Carok

Madura
Revisi sejak 7 Januari 2023 13.42 oleh Mako001 (bicara | kontrib) (Membalikkan suntingan oleh 2001:448A:6000:E7B:8400:1FC1:AC27:8B34 (bicara) ke revisi terakhir oleh Edowidivirgian: penghapusan isi tanpa penjelasan)

Carok adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh masyarakat Madura untuk mempertahankan harga diri dari pelecehan orang lain.[1] Penyebab utamanya yaitu terjadinya pelecehan terhadap istri orang lain atau sengketa tanah dan sumber daya alam.[2] Carok dilakukan dengan dua cara, yaitu ngonggai dan nyelep.[3] Senjata yang digunakan hanya celurit.[4] Persyaratan melakukan Carok yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda.[3]

Penyebab

Dalam masyarakat Madura, melecehkan istri dan anak orang lain merupakan hal yang memalukan bagi suaminya dan keluarganya. Masyarakat Madura menganggap istri sebagai bagian dari kehormatan laki-laki, sehingga bentuk pelecehan apapun berarti mencari kematian.[5] Salah satu prinsip hidup masyarakat Madura yaitu membalas sesuatu sama persis dengan perbuatan yang diterimanya. Bila ada anggota keluarga yang terbunuh, maka keluarganya juga akan membalas dengan cara yang sama. Pemenang Carok selalu menyimpan baju dan senjata lawan yang dibunuhnya dan kemudian memberikannya kepada anak dan kerabat dekat pelaku Carok yang terbunuh. Tujuannya adalah untuk membalaskan dendam atas kematiannya. Hal ini membuat Carok menjadi sesuatu yang diwariskan secara turun temurun.[6] Dalam perkara sengketa, Carok dijadikan sebagai cara terakhir untuk menyelesaikan masalah. Pihak yang bersengketa akan mengadakan musyawarah terlebih dahulu untuk mencapai kesepakatan damai. Jika tidak terjadi kesepakatan maka Carok diterapkan.[7]

Cara

Carok dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ngonggai dan nyelep. Ngonggai yaitu menantang lawan secara terang-terangan dengan mendatangi rumahnya. Sedangkan nyelep yaitu menyerang lawan dari samping atau dari belakang saat dalam keadaan lengah. Selain itu, Carok juga dapat terjadi secara mendadak tanpa ada persiapan sebelumnya. Ini terjadi saat ada pelecehan harga diri secara tiba-tiba.[3] Carok secara terang-terangan memerlukan tiga syarat yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. Kadigdajan berarti pihak yang akan berkelahi harus memiliki kesiapan secara fisik dan mental yaitu bela diri dan keberanian. Tampeng sereng berarti memiliki tubuh yang kebal, sedangkan banda adalah biaya yang harus disiapkan untuk memulai Carok dan menanggung biaya setelahnya. Banda digunakan untuk membayar mantra tubuh kebal, membiayai ritual kematian dari pelaku Carok yang terbunuh serta meringankan hukuman dalam putusan sidang peradilan.[8]

Carok hanya dilakukan jika pihak yang akan berkelahi telah menerima persetujuan dari keluarganya. Selain itu, Carok harus dilakukan dii tempat yang sepi dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Para pelaku Carok juga harus mengenakan pakaian adat Madura dan hanya diperbolehkan menggunakan celurit sebagai senjata. Sebelum Carok dimulai, diadakan tukar celurit dan penyampaian pesan kepada keluarga masing-masing apabila terbunuh.[7]

Pemaknaan

Dalam masyarakat Madura, Carok dimaknai sebagai bentuk mempertahankan harga diri terutama dalam perkara suami terhadap istrinya. Carok menjadi lambang kekuasaan suami terhadap istrinya sehingga terbentuk budaya berumah tangga terutama pada cara menerima tamu, cara berpakaian, dan pernikahan antar keluarga. Selain itu, Carok juga menjadi pembentuk budaya pemukiman masyarakat Madura. Dari segi status sosial, Carok dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan dan melambangkan kekuatan bagi kerabat dan lingkungan sosial pelakunya. Oleh karenanya, pemenang dalam Carok akan menyimpan senjata yang dipakai untuk membunuh serta mengubur mayat lawannya di pekarangan rumah.[3] Hal ini dilakukan sebagai bentuk pewarisan dendam kepada keturunan dari pelaku Carok.[9]

Referensi

  1. ^ Djatmiko 2019, hlm. 42.
  2. ^ Djatmiko 2019, hlm. 42–43.
  3. ^ a b c d Hastijanti 2005, hlm. 11.
  4. ^ Djatmiko 2019, hlm. 41–42.
  5. ^ Supriyadi, Ardhana, dan Wahyuni 2017, hlm. 89.
  6. ^ Jufri 2017, hlm. 16.
  7. ^ a b Jufri 2017, hlm. 15.
  8. ^ Hastijanti 2005, hlm. 12.
  9. ^ Supriyadi, Ardhana, dan Wahyuni 2017, hlm. 90.

Daftar pustaka