Poligini dalam Islam

Hukum Agama
Revisi sejak 27 Juni 2023 19.52 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 2 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.9.5)

Poligami dalam Islam terbatas pada Poligini yaitu seorang pria Muslim diizinkan menikahi lebih dari satu wanita. Sedangkan Poliandri Haram dalam Islam, yaitu seorang wanita menikah dengan lebih dari satu pria.[1]

Poligini atau yang lebih populer dengan kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi, poli artinya banyak dan gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya banyak,dan gamein yang artinya kawin. Jadi, poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada saat yang sama. Dalam bahasa arab poligami disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilangnya pasangan). Dalam bahasa indonesia disebut permaduan.

Poligami adalah perkawinan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan lebih dari seorang. Adapun konsep perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki kepada perempuan lebih dari seorang disebut poligini. Apabila perempuan bersuami lebih dari seorang disebut poliandri. Menurut ajaran islam, yang kemudian disebut dengan syariat islam (hukum islam), poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang dibolehkan atau mubah. Dengan demikian, meskipun dalam surat An-Nisa ayat 3 ada kalimat fankihu kalimat amr tersebut berfaedah kepada mubah bukan wajib, dapat direlevansikan dengan kaedah ushul fiqh yang berbunyi, al-ash fi al-amr al-ibahah hatta yadula dalilu ‘ala al-tahrim (asal dari sesuatu itu boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

Dalam hukum islam, poligami dipandang sebagai proses kepemimpinan laki-laki atau suami dalam rumah tangganya. Apabila seorang suami yang poligami tidak mampu melaksanakanprinsip keadilan dalam rumah tangga, ia tidak mungkin dapat melaksanakan keadilan jika menjadi pemimpin pada masyarakat. Sebagaimana jika seorang suami sewenang-wenang kepada istri-istrinya, sebagai pemimpin akan berbuat kezaliman kepada rakyatnya.

Poligami ada sebelum Islam, justru Islam membatasi jumlah berpoligami sampai empat istri. Ketentuan ini berlaku kepada setiap Muslim, kecuali Rasuiullah saw.. Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat yang mempunyai istri lebih dari empat, "Peganglah (pertahankan) empat orang dan ceraikan keseluruhannya (selebihnya)." Ini adalah bukti bahwa sebelum ada perintah tidak boleh beristri lebih dari empat, sudah ada yang berpoligami lebih dari jumlah itu. Orang-orang yang tidak mengerti menuduh bahwa Islam datang membawa ajaran poligami, padahal justru membatasi dari jumlah yang tidak terbatas.[2]

Mereka menuduh pula sabda Rasulullah saw. yang mengatakan, "Peganglah (pertahankanlah) empat orang dan ceraikan keseluruhannya (selebihnya)," berarti mengharamkan istri-istri (yang lebih dari empat), padahal pernikahan mereka sah dan berjalan baik. Istri-istri yang diceraikan itu masih boleh dinikahi Oleh orang lain, tidak ada halangan untuk mereka menikah lagi. Ketika ditetapkan syariat pembatasan sampai empat, Rasulullah saw. sudah beristri sembi\ane istri-istri Rasulullah saw. ditetapkan sebagai ibu-ibu kaum Mukmin karena kaum Mukmin diharamkan menikahi ibunya sendiri. Jika Rasulullah saw. sampai menceraikan salah seorang dari istrinya, tidak ada yang boleh menikahinya. Oleh karena itu, Rasulullah saw. Mempertahankannya dan beliau saw. dilarang menceraikannya. [2]

Ayat-ayat tentang Poligami

Poligini

Ayat Al-Qur'an yang sering digunakan mengenai diizinkannya Poligami adalah Surah An-Nisa' (4) ayat 3:

... dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

— Al-Qur'an Surah An-Nisa' (4) ayat 3

Poliandri

Ayat 3 surat An-Nisa ini sebenarnya menjelaskan secara khusus tentang Poligini. Surat An Nisa (4) ayat 22-24 memberikan daftar wanita yang tidak boleh dinikahi.

Untuk kasus poliandri disebutkan dalam Surah An Nisa (4) ayat 24:

“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami…"

— Al-Qur'an Surah An-Nisa' (4) ayat 24:

Ragam pandangan

Beberapa ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan (ketiganya ulama terkemuka Al Azhar Mesir) lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu (tahun 1899), memilih mengharamkan poligami. Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.[3].Saat ini negara Islam yang mengharamkan poligami hanya Maroko.[4] Namun sebagian besar negara-negara Islam di dunia hingga kini tetap membolehkan poligami, termasuk Undang-Undang Mesir dengan syarat sang pria harus menyertakan slip gajinya.[5]

Praktik poligami oleh Nabi Muhammad

Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).

Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial.[6] Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits, dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Kontroversi poligami oleh Ali bin Abi Thalib

Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru:[7]

Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.

Para penentang poligami kerap menggunakan hadits diatas untuk menolak dibolehkannya poligami atau bahkan membencinya, tetapi sebenarnya, hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Nabi Muhammad dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, yakni salah satu musuh Islam saat itu.[8][9]

Abu Yamân meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada rasulullah ﷺ dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu, dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu rasulullah ﷺ berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Dia ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku, dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan rasulullah ﷺ dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya.

Referensi

  1. ^ "Definisi Poligami". 
  2. ^ a b Mutawalli asy-Sya'rawi, M. (2020). Anda Bertanya, Islam Menjawab. Depok: Gema Insani. ISBN 978-602-250-866-3. 
  3. ^ Muhammad Abduh, Al-Manar, juz IV, hlm. 350
  4. ^ [1][pranala nonaktif permanen]
  5. ^ "Situs Hidatullah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-12-18. 
  6. ^ merujuk pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179
  7. ^ (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
  8. ^ Hadits Sahih dan diriwayatkan oleh Imam Muslim (halaman 1903-1904), Abu Daud (nomor 2069), Ibnu Majah (hadits (1999) dan al-Muzzi menisbatkannya juga kepada riwayat Nasa`i.
  9. ^ [2] Diarsipkan 2006-07-22 di Wayback Machine. Translation of Sahih Bukhari, Book 53 hadeeth no. 342

Pranala luar