Khalid bin Walid
Abū Sulaymān Khālid ibn al-Walīd ibn al-Mughīrah al-Makhzūmī (bahasa Arab: أبو سليمان خالد بن الوليد بن المغيرة المخزومي; 585–642), meninggal 642 M) adalah seorang komandan Muslim Arab yang melayani nabi Islam Muhammad dan khalifah Rasyidun Abu Bakar (m. 632-634) dan Umar (m. 634-644). Dia memainkan peran militer utama dalam Perang Riddah melawan suku-suku pemberontak di Arabia pada tahun 632-633, kampanye awal di Irak Sasania pada tahun 633-634 dan penaklukan Bizantium Suriah pada tahun 634-638.
Khālid ibn al-Walīd خالد بن الوليد | |
---|---|
Julukan | Pedang Allah Yang Terhunus |
Lahir | 585 Mekkah, Jazirah Arab |
Meninggal | 642 (umur 57) Homs, Syam |
Dikebumikan | Masjid Khalid ibn al-Walid |
Pengabdian | Kekhalifahan Rasyidin |
Dinas/cabang | Pasukan Rasyidin |
Lama dinas | 632–638 |
Pangkat | Panglima tertinggi |
Kesatuan | Pengawal berkuda |
Komandan | Panglima tertinggi (632–634) Komandan lapangan (634–638) Komandan Pengawal berkuda (634–638) Military Gubernur Iraq (633–634) Gubernur Chalcis (Qinnasrin), Suriah(637–638) |
Perang/pertempuran | Pertempuran Uhud (625) Pertempuran Mu'tah (629) Pembebasan Mekkah (629/30) Pertempuran Hunain (630) Perang Riddah
|
Pasangan |
|
Anak |
|
Khalid merupakan seorang prajurit berkuda dari klan aristokrat suku Quraisy, Makhzum, yang sebelumnya dengan gigih menentang Muhammad. Ia memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Muslim di Pertempuran Uhud pada tahun 625 M. Setelah ia masuk Islam pada tahun 627 M atau 629 M, ia diangkat menjadi komandan oleh Muhammad, yang memberikan gelar Saifullah ('Pedang Allah') kepadanya. Khalid mengkoordinir penarikan pasukan Muslim secara aman selama ekspedisi yang gagal ke Mu'ta melawan sekutu Arab dari Bizantium pada tahun 629 dan memimpin kontingen Badui dari tentara Muslim selama perebutan Makkah dan Pertempuran Hunain pada sekitar tahun 630. Setelah wafatnya Muhammad, Khalid ditunjuk untuk menekan atau menundukkan suku-suku Arab di Najd dan Yamama (keduanya wilayah di Arabia tengah) yang menentang negara Muslim yang baru lahir, mengalahkan para pemimpin pemberontak Tulaihah pada Pertempuran Buzakha pada tahun 632 dan Musailamah pada Pertempuran Aqraba di tahun 633.
Khalid kemudian bergerak melawan suku-suku Arab yang sebagian besar beragama Kristen dan garnisun Persia Sasania di lembah Efrat di Irak. Dia ditugaskan kembali oleh Abu Bakar untuk memimpin pasukan Muslim di Suriah dan dia memimpin anak buahnya di sana dalam sebuah pergerakan yang tidak konvensional melintasi hamparan Gurun Suriah yang panjang dan tak berair, mendongkrak reputasinya sebagai ahli strategi militer. Sebagai hasil dari kemenangan yang menentukan melawan Bizantium di Ajnadayn (634), Fahl (634 atau 635), Damaskus (634-635) dan Yarmuk (636), kaum Muslim di bawah Khalid berhasil menguasai sebagian besar Suriah. Dia kemudian diturunkan dari komando tinggi oleh Umar. Khalid melanjutkan tugasnya sebagai letnan kunci dari penggantinya, Abu Ubayda ibn al-Jarrah dalam pengepungan Homs dan Aleppo dan Pertempuran Qinnasrin, semuanya pada tahun 637-638, yang secara kolektif memicu mundurnya pasukan kekaisaran Bizantium di bawah Kaisar Heraclius dari Suriah. Umar memberhentikan Khalid dari jabatannya sebagai gubernur Qinnasrin sesudahnya dan ia meninggal di Madinah pada tahun 642.
Khalid secara umum dianggap oleh para sejarawan sebagai salah satu jenderal Islam awal yang paling cakap dan berpengalaman. Pencapaiannya dikenang secara luas oleh umat muslim Arab. Riwayat-riwayat Islam memuji Khalid atas taktik medan perang dan kepemimpinannya yang efektif pada penaklukan-penaklukan awal yang dilancarkan oleh umat Muslim, tetapi juga menudingnya telah mengeksekusi secara ilegal anggota suku Arab yang telah memeluk Islam, yaitu anggota-anggota Bani Jadhima selama masa hidup Muhammad dan Malik bin Nuwairah selama perang Riddah, begitupula pelanggaran moral dan fiskal di Suriah. Kemasyhuran militernya meresahkan beberapa Muslim awal yang saleh, termasuk Umar, yang takut hal itu dapat berkembang menjadi kultus terhadap individu.
Leluhur dan kehidupan awal
Ayah Khalid adalah al-Walid bin al-Mughirah, seorang penengah perselisihan lokal di Makkah di Hijaz (Arabia barat).[1] Al-Walid diidentifikasi oleh sejarawan Ibnu Hisyam (wafat 833), Ibnu Duraid (wafat 837) dan Ibnu Habib (wafat 859) sebagai "pencemooh" nabi Islam Muhammad yang disinggung dalam surah-surah Al-Qur'an yang turun ketika di Makkah.[1] Dia berasal dari Bani Makhzum, klan terkemuka dari suku Quraisy dan aristokrasi Makkah pra-Islam.[2] Bani Makhzum dianggap berjasa dalam memperkenalkan perdagangan Makkah ke pasar-pasar asing,[3] khususnya Yaman dan Abyssinia (Ethiopia),[2] dan mengembangkan reputasi di kalangan suku Quraisy karena kecerdasan, kebangsawanan dan kekayaan mereka.[3] Kemasyhuran mereka merupakan berkat kepemimpinan kakeknya Khalid dari pihak ayahnya, yakni al-Mughirah bin Abdullah.[3] Paman Khalid dari pihak ayahnya, yaitu Hisyam, dikenal sebagai 'penguasa Makkah' dan tanggal kematiannya digunakan oleh kaum Quraisy sebagai awal dari kalender mereka.[4] Sejarawan Muhammad Abdulhayy Shaban mendeskripsikan Khalid sebagai "seorang pria yang memiliki kedudukan yang cukup tinggi" di dalam klannya dan Makkah secara umum.[5]
Ibu Khalid adalah al-Asma binti al-Harith bin Hazn, yang umumnya dikenal sebagai Lubaba as-Sughra ('Lubaba si kecil', untuk membedakannya dari kakak separuhnya, Lubaba al-Kubra) dari suku nomaden Bani Hilal.[6] Lubaba al-Sughra masuk Islam sekitar 622 M dan saudari tirinya dari pihak ayahnya, Maimunah, menjadi istri dari Muhammad. Melalui hubungan dari pihak ibunya, Khalid menjadi sangat akrab dengan gaya hidup suku Badui (Arab nomaden).[7]
Awal karir militernya
Oposisi terhadap Muhammad
Kaum Makhzum sangat menentang Muhammad, dan pemimpin utama klan ini, Amr bin Hisyam (Abu Jahl), yang merupakan sepupunya Khalid, mengorganisir aksi boikot terhadap klan Muhammad, Bani Hasyim dari suku Quraish, pada sekitar tahun 616-618.[1] Setelah Muhammad berhijrah dari Mekah ke Madinah di tahun 622, kaum Makhzum di bawah Abu Jahl memimpin perang melawannya sampai mereka dikalahkan di Pertempuran Badar di tahun 624.[1] Sekitar dua puluh lima sepupu ayah Khalid, termasuk Abu Jahl, dan banyak sanak saudara lainnya terbunuh dalam pertempuran itu.[1]
Tahun berikutnya Khalid memimpin sayap kanan kavaleri dari pasukan Mekah yang berhadapan dengan Muhammad pada Pertempuran Uhud di utara Madinah.[8] Menurut sejarawan Donald Routledge Hill, alih-alih melancarkan serangan frontal terhadap barisan Muslim di lereng Gunung Uhud, "Khalid mengadopsi taktik yang cerdas" dengan mengelilingi gunung dan melewati bagian samping pasukan Muslim.[9] Ia maju melalui lembah Wadi Qanat di sebelah barat Uhud sampai akhirnya dicegat oleh pemanah-pemanah Muslim di selatan lembah di Gunung Ruma.[9] Pasukan Muslim memperoleh keunggulan awal dalam pertarungan, tetapi setelah sebagian besar pemanah Muslim meninggalkan posisi mereka untuk bergabung dengan penyerbuan ke perkemahan Mekah, Khalid menyerbu ke dalam celah yang timbul di garis pertahanan belakang pasukan Muslim.[8][9] Dalam pertempuran berikutnya, beberapa lusin pasukan Muslim terbunuh.[8] Narasi-narasi dari pertempuran tersebut mendeskripsikan Khalid mengendarai kuda menembus medan pertempuran, menghabisi para pasukan Muslim dengan tombaknya.[10] Shaban memuji "kejeniusan militer" Khalid sebagai alasan kemenangan suku Quraisy di Uhud, satu-satunya pertempuran di mana suku tersebut mengalahkan Muhammad.[11]
Pada tahun 628 Muhammad dan para pengikutnya menuju Makkah untuk melakukan umrah (peziarahan kecil ke Makkah) dan suku Quraisy mengirimkan 200 kavaleri untuk mencegatnya setelah mendengar keberangkatannya.[12] Khalid adalah pimpinan kavaleri tersebut dan Muhammad menghindari menghadapinya dengan mengambil rute alternatif yang tidak konvensional dan sulit untuk dilalui, yang tertuju ke Hudaibiyah di tepi Makkah. Setelah menyadari perubahan arah Muhammad, Khalid mundur ke Mekah. Sebuah gencatan senjata antara Muslim dan suku Quraish dicapai dalam Perjanjian Hudaibiyah di bulan Maret.[12]
Mualaf dan pengabdian di bawah Muhammad
Pada tahun 6 H (sekitar tahun 627) atau 8 H (sekitar tahun 629) Khalid memeluk Islam di hadapan Muhammad bersama dengan Amr ibn al-As dari suku Quraisy;[13] sejarawan modern Michael Lecker berkomentar bahwa kisah-kisah yang menyatakan bahwa Khalid dan Amr masuk Islam pada tahun 8 H "mungkin lebih dapat dipercaya".[14] Sejarawan Akram Diya Umari menyatakan bahwa Khalid dan Amr memeluk Islam dan pindah ke Madinah setelah Perjanjian Hudaybiyya, tampaknya setelah kaum Quraish membatalkan tuntutan ekstradisi orang-orang yang baru mualaf ke Makkah.[15] Setelah mualaf-nya dirinya, Khalid "mulai mengabdikan semua bakat militernya yang cukup besar untuk menyokong negara Muslim yang baru", demikian menurut sejarawan Hugh N. Kennedy.[16]
Khalid berpartisipasi dalam ekspedisi ke Mu'ta di Yordania modern yang diperintahkan oleh Muhammad pada bulan September 629.[17][18] Tujuan dari penyerbuan itu kemungkinan untuk mendapat harta rampasan setelah mundurnya tentara Persia Sasania dari Suriah setelah kekalahannya dari Kekaisaran Bizantium pada bulan Juli. Detasemen Muslim ini dipukul mundur oleh pasukan Bizantium yang sebagian besar terdiri dari suku-suku Arab yang dipimpin oleh komandan Bizantium, Theodore, dan beberapa komandan Muslim berpangkat tinggi terbunuh.[19][20] Khalid mengambil alih komando pasukan setelah kematian para komandan yang ditunjuk dan, dengan penuh kesulitan, mengawasi penarikan mundur kaum Muslim dengan aman.[18][21] Muhammad menghadiahi Khalid dengan menganugerahkan kepadanya gelar kehormatan Saifullah ('Pedang Allah').[21][a]
Pada bulan Desember 629 atau Januari 630, Khalid mengambil bagian dalam penaklukan Mekah oleh Muhammad, yang menyebabkan sebagian besar suku Quraish memeluk Islam.[1] Dalam pertempuran itu Khalid memimpin kontingen nomaden yang disebut muhajirat al-arab ('emigran Badui').[7] Dia memimpin salah satu dari dua serangan utama ke dalam kota tersebut dan pertempuran berikutnya dengan suku Quraish, tiga dari anak buahnya terbunuh sementara dua belas orang Quraish terbunuh, menurut Ibnu Ishaq, penulis biografi abad ke-8 dari Muhammad.[23] Khalid memerintahkan Badui Bani Sulaym berposisi di garda depan pada Pertempuran Hunayn di akhir tahun itu. Dalam konfrontasi tersebut, kaum Muslimin, yang diperkuat oleh masuknya para mualaf suku Quraisy, mengalahkan suku Tsaqif - saingan lama suku Quraisy yang berbasis Ta'if - dan sekutu-sekutu nomaden mereka, suku Hawazin.[7] Khalid kemudian ditunjuk untuk menghancurkan berhala al-Uzza, salah satu dewi yang disembah dalam agama Arab pra-Islam, di daerah Nakhla antara Mekah dan Ta'if.[17]
Khalid kemudian dikirim untuk mengajak masuk Islam Bani Jadhima di Yalamlam, sekitar 80 kilometer di selatan Makkah, tapi sumber-sumber tradisional Islam menyatakan bahwa ia menyerang suku tersebut secara ilegal.[17] Dalam versi Ibnu Ishaq, Khalid membujuk para anggota suku Jadhima untuk melucuti senjata dan memeluk Islam, yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengeksekusi sejumlah anggota suku sebagai pembalasan dendam atas pembunuhan pamannya, Fakih bin al-Mughira, yang dilakukan oleh suku Jadhima sebelum Khalid memeluk Islam. Dalam narasi Ibn Hajar al-Asqalani (w. 1449), Khalid salah memahami mualaf-nya suku-suku tersebut sebagai penolakan atau penghinaan terhadap Islam karena ketidaktahuannya tentang aksen Jadhima sehingga ia menyerang mereka. Dalam kedua versi tersebut, Muhammad menyatakan dirinya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid tetapi tidak memberhentikan atau menghukumnya.[24]
Kemudian pada tahun 630, ketika Muhammad berada di Tabuk, ia mengirim Khalid untuk merebut kota pasar oasis Dumat al-Jandal.[17] Khalid berhasil membuatnya menyerah dan menjatuhkan hukuman berat kepada penduduk kota, salah satu dari para petingginya, Ukaydir ibn Abd al-Malik al-Sakuni, diperintahkan oleh Khalid untuk menandatangani perjanjian kapitulasi dengan Muhammad di Madinah.[25] Pada bulan Juni 631 Khalid diutus oleh Muhammad sebagai kepala dari 480 orang untuk mengundang suku campuran Kristen dan politeis Balharith dari Najran untuk memeluk Islam.[26] Suku tersebut mualaf dan Khalid menginstruksikan mereka tentang Qur'an dan hukum-hukum Islam sebelum kembali kepada Muhammad di Medinah dengan delegasi Balharith.[26]
Latihan Pertama
Kita tidak banyak mengetahui mengenai Khalid pada masa kanak-kanaknya. Tetapi satu hal kita tahu dengan pasti, ayah Khalid orang berada. Dia mempunyai kebun buah-buahan yang membentang dari kota Mekah sampai ke Taif. Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari kewajiban- kewajibannya.
Dia lebih leluasa untuk tidak perlu belajar berdagang, bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupannya tanpa suatu ikatan sehingga memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya, yakni tinju dan berkelahi.
Saat itu pekerjaan dalam seni berperang dianggap sebagai tanda seorang Kesatria. Seorang Panglima perang yang berarti pemimpin besar. Kepahlawanan adalah satu hal terhormat di mata masyarakat.
Ayah Khalid dan beberapa orang pamannya adalah orang-orang yang terpandang di mata masyarakat. Hal ini memberi dorongan besar kepada Khalid untuk mendapatkan kedudukan terhormat, seperti ayah dan paman- pamanya. Satu-satunya permintaan Khalid adalah agar menjadi orang yang dapat mengalahkan teman-temannya di dalam hal adu tenaga. Karena itulah dia meleburkan dirinya ke dalam seni peperangan dan bela diri. Di dalam mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga memusatkan perhatiannya ke dalam hal memimpin angkatan perang. Bakat di dalam dirinya, ditambah dengan latihan yang keras, telah menempa Khalid menjadi seorang yang luar biasa dalam kemahiran dan keberaniannya yang mengagumkan.
Pengetahuan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang sangat menakjubkan. Dengan jelas orang dapat menilai, bahwa dia akan menjadi ahli dalam seni kemiliteran.
Dari masa kanak-kanaknya dia mengharapan untuk menjadi ahli militer yang luar biasa jenialnya.
Menentang Islam
Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol di antara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati masyarakat. Karier Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy yang saat itu sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi agama orang Islam. Orang- orang Quraisy memandang Islam adalah bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Karena itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas - tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat- berakar. Khalid sebagai seorang pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri di garis paling depan dalam penggempuran terhadap islam.
Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang- orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia selalu menonjol dalam segala pertempuran, memperlihatkan kualitasnya sebagai petarung sejati kepada sukunya.
Peristiwa Uhud
Kekalahan kaum Quraisy di dalam perang Badar membuat kemarahan yang meledak- ledak di dalam diri mereka , hampir-hampir mereka tidak percaya dengan apa yang telah terjadi dengan terbunuhnya tokoh- tokoh dan jagoan- jagoan mereka dan berniat untuk membalas kekalahan.
Sebagai seorang pemuda Quraisy, Khalid bin Walid merasakan pahitnya kekalahan itu. Dia ingin membalas dendam sukunya dalam peperangan di Uhud. Khalid bersama pasukannya bergerak ke Uhud dengan bertekad menang atau mati dalam perang. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun terjaga dengan kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran. Di bukit Uhud masih ada suatu lahan yang berbahaya, dimana tentara Quraisy dapat menyerang masuk ke dalam pertahanan Islam. Untuk menjaga lahan yang berbahaya ini, Nabi ﷺ menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi ﷺ memerintahkan kepada mereka agar bertahan dalam keadaan bagaimanapun agar jangan sampai meninggalkan posisinya masing-masing.
Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu mengingat kekalahan- kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena kekalahan ini hati mereka menjadi ciut menghadapi keberanian orang-orang Islam.
Sungguhpun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan mereka, mereka gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka pijak.
Formasi pasukan menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tetap tenang dan syarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali pasukannya mencari kesempatan baik melakukan pukulan yang menentukan.
Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas tidak tahan hati. Pasukan Islam tersebut tergiur harta perang yang ada pada mayat- mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah meninggalkan posisinya dan menyerbu ke lapangan.
Khalid bin Walid dengan segera melihat kesempatan, menyerang dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal diserang bersama-sama. Posisi tersebut dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.
Dengan kecepatan melesat Khalid masuk dari garis belakang dan menggempur orang Islam di pusat pertahanan. Melihat Khalid telah masuk dari belakang, orang-orang Quraisy yang telah lari cerai- berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari belakang. Para pemenang antara beberapa menit yang lalu, telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi berbahaya.
Khalid bin Walid telah mengubah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi suatu kekalahan. Yang tadinya orang-orang Quraisy kalah dan cerai- berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang, kekalahan-kekalahan telah berubah menjadi satu kemenangan. Dia menemukan celah kelemahan pertahanan orang Islam.
Khalidlah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali pasukan yang telah cerai-berai dan memaksanya untuk kembali bertempur. Strategi perang yang luar biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang Quraisy.
Memeluk Islam
Ketika Khalid bin Walid bertobat dan menerima Islam, Rasulullah ﷺ sangat bersyukur, karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat digunakan untuk membela Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan peperangan Islam Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan perang dan menunjukan hasil gemilang atas segala upaya jihadnya.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid diamanahkan untuk memperluas wilayah Islam dan membuat pasukan Romawi dan Persia berantakan. Pada tahun 636, pasukan Arab yang dipimpin Khalid berhasil menguasai Suriah dan Palestina dalam Pertempuran Yarmuk, menandai dimulainya penyebaran Islam yang cepat di luar Arab.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Khalid diberhentikan tugasnya dari medan perang dan diberi tugas untuk menjadi duta besar. Hal ini dilakukan oleh Umar agar Khalid tidak terlalu didewakan oleh kaum Muslimin pada masa itu.
Catatan
- ^ The time and place that Khalid gained the epithet Sayf Allah ('the Sword of God') varies in the Islamic sources. Historians of the 8th and early 9th centuries indicate the title was awarded to Khalid by Caliph Abu Bakr (m. 632–634) for his successes in the Ridda wars against the tribes of Arabia opposed to the Muslim state. In the mid-to-late 9th century, the first reports began to circulate in Islamic histories that Muhammad awarded the title to Khalid for his role against the Byzantines at the Battle of Mu'ta.[22]
Referensi
- ^ a b c d e f Hinds 1991, hlm. 138.
- ^ a b Hinds 1991, hlm. 137–138.
- ^ a b c Lammens 1993, hlm. 171.
- ^ Hinds 1991, hlm. 137.
- ^ Shaban 1971, hlm. 23–24.
- ^ Landau-Tasseron 1998, hlm. 202–203.
- ^ a b c Lecker 2004, hlm. 694.
- ^ a b c Robinson 2000, hlm. 782.
- ^ a b c Hill 1975, hlm. 37.
- ^ Hill 1975, hlm. 39.
- ^ Shaban 1971, hlm. 23.
- ^ a b Watt 1971, hlm. 539.
- ^ Lecker 1989, hlm. 27, note 25.
- ^ Lecker 1989, hlm. 27.
- ^ Umari 1991, hlm. 121.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 76.
- ^ a b c d Crone 1978, hlm. 928.
- ^ a b Kaegi 1995, hlm. 72.
- ^ Kennedy 2007, hlm. 71.
- ^ Kaegi 1995, hlm. 71–72.
- ^ a b Zetterstéen 1965, hlm. 235.
- ^ Powers 2009, hlm. 80.
- ^ Umari 1991, hlm. 158.
- ^ Umari 1991, hlm. 172–173.
- ^ Vaglieri 1965, hlm. 625.
- ^ a b Schleifer 1971, hlm. 223.
Daftar pustaka
- Athamina, Khalil (1994). "The Appointment and Dismissal of Khālid b. al-Walīd from the Supreme Command: A Study of the Political Strategy of the Early Muslim Caliphs in Syria". Arabica. 41 (2): 253–272. doi:10.1163/157005894X00191. JSTOR 4057449.
- Blackburn, Richard (2005). Journey to the Sublime Porte: The Arabic Memoir of a Sharifian Agent's Diplomatic Mission to the Ottoman Imperial Court in the Era of Suleyman the Magnificent; the Relevant Text from Quṭb al-Dīn al-Nahrawālī's al-Fawā'id al-sanīyah fī al-riḥlah al-Madanīyah wa al-Rūmīyah. Beirut: Orient-Institut. ISBN 3-89913-441-9.
- Blankinship, Khalid Yahya, ed. (1993). The History of al-Ṭabarī, Volume XI: The Challenge to the Empires. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0851-3.
- Bosworth, C. E. (1960). "Buzākha". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1358. OCLC 495469456.
- Crone, P. (1978). "Khālid b. al-Walīd". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 928–929. OCLC 758278456.
- De Slane, Mac Guckin (1842). Ibn Khallikan's Biographical Dictionary, Volume 1. Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland. OCLC 833614603.
- Della Vida, G. Levi (1978). "Khathʿam". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 1105–1106. OCLC 758278456.
- Donner, Fred M. (1981). The Early Islamic Conquests. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-05327-8.
- Elad, Amikam (2016). The Rebellion of Muḥammad al-Nafs al-Zakiyya in 145/762: Ṭālibīs and Early ʿAbbāsīs in Conflict. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-22989-1.
- Elisséeff, Nikita (1965). "Dimashk". Dalam Lewis, B.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume II: C–G (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 277–291. OCLC 495469475.
- Elisséeff, Nikita (1986). "Kinnasrīn". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume V: Khe–Mahi (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 124–125. ISBN 978-90-04-07819-2.
- Friedmann, Yohanan, ed. (1992). The History of al-Ṭabarī, Volume XII: The Battle of al-Qādisīyyah and the Conquest of Syria and Palestine. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0733-2.
- Gil, Moshe (1997) [1992]. A History of Palestine, 634–1099. Diterjemahkan oleh Ethel Broido (edisi ke-Revised). Cambridge and New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-40437-1.
- Hill, D. R. (1975). "The Role of the Camel and the Horse in the Early Arab Conquests". Dalam Parry, V. J.; Yapp, M. E. War, Technology and Society in the Middle East. London: Oxford University Press, School of Oriental and African Studies. hlm. 32–43. ISBN 0-19-713581-1.
- Hillenbrand, Carole (1999). The Crusades: Islamic Perspectives. Chicago: Fitzroy Dearborn Publishers. ISBN 1-57958-210-9.
- Hinds, M. (1991). "Makhzūm". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume VI: Mahk–Mid (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 137–140. ISBN 978-90-04-08112-3.
- Humphreys, R. Stephen, ed. (1990). The History of al-Ṭabarī, Volume XV: The Crisis of the Early Caliphate: The Reign of ʿUthmān, A.D. 644–656/A.H. 24–35. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0154-5.
- Jandora, John W. (1985). "The Battle of the Yarmūk: A Reconstruction". Journal of Asian History. 19 (1): 8–21. JSTOR 41930557.
- Jankowiak, Marek (2013). "The First Arab Siege of Constantinople". Dalam Zuckerman, Constantin. Travaux et mémoires, Vol. 17: Constructing the Seventh Century. Paris: Association des Amis du Centre d'Histoire et Civilisation de Byzance. hlm. 237–320. ISBN 978-2-916716-45-9.
- Juynboll, Gautier H.A., ed. (1989). The History of al-Ṭabarī, Volume XIII: The Conquest of Iraq, Southwestern Persia, and Egypt: The Middle Years of ʿUmar's Caliphate, A.D. 636–642/A.H. 15–21. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-88706-876-8.
- Kaegi, Walter E. (1995). Byzantium and the Early Islamic Conquests. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-41172-6.
- Kaegi, Walter E. (2002). "Yarmūk". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume XI: W–Z (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 289–292. ISBN 978-90-04-12756-2.
- Kennedy, Hugh (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Second). Harlow: Longman. ISBN 978-0-582-40525-7.
- Kennedy, Hugh (2007). The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In. Philadelphia: Da Capo Press. ISBN 978-0-306-81585-0.
- Kister, M. J. (2002). "The Struggle against Musaylima and the Conquest of Yamama". Jerusalem Studies in Arabic and Islam. 27: 1–56.
- Lammens, Henri (1993) [1927]. "Makhzūm". Dalam Houtsma, M. Th.; Wensinck, A. J.; Levi-Provençal, E.; Gibb, H. A. R.; Heffening, W. E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936, Volume 5 L–Moriscos (edisi ke-Reprint). Leiden, New York and Koln: E. J. Brill. hlm. 171–172. ISBN 90-04-09791-0.
- Landau-Tasseron, Ella (1991). "Mālik b. Nuwayra". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume VI: Mahk–Mid (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 267–269. ISBN 978-90-04-08112-3.
- Landau-Tasseron, Ella, ed. (1998). The History of al-Ṭabarī, Volume XXXIX: Biographies of the Prophet's Companions and their Successors: al-Ṭabarī's Supplement to his History. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-2819-1.
- Lecker, Michael (1989). "The Estates of 'Amr b. al-'Āṣ in Palestine: Notes on a New Negev Arabic Inscription". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 52 (1): 24–37. doi:10.1017/S0041977X00023041. JSTOR 617911.
- Lecker, Michael (2004). "Al-Ridda". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume XII: Supplement (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 692–695. ISBN 978-90-04-13974-9.
- Lecker, Michael (2019). "The Houses of Khālid ibn al-Walīd and ʿAmr ibn al-ʿĀs Near the Prophet's Mosque". Dalam Peleg-Barkat, Orit; Ashkenazi, Jacob; Leibner, Uzi; Aviam, Mordechai; Talgam, Rina. Between Sea and Desert: On Kings, Nomads, Cities and Monks: Essays in Honor of Joseph Patrich. Jerusalem: Ostracon. hlm. 67–73. ISBN 978-965-92534-2-5.
- Lynch, Ryan J. (2013). "Linking Information, Creating a Legend: The Desert March of Khālid b. al-Walīd". Lights: The MESSA Journal of the University of Chicago. 2 (2): 28–41.
- Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-56181-7.
- Mulder, Stephennie (2014). "Seeing the Light: Enacting the Divine at Three Medieval Syrian Shrines". Dalam Roxburgh, David J. Envisioning Islamic Art and Architecture: Essays in Honor of Renata Holod. Leiden and Boston: Brill. hlm. 88–108. ISBN 978-90-04-26402-1.
- Pourshariati, Parvaneh (2008). Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian-Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran. London and New York: I. B. Tauris. ISBN 978-1-84511-645-3.
- Powers, David S. (2009). Muhammad Is Not the Father of Any of Your Men: The Making of the Last Prophet. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. ISBN 978-0-8122-4178-5.
- Robinson, C. F. (2000). "Uḥud". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume X: T–U (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 782–783. ISBN 978-90-04-11211-7.
- Schleifer, J. (1971). "Banuʾl-Ḥārith b. Kaʿb". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 223. OCLC 495469525.
- Shaban, M. A. (1971). Islamic History: A New Interpretation, Volume 1, A.D. 600–750 (A.H. 132) . Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-08137-5.
- Shoufani, Elias S. (1973). Al-Riddah and the Muslim Conquest of Arabia. Toronto: University of Toronto Press. ISBN 0-8020-1915-3.
- Sirriya, Elizabeth (1979). "Ziyārāt of Syria in a "Riḥla" of 'Abd al-Ghanī al-Nābulusī (1050/1641–1143/1731)". The Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. 111 (2): 109–122. doi:10.1017/s0035869x00135543.
- Umari, Akram Diya (1991). Madīnan Society at the Time of the Prophet, Volume II: The Jihād against the Mushrikūn. Diterjemahkan oleh Huda Khattab. Herndon, Virginia: The International Institute of Islamic Thought. ISBN 0-912463-37-6.
- Vaglieri, L. V. (1965). "Dūmat al-Djandal". Dalam Lewis, B.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume II: C–G (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 624–626. OCLC 495469475.
- Watt, W. Montgomery (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press. OCLC 3456619.
- Watt, W. Montgomery (1960). "Abū Bakr". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 109–111. OCLC 495469456.
- Watt, W. Montgomery (1971). "Al-Ḥudaybiya". Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 539. OCLC 495469525.
- Zein, Ibrahim; El-Wakil, Ahmed (2020). "Khālid b. al-Wālid's Treaty with the People of Damascus: Identifying the Source Document through Shared and Competing Historical Memories". Journal of Islamic Studies. 31 (3): 295–328. doi:10.1093/jis/etaa029.
- Zetterstéen, K. V. (1965). "K̲h̲ālid b. al-Walīd b. al-Mughīra al-Makhzūmī". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H. Shorter Encyclopaedia of Islam. Cornell: Cornell University Press. hlm. 235–236. OCLC 609717677.
Bacaan tambahan
- Kaegi, Walter E. (1991). "Khālid". Dalam Kazhdan, Alexander. The Oxford Dictionary of Byzantium. Oxford and New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-504652-8.
- Lynch, Ryan J. (2018). "Khalid b. al-Walid". Dalam Nicholson, Oliver. The Oxford Dictionary of Late Antiquity. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-866277-8.