Herman Neubronner van der Tuuk

Revisi sejak 15 November 2009 17.33 oleh IvanLanin (bicara | kontrib) (~kat:Linguistika>Linguistik. Maaf tidak bisa pakai akun bot.)

Herman Neubronner van der Tuuk (23 Februari 1824 – 17 Agustus 1894) adalah peletak dasar linguistika modern beberapa bahasa yang dituturkan di Nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuna), dan Bali.

Kehidupan awal

Van der Tuuk lahir dari ayah seorang pengacara Belanda dan ibu seorang peranakan Jerman-Jawa di Malaka, di kala kota pulau itu di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Neubronner adalah nama keluarga dari pihak ibu. Ketika Traktat London (1924) mulai berlaku pada 1925, keluarga van der Tuuk berpindah ke Surabaya.

Seusai menempuh pendidikan dasar, van der Tuuk muda (sekitar 12 tahun) melanjutkan sekolah ke Belanda dan pada usia 16 tahun (1840) ia lulus ujian penerimaan di Universitas Groningen untuk studi ilmu hukum. Namun demikian ia ternyata lebih berminat mempelajari linguistika sehingga tahun 1845 pindah ke Universitas Leiden untuk memperdalam bahasa Arab dan Persia di bawah bimbingan Th. W Juynboll, saat itu seorang ahli Kearaban yang terkenal. Di samping itu ia juga mendalami Sanskrit dan bahasa Melayu.

Sumbangan

Dikenal sebagai orang yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, ia banyak menyusun kamus, seperti kamus bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Toba, bahasa Lampung, dan bahasa Bali. Sebagai tambahan, sebuah buku tata bahasa Toba juga berhasil disusunnya sebagai yang pertama kalinya. Motivasi yang terutama sebenarnya adalah dalam rangka misi penyebarluasan Bibel ke dalam bahasa-bahasa itu, meskipun van der Tuuk diketahui kurang menyukai kekristenan. Meskipun demikian, ia lah orang yang pertama kali menerjemahkan Bibel ke dalam bahasa Melayu. Magnum opus-nya adalah kamus tribahasa Kawi-Bali-Belanda, yang baru terbit sepeninggalnya.

Van der Tuuk mewariskan dua hukum tentang peralihan konsonan dalam bahasa-bahasa Austronesia. Hukum pertama adalah mengenai pergeseran antara bunyi /r/, /g/, dan /h/, sedangkan yang kedua adalah mengenai pergeseran konsonan antara /r/, /d/, dan /l/.

Di masa-masa akhir hidupnya, Van der Tuuk hidup menyendiri di Bali dan menjadi bahan gunjingan kenalan-kenalannya. Namun demikian, ia sering dimintai bantuan oleh orang-orang Bali, yang menyebutnya Tuan Dertik.