada sekitar tahun 150 masehi dalam karyanya Geography berkata bahwa kapal besar datang dari Timur India. Ini dikonfirmasi juga oleh buku tak berpengarang yaitu Periplus Marae Erythraensis. Keduanya menyebutkan sebuah jenis kapal yang disebut kolandiaphonta (juga dikenal sebagai kolandia, kolandiapha, dan kolandiapha onta),[1][2] yang merupakan transkripsi langsung dari kata Cina K'un-lun po - yang berarti kapal "Kun-lun", nama Cina untuk Sumatra dan/atau Jawa.[3]
Buku abad ke-3 berjudul "Hal-Hal Aneh dari Selatan" (南州異物志) karya Wan Chen (萬震) mendeskripsikan kapal yang mampu membawa 600-700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 hu (斛) kargo (menurut berbagai interpretasi, berarti 250-1000 ton[4] - 600 ton bobot mati menurut Manguin).[5] Kapal ini bukan berasal dari Cina, namun mereka berasal dari K'un-lun.[catatan 1] Kapal-kapal yang disebut K'un-lun po (atau K'un-lun bo), yang besar lebih dari 50 meter panjangnya dan tingginya di atas air 5,2-7,8 meter.[catatan 2] Bila dilihat dari atas kapal-kapal itu serupa galeri-galeri yang diatapi.[6] Dia menjelaskan desain layar kapal sebagai berikut:
"Orang-orang yang berada di luar penghalang, sesuai dengan ukuran kapalnya, terkadang memasang (sampai sebanyak) empat layar yang mereka bawa secara berurutan dari haluan ke buritan. (...) Keempat layar itu tidak menghadap ke depan secara langsung, tetapi diatur secara miring, dan diatur sedemikian rupa sehingga semuanya dapat diperbaiki ke arah yang sama, untuk menerima angin dan menumpahkannya. Layar-layar yang berada di belakang layar yang menghadap arah angin menerima tekanan angin, melemparkannya dari satu ke yang lain, sehingga mereka semua mendapat keuntungan dari kekuatannya. Jika sedang badai, (para pelaut) mengurangi atau memperbesar permukaan layar sesuai dengan kondisi. Sistem layar miring ini, yang memungkinkan layar untuk menerima angin dari satu dan lainnya, menghindarkan kecemasan yang terjadi ketika memiliki tiang tinggi. Dengan demikian kapal-kapal ini berlayar tanpa menghindari angin kencang dan ombak besar, dengan itu mereka dapat mencapai kecepatan tinggi."
- Wan Chen, Hal-Hal Aneh dari Selatan[7][5]
Sebuah buku dari tahun 260 masehi yang dibuat K'ang T'ai (康泰) menjelaskan kapal berlayar tujuh yang disebut po untuk mengangkut kuda yang bisa melakukan perjalanan sejauh Pakistan. Dia juga membuat rujukan untuk perdagangan muson antara pulau-pulau (atau kepulauan), yang memakan waktu satu bulan dan beberapa hari dalam sebuah po besar.[6] Kata "po" ini bukan bahasa Cina, melainkan berasal dari kata prau dari bahasa Jawa atau perahu dalam bahasa Melayu.[8] Perlu diketahui bahwa kata "perahu" sebelum abad ke-17 merujuk pada kapal-kapal besar.[9]
Faxian (Fa Hsien) dalam perjalanan pulangnya ke Cina dari India (413-414) menaiki sebuah kapal yang berisi 200 penumpang dan pelaut dari K'un-lun yang menarik kapal yang lebih kecil. Topan menghantam dan memaksa sebagian penumpang untuk pindah ke kapal yang lebih kecil, akan tetapi awak kapal kecil takut kapalnya akan kelebihan muatan, dan melepas tali pengikat untuk berpisah dari kapal besar. Untungnya kapal besar tidak tenggelam dan menjadikan penumpangnya terdampar di Ye-po-ti (Yawadwipa - Jawa).[catatan 3] Setelah 5 bulan, awak dan penumpangnya menaiki kapal lain yang sebanding dalam ukurannya untuk berlayar ke Cina.[10][11]
Pada I-ch’ieh-ching yin-i, sebuah kamus yang disusun oleh Huei-lin sekitar 817 M, po disebutkan beberapa kali:
"Ssu-ma Piao, dalam komentarnya pada Chuang Tzü, mengatakan bahwa kapal laut besar disebut dengan "po". Menurut Kuang Ya, Po adalah kapal pengarung samudera. Ia memiliki draft (kedalaman) 60 kaki (18 m).[catatan 4] Kapal ini cepat dan membawa 1000 orang beserta barang dagangannya. Kapal itu juga disebut k'un-lun-po.
Dengan kulit kayu pohon kelapa yang berserat, mereka membuat tali yang mengikat bagian-bagian kapal menjadi satu (...). Paku dan penjepit tidak digunakan, karena khawatir panasnya besi akan menimbulkan kebakaran. Kapal-kapal itu dibangun dengan memasang beberapa lapis papan samping, karena papan-papan itu tipis dan mereka khawatir akan patah. Panjangnya lebih dari 60 meter (...). Layar dikibarkan untuk memanfaatkan angin, dan kapal-kapal ini tidak dapat digerakkan oleh kekuatan manusia saja."[5]
Kuang Ya adalah kamus yang disusun oleh Chang I sekitar 230 M, sedangkan Ssu-ma Piao hidup dari sekitar tahun 240 hingga sekitar 305 M.[6] Pada 1178, petugas bea cukai Guangzhou Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri Selatan:
"Kapal yang berlayar di laut Selatan (laut Natuna Utara) dan Selatannya lagi (Samudera Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun. Babi diberi makan di dalamnya dan wine difermentasikan saat berlayar. Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru. Saat fajar, ketika gong berdentum di kapal, hewan-hewan dapat minum, kru dan penumpang sama-sama melupakan segala bahaya. Bagi siapapun yang naik semuanya tersembunyi dan hilang dalam angkasa, gunung-gunung, daratan-daratan, dan negeri-negeri asing. Pemilik kapal dapat berkata "Untuk mencapai negeri-negeri tersebut, dengan angin yang menguntungkan, dalam beberapa hari, kita pasti melihat gunung-gunung, dan kapal ini harus disetir ke arahnya". Tapi jika angin melambat, dan tidak cukup kuat untuk dapat melihat gunung dalam waktu yang ditentukan; pada kasus itu baringan mungkin harus diubah. Dan kapalnya bisa berjalan jauh melewati daratan dan kehilangan posisinya. Angin kuat mungkin muncul, kapalnya dapat terbawa kesana dan kemari, mungkin dapat bertemu dengan beting atau terdorong ke atas batu-batu tersembunyi, maka itu mungkin dapat merusak sampai ke atap rumah di atas deknya. Sebuah kapal besar dengan kargo berat tidak perlu takut akan lautan yang berombak, tetapi di air dangkal ia justru bersedih."[12]
Buku karangan Wang Dayuan tahun 1349, Daoyi Zhilüe Guangzheng Xia ("Deskripsi Orang Barbar dari Kepulauan") menjelaskan "perahu kuda" di sebuah tempat bernama Gan-mai-li di Asia Tenggara. Kapal-kapal ini lebih besar dari kapal dagang biasa, dengan sisi lambungnya dibangun dari beberapa papan. Kapal-kapal ini tidak menggunakan paku atau mortir untuk menggabungkan mereka, sebaliknya mereka menggunakan serat kelapa. Mereka memiliki dua atau tiga dek, dengan "rumah" di atas dek teratas. Di bagian bawah mereka membawa kemenyan yang sudah ditekan, di atas itu mereka membawa beberapa ratus kuda. Wang menyebutkan secara khusus kapal-kapal ini karena lada, yang juga diangkut oleh mereka, dibawa ke tempat-tempat yang jauh dengan jumlah besar. Kapal dagang biasa biasanya hanya membawa kurang dari 1/10 dari kargo mereka.[13][14]
Lihat juga
Catatan
- ^ Pengertian K'un-lun berbeda sesuai konteks dan tahun penyebutannya. Dalam hal ini ia merujuk pada penduduk Asia Tenggara.
- ^ Dalam naskah aslinya, panjang kapal ditulis sebagai 20 chang atau lebih dan lambung bebasnya 2-3 chang. Di sini 1 chang (atau zhang) diambil sebagai 2,6 meter.
- ^ Beberapa peneliti percaya Yepoti ini adalah Kalimantan.
- ^ Bisa jadi ada kesalahan terjemahan. Kapal dengan kedalaman seperti itu jelas tidak masuk akal. Ia bisa jadi merujuk pada tinggi lambung kapal, dari lunasnya sampai ke dek teratas. Pelliot mengusulkan agar ukuran itu diterjemahkan sebagai "enam atau tujuh kaki". Lihat Pelliot, Paul. "Quelques textes chinois concernant l'Indochine hindouisśe." 1925. In: Etudes Asiatiques, publiées à l'occasion du 25e anniversaire de l'EFEO.- Paris: EFEO, II: 243-263. Hal. 258.
Referensi
- ^ a b Coedès, George (1968). The Indianized States of South-East Asia. University of Hawaii Press. hlm. 29, 273. ISBN 9780824803681.
- ^ Dick-Read, Robert (2005). The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Thurlton.
- ^ Dick-Read, Robert (Juli 2006). "Indonesia and Africa: questioning the origins of some of Africa's most famous icons". The Journal for Transdisciplinary Research in Southern Africa. 2 (1): 23–45. doi:10.4102/td.v2i1.307 .
- ^ Manguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11: 266–276.
- ^ a b c Manguin, Pierre-Yves (1993). Trading Ships of the South China Sea. Journal of the Economic and Social History of the Orient. 36 (3): 253-280.
- ^ a b c Christie, Anthony (1957). "An Obscure Passage from the "Periplus: ΚΟΛΑΝΔΙΟϕΩΝΤΑ ΤΑ ΜΕΓΙΣΤΑ"". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 19: 345–353.
- ^ "Strange Things of the South", Wan Chen, dari Robert Temple
- ^ Sunyoto, Agus (2017). Atlas Walisongo. Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN.
- ^ Rafiek, M. (December 2011). "Ships and Boats in the Story of King Banjar: Semantic Studies". Borneo Research Journal. 5: 187–200.
- ^ Groeneveldt, W.P. (1887). Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources. Bruining.
- ^ Micheal Jacq-Hergoualc'h (2002). The Malay Peninsula: Crossroads of the Maritime Silk-Road (100 BC-1300 AD) . BRILL. hlm. 51–52.
- ^ Needham, Joseph (1971). Science and Civilisation in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 3, Civil Engineering and Nautics. Cambridge University Press. p. 464.
- ^ Kwee, H. K. (1997). Dao Yi Zhi Lue as a maritime traders’ guidebook. Unpublished honour’s thesis, National University of Singapore.
- ^ Miksic, John M. (2013). Singapore and the Silk Road of the Sea, 1300-1800. NUS Press. ISBN 9789971695583.