Kartidjo Sastrodinoto
Mayor Jenderal TNI (Purn) Raden Kartidjo Sastrodinoto (2 Juni 1916 – 14 Juli 2016), adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Jawa Timur.
Kartidjo Sastrodinoto | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | Bolorejo, Kauman, Tulungagung, Keresidenan Kediri, Hindia Belanda | 2 Juni 1916
Meninggal | 14 Juli 2016 Bandung, Jawa Barat, Indonesia | (umur 100)
Karier militer | |
Pihak |
|
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1943—1963 |
Pangkat | Mayor Jenderal TNI |
Pertempuran/perang | Revolusi Nasional Indonesia |
Sunting kotak info • L • B |
Riwayat Pendidikan
- HIS di Tulungagung (1929)
- MULO di Kediri (1933)
- AMS di Malang (1936)
- Bo Ei Gyugun Kanbu Kyoiku (PETA)
- Command & General Staff Collage, AS
Riwayat Pekerjaan
- Juru Tulis Kawedanan Kartosono (1938)
- Klack Kabupaten Nganjuk (1964)
- Syodancho Kediri Syu Dae Ichi Daidam Kediri (1943)
- Wakil Komandan BKR di Kediri (1947)
- Kepala Bagian Personalia staf Pertahanan Jawa Timur di Madiun (1948)
- Kepala Staf Sub-Tritorium Militer di Kediri(1948)
- Kepala Bagian Operasi Teriterium V di Malang (1953)
- Komandan Resimen Infanteri 19 Tritorium V di Jember (1954)
- Komandan Komando Militer Kota Besar Surabaya (1958)
- Kepala Staf Kodam VIII/Brawijaya (1959)
- Sekretaris Departemen Angkatan Darat (1963)
Karier Militer
Djo- demikian nama panggilan akrabnya - memulai karier militernya di zaman Jepang. Selama 40 tahun menjalani masa kemiliterannya, peristiwa yang paling memiliki arti khusus baginya adalah Peristiwa Madiun (1948). Waktu itu sejumlah anggota Komisi Tiga Negara yang mengawasi perundingan Renville masih berada di Serangan.Kapten Kartidjo dari Resimen 34 Kediri diperintahkan menyelamatkan mereka.Celakanya, justru ia sendiri dicegat Batalyon Mustafa yang pro Merah , lalu menjadi tawanan pasukan yang dipimpin PKI. Penjagalan sudah berlangsung dimana-mana. Kartidjo sendiri dengan truk dibawa kearah Kresek dilereng gunung Wilis.Di pagi buta Kapten Kartidjo berdiri dihadapan satu regu tembak. Djo hanya bisa berdoa dan mencari setiap kemungkinan untuk bisa meloloskan diri. Peluru pertama berdentam dan Djo segera merubuhkan diri. Ia tidak tau kena atau tidak, tetapi yang terpikirkannya hanya menerjunkan diri ke lembah sedalam lima meter, dengan gaya seolah-olah telah mati sungguhan. Untung algojo tidak curiga. Tembakan reda, ia menemukan seorang haji yang selamat. Setelaah saling membuka tali pengikat , mereka berpisah. Menyelinap ke hutan jati, lalu ia menuju ke Kediri, jalan kaki dua hari dua malam.[1]
Referensi
- ^ APA & SIAPA sejumlah orang Indonesia 1983-1984. Jakarta: Grafiti Pers. 1984.