Tutup, Tunjungan, Blora

desa di Kabupaten Blora, Jawa Tengah


Tutup adalah desa di kecamatan Tunjungan, Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Nama desa Tutup sendiri berasal dari nama sebuah tanaman yaitu Pohon Tutup / Trutup dan juga wilayah ini merupakan daerah yang tertutup atau daerah hutan. Dari hal tersebut kemudian dinamakan Desa Tutup.

Tutup
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenBlora
KecamatanTunjungan
Kode pos
58252
Kode Kemendagri33.16.10.2005 Edit nilai pada Wikidata

Sejarah

Pada 1830-an ada beberapa eks pasukan Diponegoro yang menghindar dari serangan Belanda ke Blora, diantaranya bernama Honggo Wijoyo. Honggo Wijoyo merupakan putra Wongsodidjoyo ii Wedana Butuh di daerah Kutoarjo dan merupakan cucu dari Wonsodidjojo I (Patih Ronggo) didaerah Kartosuro.

Diawali dengan Honggo Wijoyo bertapa kungkum di sebuah blumbang dari sebuah sumber mata air yang keluar di bawah pohon yang hingga sekarang dikenal dengan Banyurip, meskipun sudah tidak keluar airnya lagi. Dan mengapa desa tersebut kemudian dinamakan Desa Tutup ? Karena selain banyak terdapat pohon tutup, didaerah ini pun tertutup.

Sebelum tahun 1921 Tutup semula terdiri dari dua desa, yaitu

 • 1. Desa Ngetrep yang terdiri dari Dukuh Genengan dan Dukuh Ngetrep.
 • 2. Desa Tutup sendiri terdiri dari Dukuh Sukorame dan Dukuh Tutup.

Selanjutnya sekitar tahun 1921 kedua desa tersebut menjadi satu dengan nama Desa Tutup yang terdiri atas Dukuh Tutup, Dukuh Sukorame dan Dukuh Ngetrep. Pusat pemerintahan pada waktu itu berada di Dukuh Tutup.

Sebagai pejuang pendatang baru inipun terus berjuan tidak kenal lelah bersama teman–temannya selalu mengganggu Belanda. Sebagai contoh dahulu kalau ada Belanda berani melalui Dukuh Genengan untuk mengejar perusuh pasti dibunuhdan dimasukkan rawa–rawa. Maka terdapat semacam kepercayaan, tidak ada petugas pemerintah berani mengejar penjahat yang masuk ke Dukuh Genengan .

Sekitar tahun 1928 zaman Sarekat Islam ada orang dari Surabaya bernama H.O.S. Cokroaminoto bersama Kusno atau lebih dikenal dengan Bung Karno berkunjung ke Sukorame. Singgah pertama di warung Mbah Djiman depan Mbah Skater dan selanjutnya mengadakan pertemuan disebuah rumah disebelah utara perempatan Sukorame (warung mbah Asto). Menurut cerita Kades Soemardjo Tjitrodijoyo yang mendapat informasi dari adiknya Soemardji Tjitrodiharjo pertemuan tersebut sangatlah penting, sehingga beliau minta dari Ndoro Sumoputra Bupati Blora untuk diberikan keselamatan.

Jaman penjajahan dirasakan sangat berat bagi rakyat kecil. Mendapat diskriminasi segi ekonomi dan dari segi pendidikan juga dibeda – bedakan. Untuk orang Eropa disediakan ELS, untuk anak priyayi dan pegawainya Belanda disediakan HIS, sedangkan rakyat biasa hanya disediakan Sekolah Ongko Loro seta sekolah desa yang hanya tiga tahun.

Waktu jaman Jepang keadaan semakin sulit, hasil karya petani diambil Jepang dengan model Komiai, sehingga rakyat kecil tidak mampu makan. Banyak sekali ditemukan orang mati dipinggir–pinggir jalan karena kelaparan. Untuk mengurusi orang meninggal ditugaskan Mbah Setro Salimin, Mbah Marto Sayem, Mbah Kasto Gundul untuk menguburnya. Adapun mayat tersebut dikubur dalam satu lobang tanpa dilawoni dan disholati. Orang–orang yang ditugasi waktu boleh dikatakan pahlawan , sebab disamping mereka termasuk orang kurang pangan sendiri, kalau tidak ada orang yang mau diberi tugas alangkah bau dan penyakit yang akan ditimbulkan. Hal ini bisa dibuktikan dengan apabila mau menggali tanah pekuburan Sukorame sebelah selatan sendiri, sebelah jalan pintu, masuk yang belok ke utara ± 5 m terus ketimur, nanti satu galian pasti terdapat beberapa kerangka manusia.

Pada akhir pemberontakan PKI Muso sekitar tahun 1948-1949 Blora yang dikuasai PKI desa Tutup terkena sasaran Mortir di dua tempat yaitu sebelah timur Banyurip dan arah selatan rumah Bapak Padang ( ± 35 Meter ) yang dilakukan pasukan Siliwangi yang didatangkan dari Jawa Barat.

Belum tenang dari peristiwa PKI Madiun, Belanda telah menyerang Blora dengan Class keduanya. Waktu mundur dari Blora ada lima orang TNI yang singgah ke rumah Kepala Desa untuk pamit sekaligus untuk mengisi perut. Karena kondisi badan lelah serta membawa senjata semacam Brem dengan mengalungkan rentengan peluru dipundaknya, apalagi air sungai Lusi agak banjir terpaksa seorang ada yang hilang.

Masih dalam Jaman Class II, sudah sewajarnya kalau ada masyrakat yang pro Pemerintah Belanda, tapi batinnya membantu RI.

Dari orang–orang yang ditugaskan membantu tentara P Dardjo dan Letanan Taman diantaranya yaitu Petengan Kromo Sadjiyo, Modin Sabit bekerja sama dengan Kamituwo Joyo Prawiro berhasil mengambil sasaran yang dituju dengan baik.

Nama Kepala Desa Yang Pernah Menjabat Di Desa Tutup

 • Sebelum tahun 1955 dipimpin Tjitro Tenojo
 • Tahun 1955 - 1984 dipimpin Tasmin
 • Tahun 1985 - 1993 dipimpin Kamsi
 • Tahun 1994 - 2007 dipimpin M Turmudzi
 • Tahun 2007 - 2013 dipimpin Kokok Sungkowo
 • Tahun 2013 - 2019 dipimpin Sri Mujiasih
 • Tahun 2020 sampai sekarang dipimpin Kokok Sungkowo