Lambang Aceh
Lambang Aceh adalah susunan dari logo dan semboyan Pancacita. Pancacita adalah lima cita, yaitu keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan. "Pancacita" diambil dari bahasa Sanskerta. Lambang Aceh berbentuk persegi lima yang menyerupai kopiah. Dalam perisai itu terdapat dacin (alat timbangan), rencong, padi, kapas, lada, cerobong pabrik, kubah masjid (di antara padi dan kapas), kitab dan kalam. Keadilan dilembangkan dengan dacin. Kepahlawanan dilambangkan dengan recong. Kemakmuran dilambangkan dengan padi, kapas, lada, dan cerobong pabrik. Kerukunan dilambangkan dengan kubah masjid. Sedangkan kesejahteraan dilambangkan kitab dan kalam.[1]
Lambang Aceh | |
---|---|
Detail | |
Perisai | Sebuah perisai yang didalamnya terdapat dacin (alat timbangan), rencong, padi, kapas, lada, cerobong pabrik, kubah masjid (di antara padi dan kapas), kitab dan kalam. |
Motto | Pancacita |
Proposal lambang baru
Pada tanggal 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh di bawah Gubernur Zaini Abdullah menetapkan bendera Bulan Bintang sebagai bendera Aceh, dan coat of arms Singa dan Buraq memegang rencong, giwang, perisai, rangkaian bunga, padi, jangkar, huruf Arab ta, kemudi, dan bulan bintang; dengan motto Hudep beu sare mate beu sajan. Lambang ini dituangkan dalam Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013, menggantikan Perda Daerah Istimewa Aceh No. 39 Tahun 1961 yang menjadi dasar hukum lambang Pancacita. Bendera tersebut berasal dari Gerakan Aceh Merdeka, dan diwujudkan semenjak digelar MoU antara Republik Indonesia dan GAM di Helsinki 2005, bahwa Aceh berhak menggunakan segala macam simbol yang digunakannya sebagai identitas daerah, termasuk bendera, lambang, dan himne, dan bukan simbol kedaulatan.[2] Begitu qanun itu diundangkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi dalam masa tenggang 15 hari karena Pemerintah Aceh diwajibkan untuk merevisi lambang Aceh.[3]
Qanun Aceh ini ditolak pada 12 Mei 2016, karena dianggap menggunakan simbol-simbol organisasi terlarang atau gerakan separatisme yang beroperasi di Republik Indonesia. Dalam Keputusan Mendagri 188.34-4791 Tahun 2016 tanggal 12 Mei 2016, lambang tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007. Senator Aceh Ghazali Abbas Adan menyatakan bahwa "sampai hari kiamat pun tidak akan pernah diterima Pemerintah Pusat."[4]
Namun, keabsahan Keputusan Mendagri tersebut dibantah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan DPRA "tidak menerima salinan secara fisik dan administrasi" dari Kemendagri, dan menyatakan Qanun tersebut "masih sah".[5]
Terpisah dari lambang versi Qanun ini, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mengusulkan alternatif kedua dari lambang daerah Aceh. Bendera versi mereka, adalah hijau dengan bulan bintang kuning dan pedang Aceh. Sementara lambang versi mereka, mereka mengusulkan Merpati, dacin, pintu Aceh, al-Qur'an, rencong, padi, dan kapas. Bagi mereka, lambang yang diproposalkan sudah cukup untuk memberi warna Islam pada identitas daerah.[6]
Referensi
- ^ Arief Mudzakir, BA & Sulistiono, S.S, ed. (2003) [2003]. "35". Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) (dalam bahasa Bahasa Indonesia) (edisi ke-1). Semarang: Aneka Ilmu. hlm. viii + 296.
- ^ Media, Kompas Cyber. "Bendera GAM Resmi Berlaku di Aceh". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-03.
- ^ "Qanun Dievaluasi, Kemendagri Imbau Warga Aceh Tidak Kibarkan Bendera". detikcom. Diakses tanggal 2022-01-03.
- ^ bakri. "Qanun Bendera Dibatalkan 3 Tahun Lalu, Ghazali Abbas Adan Menyatakan Sampai Kiamat pun Ditolak". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2022-01-03.
- ^ Iswinarno, Chandra (2019-08-07). "Viral Kemendagri Batalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Ini Respon DPRA". Suara.com. Diakses tanggal 2022-02-01.
- ^ Nur, Zainal Arifin M. "Gugat Qanun, Ini Bendera dan Lambang Aceh Usulan YARA". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2022-01-03.