Carok
Carok adalah tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh masyarakat Madura untuk mempertahankan harga diri dari pelecehan orang lain.[1] Penyebab utamanya yaitu terjadinya pelecehan terhadap istri orang lain atau sengketa tanah dan sumber daya alam.[2] Carok dilakukan dengan dua cara, yaitu ngonggai dan nyelep.[3] Senjata yang digunakan hanya celurit.[4] Persyaratan melakukan Carok yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda.[3]
Jangan lupa beli
Cara
Carok dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ngonggai dan nyelep. Ngonggai yaitu menantang lawan secara terang-terangan dengan mendatangi rumahnya. Sedangkan nyelep yaitu menyerang lawan dari samping atau dari belakang saat dalam keadaan lengah. Selain itu, Carok juga dapat terjadi secara mendadak tanpa ada persiapan sebelumnya. Ini terjadi saat ada pelecehan harga diri secara tiba-tiba.[3] Carok secara terang-terangan memerlukan tiga syarat yaitu kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. Kadigdajan berarti pihak yang akan berkelahi harus memiliki kesiapan secara fisik dan mental yaitu bela diri dan keberanian. Tampeng sereng berarti memiliki tubuh yang kebal, sedangkan banda adalah biaya yang harus disiapkan untuk memulai Carok dan menanggung biaya setelahnya. Banda digunakan untuk membayar mantra tubuh kebal, membiayai ritual kematian dari pelaku Carok yang terbunuh serta meringankan hukuman dalam putusan sidang peradilan.[5]
Carok hanya dilakukan jika pihak yang akan berkelahi telah menerima persetujuan dari keluarganya. Selain itu, Carok harus dilakukan dii tempat yang sepi dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Para pelaku Carok juga harus mengenakan pakaian adat Madura dan hanya diperbolehkan menggunakan celurit sebagai senjata. Sebelum Carok dimulai, diadakan tukar celurit dan penyampaian pesan kepada keluarga masing-masing apabila terbunuh.[6]
Pemaknaan
Dalam masyarakat Madura, Carok dimaknai sebagai bentuk mempertahankan harga diri terutama dalam perkara suami terhadap istrinya. Carok menjadi lambang kekuasaan suami terhadap istrinya sehingga terbentuk budaya berumah tangga terutama pada cara menerima tamu, cara berpakaian, dan pernikahan antar keluarga. Selain itu, Carok juga menjadi pembentuk budaya pemukiman masyarakat Madura. Dari segi status sosial, Carok dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan dan melambangkan kekuatan bagi kerabat dan lingkungan sosial pelakunya. Oleh karenanya, pemenang dalam Carok akan menyimpan senjata yang dipakai untuk membunuh serta mengubur mayat lawannya di pekarangan rumah.[3] Hal ini dilakukan sebagai bentuk pewarisan dendam kepada keturunan dari pelaku Carok.[7]
Referensi
- ^ Djatmiko 2019, hlm. 42.
- ^ Djatmiko 2019, hlm. 42–43.
- ^ a b c d Hastijanti 2005, hlm. 11.
- ^ Djatmiko 2019, hlm. 41–42.
- ^ Hastijanti 2005, hlm. 12.
- ^ Jufri 2017, hlm. 15.
- ^ Supriyadi, Ardhana, dan Wahyuni 2017, hlm. 90.
Daftar pustaka
- Djatmiko, W.P. (April 2019). "Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal". Jurnal Hukum Progresif. 7 (1): 40–63. doi:10.14710/hp.7.1.40-63.
- Hastijanti, Retno (Juli 2005). "Pengaruh Ritual Carok terhadap Permukiman Tradisional Madura". Dimensi. 33 (1): 9–16.
- Jufri, Muwaffiq (Mei 2017). "Nilai Keadilan dalam Budaya Carok". Jurnal Yustitia. 18 (1): 13–22.
- Supriyadi, Ardhana, I.K., dan Wahyuni, A.A.A.R. (2017). "Pergeseran Makna Carok Bagi Masyarakat Pulau Sapudi Kabupaten Sumenep Madura 1970 – 2010". Humanis. 18 (2): 88–95. ISSN 2302-920X.