Korupsi

tindakan yang dilakukan oleh oknum dari suatu pihak untuk memperkaya diri/golongan tertentu yang merugikan orang banyak

Korupsi adalah semua yang memiliki keterkaitan terhadap tindakan yang diancam dengan sanksi sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pengubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi[1][2].

Indeks persepsi korupsi di 2009. Semakin hijau menunjukkan tingkat korupsi semakin rendah; sedangkan semakin merah menunjukkan semakin tinggi tingkat korupsi sebuah negara
Konvensi PBB Menentang Korupsi

Rasuah atau mencuri (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, haram, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, mencuri, maling) ialah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik dan masyarakat yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.[3]

Sudut pandang hukum Tindakan Pidana Korupsi

  1. Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)
  2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)
  3. Penyuapan (Pasal5, Pasal 6, dan Pasal 11)
  4. Penggelapan dalam Jabatan (Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10)
  5. Pemerasan dalam Jabatan (Pasal 12)
  6. Berkaitan dengan Pemborongan proyek pengadaan barang/jasa pemerintah (Pasal 7)
  7. Gratifikasi (Pasal 12B dan Pasal 12C)[4][1][5].

Ttindak pidana korupsi secara garis besar

  • perbuatan melawan hukum,
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Bagian dari tindak pidana korupsi

  1. memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
  2. penggelapan dalam jabatan,
  3. pemerasan dalam jabatan,
  4. pungutan liar (pungli),
  5. ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
  6. menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan Pemilihan Umum partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain[6][7].

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

Persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha dan pemerintahan) terhadap tingkat korupsi di suatu negara, tingkat korupsi tersebut terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin usaha, pajak, pemenang pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui proses tender Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa, beacukai, pungutan liar dan proses pembayaran termin-termin proyek, Keuangan dan Perbankan, Minyak dan Gas Bumi, BUMN dan BUMD, Pengelolaan APBN dan APBD, Lembaga Manajemen Aset Negara dan Aset Daerah, Pertambangan, Badan Layanan Umum, Badan Layanan Umum Daerah[8][9][10]. Pendukung munculnya korupsi adalah sebagai berikut:

  • Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada masyarakat.
  • Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
  • Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
  • Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
  • Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
  • Lemahnya ketertiban hukum.
  • Lemahnya profesi hakim.
  • Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan Media massa.
  • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980: 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak di antaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)

  • Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
  • Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye"[11][12][13].

Panduan Para Hakim Menjatuhkan Terpidana Korupsi

Peraturan Mahkamah Agung (MA) keterkaitan dengan hukuman pidana untuk koruptor, tertuang dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, yang menjadi panduan para hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara terdakwa kasus korupsi[14]. Diundangkan sejak 24 Juli 2020, regulasi ini mengatur secara spesifik sebagai pedoman bagi hakim agar praktik disparitas terhadap pelaku korupsi di Indonesia, pengkategorian hukuman koruptor berdasarkan jumlah uang yang di ambil (Pasal 6) dan tingkat kesalahan (Pasal 7)[14].

  • Dikategorikan tentang kerugian keuangan Negara, terdakwa korupsi dijerat Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-undang Tipikor, Perma ini dibagi lima kategori yaitu :
  1. Paling terpaling berat yaitu kerugian negara lebih dari Rp. 100 miliar
  2. Berat yaitu kerugian negara Rp. 25 miliar-Rp. 100 miliar
  3. Sedang yaitu kerugian negara Rp. 1 miliar-Rp. 25 miliar
  4. Ringan yaitu kerugian negara Rp. 200 juta-Rp. 1 miliar
  5. Paling ringan yaitu kurang dari Rp. 200 juta[14].
  • Tingkat kesalahan hukuman yang dijatuhkan dampak, dan keuntungan bagi pelaku korupsi, tiga jenis kesalahan yaitu:
  1. Kesalahan tinggi, Dampak tinggi dan Keuntungan Terdakwa Tinggi
  2. Kesalahan sedang, Dampak sedang dan Keuntungan terdakwa sedang
  3. Kesalahan rendah, Dampak rendah dan Keuntungan Terdakwa rendah[14].
  • Pidana Hukuman berdasarkan Perma 1/2020 yaitu:
  1. Penjara Seumur Hidup atau penjara 16 tahun hingga 20 tahun: terdakwa korupsi Rp. 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
  2. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
  3. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp. 1 miliar, kesalahan ringan, dampak ringan dan keuntungan ringan terdakwa ringan
  4. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
  5. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan sedang, dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
  6. Penjara 8-10 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan ringan, dampak ringan, dan keuntungan terdakwa ringan[14][15][16].

Dampak negatif

Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan Negara, Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan Ekonomi Negara, menurunnya inventasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan, Korupsi juga dapat merugikan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu Negara[17].

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Ekonomi

 
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.

Seseorang pelaku korupsi di Indonesia juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi di Indonesia, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), tetapi lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi pada masa depan.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, tetapi merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti menjanjikan dan memberikan Hadiah, penyogokan, pemerasan, campuran tangan kepentingan, dan penipuan[18].

Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan[18][19].

Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan[18].

Duabelas negara yang paling minim korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional pada tahun 2001 adalah sebagai berikut:

Menurut survei persepsi korupsi, tigabelas negara yang paling korup adalah:

Namun, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)[18].

Sumbangan kampanye dan "uang haram"

Di arena politik, sangat tidahlah sulit untuk membuktikan korupsi, tetapi tidak lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip ketidak benaran menyangkut politisi[21][22].

Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

Tuduhan korupsi sebagai alat politik

Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

Mengukur korupsi

Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan[23][24][25].

Lihat pula

Referensi

Khusus
Umum
  1. ^ a b https://acch.kpk.go.id/images/spak/files/games/07-Buku-kunci-jawaban-Arisan.pdf
  2. ^ https://jdihn.go.id/files/4/2001uu020.pdf
  3. ^ http://www.ti.or.id Transparency International
  4. ^ https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45350/uu-no-31-tahun-1999
  5. ^ https://media.neliti.com/media/publications/220789-peran-hakim-dalam-penerapan-pasal-2-unda.pdf
  6. ^ https://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf
  7. ^ http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/144/82
  8. ^ https://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf
  9. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/234
  10. ^ https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/TIPIKOR_0.pdf
  11. ^ https://text-id.123dok.com/document/oy81xwjwz-kondisi-yang-mendukung-munculnya-korupsi.html
  12. ^ https://pengayaan.com/8-kondisi-yang-mendukung-munculnya-korupsi-kolusi-dan-nepotisme/
  13. ^ https://bdkbandung.kemenag.go.id/tatarpasundan/jurnal/index.php/tp/article/viewFile/84/115
  14. ^ a b c d e https://indonesiabaik.id/infografis/jerat-hukuman-baru-bagi-koruptor
  15. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/76/pdf
  16. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/76/pdf
  17. ^ https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/ekonomi-bisnis/infografis/kerugian-negara-akibat-korupsi-di-indonesia
  18. ^ a b c d e https://katadata.co.id/safrezi/berita/6200ce92c52fb/daftar-25-negara-korupsi-terbesar-di-dunia-tahun-2021
  19. ^ a b https://www.idxchannel.com/economics/siapa-saja-negara-yang-tak-pernah-korupsi-simak-di-sini-yuk#:~:text=Selandia%20Baru%20merupakan%20negara%20pertama,pertama%20dengan%20jumlah%20skor%2088.&text=Selandia%20Baru%20konsisten%20berada%20di,korupsi%20selama%209%20tahun%20terakhir.
  20. ^ https://nasional.tempo.co/read/1501686/5-buron-kasus-korupsi-ada-yang-kabur-selama-28-tahun
  21. ^ https://www.bawaslu.go.id/id/press-release/masa-tenang-pengawas-pemilu-tangkap-tangan-25-kasus-politik-uang
  22. ^ https://bawaslu.go.id/sites/default/files/press_release/Rilis%20Dugaan%20Politik%20Uang.pdf
  23. ^ https://www.gramedia.com/literasi/dampak-korupsi/
  24. ^ https://www.kompas.com/skola/read/2021/11/22/090000269/dampak-korupsi-dan-hukumannya?page=all
  25. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/234/pdf

Pranala luar