Teuku Ben Mahmud

pahlawan nasional Indonesia
Revisi sejak 12 Oktober 2022 14.37 oleh Al Asyi (bicara | kontrib)

Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja atau Teuku Ben Mahmud adalah uleebalang Blangpidie yang memimpin perang gerilya melawan Belanda di pesisir barat selatan Aceh hingga tanah Batak pada awal abad ke-20.[1]

Kehidupan Awal

Teuku Ben Mahmud lahir di Kuta Batee (Blangpidie) pada tahun 1860. Ayahnya bernama Teuku Bentara Abbas bin Teuku Bentara Agam yang berasal dari Pidie. Sebelum menjadi uleebalang, Teuku Ben Mahmud dikenal dengan sebutan Mahmud Panglima Gumbak. Setelah mendapatkan sarakata Cap Sikeurueng dari Sultan Aceh pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud diangkat menjadi uleebalang Blangpidie dengan gelar Setia Raja.

Sebelumnya, Zelfbestuur Landschappen (hulubalang daerah swapraja) Pulau Kayu-Blangpidie adalah Teuku Nyak Sawang yang menandatangani perjanjian Pulo Kayee pada tanggal 9 Maret 1874 (sejak saat itu nama Kuta Batee resmi menjadi Blangpidie) dan dikukuhkan pada tanggal 27 Juli 1874. Setelah kematian Teuku Nyak Sawang, uleebalang Pulau Kayu dijabat oleh anaknya bernama Teuku Raja Cut. Ibu Teuku Raja Cut yaitu Cut Meutia binti Teuku Pang Chik kemudian menikah lagi dengan Teuku Ben Abbas.

Teuku Pang Chik yang berasal dari Lhoong, Aceh Besar dianggap sebagai pendiri Kuta Batee (Blangpidie). Pada awal abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Kuta Batee antara beberapa pemimpin koloni dari Pidie dan Aceh Besar. Hingga kemudian Tuanku Pangeran Husein bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1836-1869) dapat mendamaikan keduabelah pihak yang bertikai dan sekaligus menetapkan Teuku Ben Agam Pidie sebagai uleebalang Blangpidie yang pertama terlepas dari Kenegerian Susoh.

Setelah Teuku Ben Agam meninggal dunia, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya Teuku Ben Abbas, dan seterusnya digantikan oleh anaknya Teuku Ben Mahmud.

Saat masa kecil Teuku Ben Mahmud bertindak sebagai pemangku raja, sedangkan pemerintahan dikendalikan oleh Teuku Nyak Sawang, uleebalang Pulau Kayu. Hubungan antara uleebalang Blangpidie dengan uleebalang Pulo Kayee (Pulau Kayu) bermula dari tokoh pendiri kenegerian Pulo Kayee yang bernama Teuku Nyak Syeh yang menikahi Nyak Buleun, cucu tertua dari Teuku Ben Agam.

Saat Teuku Ben Mahmud berperang melawan Belanda pada 1873, Teuku Nyak Sawang bertindak atas nama uleebalang Blangpidie menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada tahun 1874.

Pada 1885, Teuku Ben Mahmud ditunjuk oleh Sultan Muhammad Daud Syah sebagai uleebalang Blangpidie dengan gelar Teuku Bentara Blang Mahmud Setia Raja. Namun dianggap tidak sah oleh Belanda. Sedangkan berdasarkan korte verklaring, besluit Belanda untuk kenegerian Blangpidie dijabat Teuku Nyak Sawang.

Baru pada tahun 1908, Belanda mengembalikan hak Teuku Ben Mahmud sebagai uleebalang Blangpidie setelah ia turun gunung. Keluarga Teuku Nyak Sawang kemudian mengajukan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar negeri Blangpidie dan Pulau Kayu menjadi negeri otonom yang terpisah.

Pengukuhan perjanjian itu dituangkan dalam Akta No.10 tanggal 15 Juni 1901, ketika Teuku Raja Cut bin Teuku Raja Nyak Sawang menjabat sebagai uleebalang Pulau Kayu. Akan tetapi, akta tersebut tidak sempat dilaksanakan dikarenakan Teuku Raja Cut meninggal, sehingga seterusnya keturunan Teuku Ben Mahmud dianggap sebagai penguasa wilayah tersebut dengan nama Zelfbestuurder Blangpidie.

Mertua Teuku Raja Cut yaitu Teuku Umar lalu menjadi uleebalang cut Pulau Kayu. Sementara itu Teuku Muhammad Daud bin Teuku Nyak Sawang menjadi uleebalang cut Guhang dengan gaji 25 Gulden. Gaji ini lebih tinggi daripada gaji uleebalang cut lainnya di Pantai Barat Selatan Aceh.[2]

Perjuangan

Pada tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang Teuku Larat uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda. Dalam penyerangan itu ditawan juga puteri Teuku Larat yang bernama Cut Intan Suadat, yang kemudian dinikahkan dengan Teuku Banta Sulaiman putra Teuku Ben Mahmud. Penyerangan itu dikenal dengan nama Perang Jambo Awe, dikarenakan penyerangan itu dipimpin panglima Teuku Ben Mahmud bernama Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan, Nagan Raya.

Pada Tahun 1900, pasukan marsose Belanda berhasil memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi (bivak) marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Setelah Belanda merebut wilayah Blangpidie pada tahun 1900, Teuku Ben Mahmud melakukan gerilya dari Kuala Batee hingga hulu Singkil. Bahkan ia sempat membantu perlawanan Sisingamangaraja XII di daerah Dairi.

Teuku Ben Mahmud memipin gerilya di barat daya Aceh dan menghadapi masose Belanda dibantu juga oleh pasukan khusus kesultanan Aceh dari Gayo. Pasukan tersebut membantu Teuku Ben Mahmud terdiri atas beberapa orang Gayo yang terkenal dan gagah berani antara lain Ang Bali dari Cane Toa, Raja Chik Padang, dan Raja Chik Pasir.

Pada 7 April 1901, pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang menyerang pasukan Belanda, sehingga membuat pasukan marsose Belanda yanh dipimpin Letnan Helb kocar kacir. Dalam pertempuran tersebut, Teuku Ben Mahmud dibantu oleh panglima-panglima yang gigih dan tangguh antara lain Haji Yahya dari Aluepaku, Sawang, Said Abbdurrahman dari Terbangang dan Teuku Cut Ali dari Kluet.

Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu telah  menewaskan 47 orang dari pasukan Teuku Ben Mahmud. Hal itu terjadi karena kurangnya persiapan dan taktik serta ketidakseimbangan kekuatan antara pasukan Teuku Ben Mahmud dengan pasukan Belanda.


mengBelanda berhasil menyandera beberapa anggota keluarga dan pasukan Teuku Ben Mahmud. Setelah itu ingiteiannya lagi untuk men yang sudah menurun, sehingga diserahkan kepada puteran,yturun gunung dan berdamai aiman

Setelah beberapa anggota keluarganya ditangkap oleh Belanda, Teuku Ben Mahmud dan 160 orang pasukannya terpaksa turun gunung pada 1908. Karena dianggap masih memiliki pengaruh terhadap perlawanan melawan Belanda, Teuku Ben Mahmud akhirnya dibuang ke Ambon pada 1911. Tidak diketahui secara pasti kondisi Teuku Ben Mahmud dalam pengasingannya di Ambon.

Penerus Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman selanjutnya juga dicurigai oleh Belanda dan diasingkan ke Peureulak, Aceh Timur pada tahun 1919 kemudian dipindahkan ke Kutaraja hingga masuk Jepang ke Aceh baru ia dapat pulang kembali ke Blangpidie. Saudaranya, Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud turut melakukan perlawanan hingga tahun 1942

Uleebalang Blangpidie selanjutnya diambilalih oleh adiknya, Teuku Rayeuk bin Teuku Ben Mahmud, karena Teuku Sabi bin Teuku Banta Sulaiman masih kecil. Baru pada tahun 1936 Zelfbestuur Landschappen Blangpidie dijabat oleh Teuku Sabi hingga terjadinya revolusi sosial pasca kemerdekaan Indonesia yang menyebabkan Teukus Sabi hilang. Teuku Sabi menikah dengan putri Datuk Nyak Raja (Zelfbestuur Landschappen Susoh). Teuku Sabi tidak memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan kepemimpinannya sebab anak laki-laki mereka satu-satunya bernama Teuku Raja Usman bin Teuku Sabi meninggal saat masih kecil akibat tenggelam di kolam sekitar kediaman Teuku Sabi.[3]

Rujukan

  1. ^ "Teuku Ben Mahmud dan Perjuangan Melawan Belanda Salah satu tokoh perlawanan terhadap kolonial Belanda,". 123dok.com. Diakses tanggal 2022-10-12. 
  2. ^ "PENDUDUK DAN PERMUKIMAN DI BLANGPIDIE PADA MASA LALU (1663-1942)". 123dok.com. Diakses tanggal 2022-10-12. 
  3. ^ "Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)". Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (dalam bahasa Inggris). 2015-02-06. Diakses tanggal 2022-10-12.