Hijab

Kerudung yang digunakan oleh wanita beragama Islam sebagai Muslimah
Revisi sejak 18 Maret 2023 15.08 oleh Dare2Leap (bicara | kontrib) (Memperbaiki kapitalisasi)

Hijab (bahasa Arab: حجاب, translit. ḥijāb, pelafalan [ħɪˈdʒaːb]) adalah kerudung yang dipakai oleh wanita beragama Islam. Meskipun terdapat banyak macam penutup kepala muslim, hijab biasanya merujuk kepada kain yang dikenakan di sekitar kepala dan leher perempuan, yang menutup rambut namun tidak menutup wajah.[1]

Smiling woman outdoors wearing a brightly colored headscarf and embroidered clothing
Wanita Tunisia berkerudung

Menurut riwayat shahih dari Aisyah, awalnya istri-istri Muhammad tidak berhijab, dan tidak pula Muhammad mengindahkan saran dari Umar bin Khattab yang memintanya agar menghijabi istri-istrinya. Hingga pada suatu saat Umar yang begitu antusias agar ayat hijab diturunkan pun menunggu di lapangan terbuka bernama al-Manasi, tempat istri-istri Muhammad biasanya buang air besar. Ketika istri Muhammad yang bernama Saudah datang dan buang air besar di sana, Umar pun berseru “Sungguh, kami telah mengenalmu wahai Saudah!” Takut akan hal itu terulang, Saudah pun melaporkan hal itu kepada Muhammad, dan tidak lama berselang ayat hijab pun diturunkan, dan istri-istri Muhammad kembali diizinkan untuk buang air besar.[2][3][4]

Sebagian kalangan muslim meyakini bahwa ayat-ayat hijab pada Al-Qur’an merupakan perintah yang mewajibkan agar para perempuan muslim berhijab;[5] sedangkan sebagian kalangan muslim lainnya meyakini bahwa ayat-ayat tersebut tidak memerintahkan pengenaan hijab untuk wanita-wanita Muslim, dengan beberapa beranggapan itu hanyalah untuk istri-istri Muhammad,[6][7] dan menganggap mengharuskannya kepada seluruh wanita muslim adalah sebuah bentuk pemaksaan pemahaman.[8] Di antara pihak yang menganggap hijab wajib bagi perempuan, tidak pula terdapat konsensus seperti pada bagian-bagian badan mana yg mesti ditutupi.[9][10][11] Aturan berbusana budak perempuan dalam hukum Syariah berbeda pula dengan aturan berbusana wanita muslim merdeka.

Saat ini, hijab wajib dipakai di Iran dan Afganistan.[12] Hukum Arab Saudi tidak mewajibkan perempuan mengenakan hijab, Muhammad bin Salman berkata bahwa meski demikian wanita tetap harus memakai "pakaian yang sopan dan terhormat", hal yang kurang lebih serupa di negara-negara Teluk lain.[13][14][15][16][17][18] Di Gaza, jihadis Palestina dalam kelompok Kepemimpinan Bersatu (UNLU) menolak aturan hijab untuk wanita.[19] Mereka juga menargetkan orang-orang yang ingin memaksakan hijab.[19] Negara lain di Eropa dan dunia Islam telah mengesahkan hukum yang melarang beberapa atau seluruh jenis hijab di publik atau di tempat tertentu. Wanita juga mengalami tekanan tidak resmi untuk memakai atau melepas hijab. Gerakan Reformasi Muslim berpendapat bahwa hijab dalam Al-Qur'an berarti "pembatas" dan digunakan dalam latar belakang pria dan wanita; jilbab dan khimar adalah pakaian pra-Islam dan Al-Qur'an hanya menyarankan cara memakainya, dan tidak menetapkan kewajiban untuk menggunakannya.[8]

Etimologi

Istilah ḥijāb aslinya digunakan untuk menandakan pemisah/sekat, tirai, atau digunakan secara umum untuk hukum Islam tentang kesopanan dan pakaian untuk wanita.[1][20] Dalam ayat-ayat Qur'an, istilah hijab juga terkadang merujuk pada tirai yang memisah pengunjung rumah utama Muhammad dari istri-istri dia. Oleh karena itu, sebagian orang mengklaim bahwa amanat Qur'an hanya berlaku untuk istri-istri Muhammad, bukan untuk seluruh wanita.[21][22] Hijab juga dapat ditafsirkan sebagai khalwat atau pengasingan wanita dari pria pada masyarakat, atau, dalam dimensi metafisika, sebagai "kerudung yang memisahkan pria, atau dunia, dari Allah".[23] Istilah untuk jilbab dalam Al-Quran adalah khimār (bahasa Arab: خِمار).[1][24][20][25][26]

Dalam Islam

Ayat Al-Qur'an mengenai hijab

Ayat-ayat Al-Qur'an tentang aturan busana tidak menggunakan istilah hijab, melainkan kata khimār (penutup kepala[27][28]) dan jilbāb (busana atau jubah).[20][nb 1] Kira-kira 6 ayat memerintahkan wanita bagaimana cara berjalan dan berbusana di publik;[29] ulama Islam tidak dapat sepakat bagaimana ayat-ayat tersebut diaplikasikan. Beberapa orang mengatakan bahwa penutup kepala wajib digunakan; ada juga orang yang mengatakan bahwa penutup kepala tidak wajib digunakan.[30]

Al-Qur'an memerintahkan pria dan wanita Muslim untuk memakai pakaian sopan,[31] dan untuk sebagian orang, hijab dipakai oleh wanita Muslim untuk menjaga kesopanan dan privasi dari pria tidak terkait. Menurut Ensiklopedia Islam dan Dunia Muslim, kesopanan menyangkut "tatapan, gaya berjalan, pakaian, dan alat kelamin" pria dan wanita.[5]

Untuk aturan berbusana, ayat-ayat yang paling jelas adalah Surat An-Nur 24:30–31. Ayat tersebut mengatakan bahwa pria dan wanita harus berbusana dan bertindak sopan; detail lebih tentang busana sopan difokuskan ke wanita.[32][33]

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai hasrat (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.

Istilah khimar, dalam konteks ayat ini, sering diterjemahkan sebagai "penutup kepala".[27][34][28] Penutup kepala seperti itu dikenakan oleh wanita di Jazirah Arab pada masa munculnya agama Islam.[35]

Interpretasi surat dalam bacaan Luxenberg tentang bacaan Suryani Al-Qur'an secara metaforis memerintahkan wanita untuk "mengencangkan sabuk di pinggang mereka". Sabuk memiliki arti simbolik kesucian di dunia Kekristenan pada saat itu.

Al-Ahzab 33:59 memberi tahu Muhammad untuk meminta anggota keluarganya dan wanita penganut Islam lain untuk memakai jilbab (pakaian luar[36]/jubah[37]) agar mereka tidak dianiaya.[33]

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya[nb 2] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Komentator Muslim sebagian besar sepakat bahwa ayat ini merujuk pada pelecehan seksual wanita Madinah. Ayat ini juga dilihat sebagai merujuk ke wanita yang bebas, untuk itu Thabari mereferensikan Ibn Abbas. Ibn Kathir mengatakan bahwa jilbab membedakan wanita Muslim bebas dari Jahiliah, agar pria lain mengetahui bahwa mereka wanita yang bebas, bukan budak atau pelacur, yang menandakan bahwa menutup diri tidak berlaku untuk orang non-Muslim. Dia mereferensikan Sufyan ats-Thawri untuk komentar dia bahwa walaupun dianggap boleh melihat wanita non-Muslim, itu tidak boleh untuk menghindari syahwat. Al-Qurtubi setuju dengan Thabari bahwa ayat ini untuk orang yang bebas. Dia melaporkan bahwa pandangan yang benar adalah sebuah jilbab menutup seluruh badan. Dia juga merujuk pada Sahabat Nabi ketika mengatakan bahwa jilbabnya tidak lebih panjang daripada rida (selendang atau pembungkus yang menutup bagian tubuh). Dia juga melaporkan pandangan minoritas yang menganggap cadar adalah jilbab. Ibnu Arabi memandang bahwa penutup yang terlalu banyak membuat wanita tidak bisa dikenali, yang disebutkan oleh ayat, walaupun Qurtubi dan Thabari setuju bahwa kata pengenalan adalah tentang membedakan wanita yang bebas.[38]

Beberapa ulama, seperti Ibnu Hayyan, Ibnu Hazm, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani menanyakan penjelasan umum ayat. Hayyan meyakini bahwa "wanita yang ..." merujuk ke wanita yang bebas dan budak, karena budak lebih memicu syahwat dan pemisahan tidak ditandakan dengan jelas. Hazm juga meyakini bahwa ayatnya juga mencakup budak Muslim karena akan melanggar hukum tidak melakukan molestasi atau fornikasi terhadap budak seperti wanita yang bebas. Dia mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak diatribusikan ke Muhammad seharusnya diabaikan.[39]

Kata ḥijāb pada Al-Quran tidak merujuk ke pakaian wanita, melainkan sebuah partisi atau tirai.[20] Kadang-kadang, penggunaannya sesuai artinya, seperti di ayat 33:53 yang merujuk ke partisi yang memisah istri-istri nabi Muhammad dari pengunjung rumahnya. Dalam penggunaan lain, kata ini menandakan pemisahan antara Tuhan dan manusia (42:51), orang jahat dan beriman (17:45), dan cahaya dari kegelapan (38:32).[20]

Interpretasi ḥijāb sebagai pemisah dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis: sebagai halangan visual, halangan fisik, dan halangan etika. Halangan visual (contohnya, antara keluarga Muhammad dan masyarakat sekitarnya) ditujukan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan, yang membebankan batas simbolik. Halangan fisik digunakan untuk membuat ruang yang memberikan kenyamanan dan privasi untuk orang, seperti wanita elit. Halangan etika, seperti ekspresi kemurnian hati dalam referensi ke istri-istri Muhammad dan pria Muslim yang mengunjunginya, membuat sesuatu haram.[29]

Hadits

Dalam hadits shahih yang merupakan hadits dengan derajat tertinggi, Aisyah melaporkan bahwa: "Awalnya istri-istri Nabi Muhammad tidak berhijab, dan tidak pula sang Nabi memerintahkan istri-istri beliau untuk mengenakannya. Pada suatu saat, Umar bin Khattab menyarankan agar Nabi Muhammad menghijabi istri-istri beliau, tetapi hal itu tidak dihiraukan oleh sang Nabi. Di zaman Nabi Muhammad, jika istri-istri beliau ingin buang air besar, mereka keluar pada waktu malam menuju tempat buang hajat yang berupa tanah lapang dan terbuka bernama Al-Manasi. Mengetahui hal tersebut, Umar yang begitu antusias agar ayat hijab diturunkan pun menunggu ketika salah satu istri Nabi akan buang air besar, yang mana pada saat itu adalah Saudah, lalu Umar berseru kepadanya, "Sungguh kami telah mengenalmu wahai Saudah!". Takut akan hal itu terulang, Saudah pun melaporkan hal tersebut kepada Nabi. Dan tidak lama berselang ayat hijab pun diturunkan. Dan istri-istri Nabi kembali diizinkan untuk buang air besar." Sahih Muslim 2170d dan al-Bukhari 146.[2][3][4]

Hadits serta tafsir ayat Al-Qur'an yang dinarasikan oleh sahabat nabi merupakan sumber yang banyak digunakan oleh ulama untuk membuat keputusan.[40][41][42] Dalam sebuah narasi oleh Aisyah, ketika Qur'an An-Nur:31 diungkapkan,

...pria kaum Anshar menuju wanita kaum Anshar dan membacakannya kata-kata yang diturunkan oleh Allah. Setiap pria membacakannya untuk istrinya, anak perempuannya, saudari dan kerabat wanita lainnya. Setiap wanita yang dibacakan berdiri, mengambil pembungkus dekorasinya, dan membungkus dirinya di dalam dari iman dan kepercayaannya penurunan Allah. Mereka muncul di belakang Nabi Muhammad, seakan-akan mereka mempunyai burung gagak di kepala mereka.[43]

Hadits yang serupa adalah Abū Dawud 32:4090, yang mendeskripsikan bahwa "wanita kaum Anshar keluar seakan-akan mereka memiliki burung gagak pada kepala mereka". Walaupun narasi tersebut merujuk ke pakaian hitam ("burung gagak pada kepala mereka"), narasi lain menunjukkan bahwa istri-istri nabi Muhammad juga memakai pakaian dengan warna lain, seperti kuning atau merah mawar.[44][45] Hadits lain terkait hijab antara lain:

  • Dinarasikan Safiya bint Shaiba: "Ketika (ayat) "Mereka seharusnya menarik kerudungnya (khimaar) di depan payudaranya (juyyub)," diturunkan, (wanita-wanita) memotong lembar pinggang mereka di ujungnya dan menutupi dirinya (bahasa Arab: فَاخْتَمَرْنَ, har. 'menaruh hijab' dengan potongannya) Shahih Bukhari, 6:60:282, 32:4091. Hadits ini sering diterjemahkan sebagai "...dan menutupi kepala dan wajahnya dengan potongan kainnya,"[46] karena kata Arab yang digunakan dalam teks (bahasa Arab: فَاخْتَمَرْنَ) dapat meliputi/tidak meliputi wajah dan ada ikhtilaf (ketidaksepakatan) apakah menutupi wajah wajib. Sharh, atau eksplanasi, yang paling terkemuka, adalah Fathul Bari yang menyatakan bahwa ini meliputi wajahnya.
  • Yahya mengatakan kepada saya dari Malik dari Muhammad bin Zayd bin Qunfudh bahwa ibu dia menanyakan Hind bint Abi Umayya, istri Rasulullah saw., "Apa pakaian yang bisa dipakai oleh wanita ketika sholat?" Dia mengatakan, "Dia bisa sholat dengan khimār (kerudung) dan diri' (bahasa Arab: الدِّرْعِ, har. 'pelindung, baju zirah', terjemahan: 'garmen wanita') yang mencapai dan menutupi bagian atas kakinya." Muwatta Imam Malik buku 8 hadits 37.
  • Aisyah menarasikan bahwa rasulnya Allah mengatakan: "Sholat wanita yang telah mencapai umur menstruasi tidak diterima tanpa khimār." Jami' at-Tirmidzi 377.

Aturan berbusana

Ulama modern biasanya mewajibkan wanita untuk menutup semua badan kecuali tangan dan wajah di publik,[23] namun tidak mewajibkan cadar (penutup kepala yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim). Di hampir semua budaya Muslim, anak perempuan tidak diwajibkan memakai ħijāb.

Sunni

 
Wanita bertudung (istilah bahasa Melayu untuk hijab) di Brunei

Melalui konsensus, 4 mazhab utama Sunni (Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali) berpendapat melalui konsensus bahwa wanita harus menutup seluruh badannya, kecuali tangan dan wajahnya,[47] ketika berada sekitar orang berkelamin lain selain anggota keluarga dekat.[48][49][50] Ada perbedaan opini dimana beberapa ulama[siapa?] percaya bahwa hijab tidak diwajibkan dan tidak ada bukti cukup untuk membuatnya wajib.[butuh rujukan]

Menurut mazhab Hanafi dan ulama lain[yang mana?], ini juga diwajibkan ketika berada sekitar wanita non-Muslim, karena mereka takut bahwa mereka mungkin mendeskripsikan wujud fisiknya kepada pria yang tidak terkait.[51] Komite Permanen untuk Penelitian Islam dan Pembuat Fatwa di Arab Saudi,[52] dan Muhammad bin Adam Al-Kawthari[53] juga menganggap bahwa wanita harus menutup kepalanya.

Pria harus menutup bagian badan dari pusar sampai lututnya, walaupun mazhab-mazhab berbeda pendapat apakah harus menutup pusar dan lutut atau hanya menutup bagian yang berada diantaranya.

Wanita direkomendasikan untuk memakai pakaian yang tidak berbentuk pas dengan badan, seperti baju dan rok panjang, atau jilbāb, yaitu jubah yang menutup lengan dan kaki. Sebuah khimār atau shaylah, kerudung yang menutup semua badan kecuali wajah, juga dipakai dengan gaya yang beragam.[butuh rujukan]

Syiah

 
Wanita berchador; Syiraz, Iran, 2019

Koleksi hadits Syiah utama, seperti Nahj Al-Balagha dan Kitab Al-Kafi hanya memberikan sedikit detail terkait hijab, seperti di kutipan Man La Yahduruhu al-Faqih ketika Musa al-Kadzim ditanyakan oleh saudara laki-lakinya, yang mengatakan "Dia menutup badan dan kepala dia dengan itu, kemudian dia sholat. Dan jika kaki dia terlihat dari bawah, dan dia tidak memiliki sarana untuk mencegahnya, dia tidak rugi".[54] Dalam denominasi Syiah, melalui konsensus, wanita harus menutup rambut dan seluruh badannya kecuali tangan dan wajah dia, ketika berada dekat orang berkelamin lain selain anggota keluarga dekat.

Situasi lain

Dalam situasi pribadi, dan ketika bersama anggota keluarga dekat (mahram), aturan berbusana berkurang. Ketika bersama suami, sebagian besar ulama mengutamakan kepentingan kebebasan dan kenikmatan bersama suami istri.[55]

Ulama tradisional berbeda pendapat apakah harus menutup tangan dan wajah. Sebagian besar berpendapat bahwa tangan dan wajah tidak perlu ditutupi.[butuh rujukan] Beberapa ulama berpendapat bahwa menutupi wajah direkomendasikan jika kecantikan wanita sangat bagus sampai mengganggu dan menyebabkan godaan atau gangguan masyarakat.[butuh rujukan]

Quranis

Quranis adalah orang Muslim yang melihat Al-Quran sebagai sumber utama keputusan agama. Beberapa wanita Quranis memakai hijab; ada juga yang tidak memakainya. Ratu Rania dari Yordania menggunakan pandangan Quran-sentris sebagai alasan tidak memakai hijab, walaupun dia tidak pernah mengidentifikasikan diri sebagai orang Quranis.[56]

Pandangan alternatif

Leila Ahmed mengatakan bahwa penutup kepala seharusnya tidak dianggap wajib dalam Islam karena kerudung telah ada sebelum penurunan Al-Qur'an. Penutup kepala dikenalkan ke Arabia jauh sebelum Muhammad lahir, terutama melalui kontak Arab dengan Iran dan Suriah, dimana hijab adalah tanda status sosial. Bagaimanapun juga, hanya wanita yang mampu (tidak harus bekerja di padang untuk memenuhi kehidupannya) bisa menyendiri dan berkerudung.[21][57]

Di antara argumen Ahmed adalah walaupun beberapa ayat Al-Qur'an mengajak wanita untuk "menutupkan jilbabnya (garmen luar atau jubah) agar mereka lebih mudah untuk dikenali (sebagai orang beriman) dan agar mereka tidak disakiti"[Qur'an 33:58-59] dan "menjaga kemaluan mereka ... dan menutupkan kain kerudung (khimar) ke payudaranya [ketika bersama pria yang tidak terkait]",[Qur'an An-Nur:31] mereka mendesak kesopanan. Kata khimar merujuk ke kain yang menutupi kepala, atau kerudung.[58] Walaupun istilah asli "hijab" adalah sesuatu yang digunakan untuk menyembunyikan,[59] istilahnya digunakan untuk merujuk ke garmen penutup yang dipakai oleh wanita di luar rumah, khususnya kerudung atau khimar.[60]

Menurut setidaknya tiga pengarang (Karen Armstrong, Reza Aslan, dan Leila Ahmed), stipulasi hijab aslinya hanya untuk istri-istri Nabi Muhammad, dan ditujukan agar mereka tidak diganggu. Ini karena Nabi Muhammad melakukan semua urusan agama dan sipil di masjid dekat rumah dia:

 
Anggota polisi dan tentara Afghan berhijab di Kandahar

Sepanjang hari, orang-orang sering masuk dan keluar bangunan ini. Ketika perwakilan adat lain pergi untuk berbicara dengan Nabi Muhammad, mereka tinggal dalam tenda mereka untuk berhari-hari di halaman terbuka, hanya beberapa kaki dari apartemen dimana istri-istri Nabi Muhammad tidur. dan emigran baru yang telah sampai di Yatrib sering tinggal dalam masjid sampai mereka menemukan rumah yang sesuai.[21]

Menurut Ahmed:

Dengan menginstitusikan penyendirian, Nabi Muhammad menjauhkan istri-istri dia dari komunitas yang berkerumun pada langkah pintu mereka.[22]

Mereka berargumen bahwa istilah darabat al-hijab ('mengambil kerudungnya') digunakan secara bersamaan dan bergantian dengan "menjadi istri Nabi Muhammad", dan bahwa dalam kehidupan Nabi Muhammad, tidak ada wanita Muslim lain yang memakai hijab. Aslan mengusulkan bahwa wanita memakai jilbab untuk meniru istri-istri Nabi Muhammad, yang dihormati sebagai "Ibu Orang Beriman" dalam Islam,[21] dan mengatakan bahwa "tidak ada tradisi berkerudung hingga kira-kira tahun 627 M" dalam komunitas Muslim.[21][22]

Penafsiran lain menyatakan bahwa kerudung tidak wajib di depan pria buta dan pria yang tidak memiliki gairah (seperti orang aseksual dan hiposeksual).[61][62]

Banyak ulama berargumen bahwa pandangan dan argumen kontemporer bertentangan dengan sumber hadits, ulama klasikal, sumber penafsiran, konsensus dulu, dan interpretasi sahabat (seperti Aisyah dan Abdullah bin Mas'ud).[butuh rujukan] Beberapa ulama Muslim tradisional menerima pandangan dan argumen kontemporer karena sumber hadits tersebut tidak sahih dan ijmak tidak sah lagi jika diperdebatkan oleh ulama (walaupun hanya diperdebatkan oleh seorang ulama). Salah satu ulama Muslim tradisional yang menerima pandangan kontemporer tersebut adalah ulama Indonesia Buya Hamka.[butuh rujukan]

Praktik kontemporer

Gaya dan praktek hijab sangat bervariasi.

Memakai atau tidak memakai hijab juga bisa berupa aksi protes. Pada Agustus 2014, seorang ibu salah satu korban pemantaian Camp Speicher melemparkan kerudung dia ke ketua parlemen Iraq, Salim al-Jabouri.

Poll pendapat yang dilakukan pada 2014 oleh Universitas Institut Michigan untuk Penelitian Sosial menanyakan penduduk 7 negara mayoritas Muslim (Mesir, Iraq, Lebanon, Tunisia, Turki, Pakistan, dan Arab Saudi) busana wanita yang mereka anggap paling sopan di publik.[63] Survei menemukan bahwa sebagian besar penjawab memilih kerudung (baik ketat maupun longgar) di Mesir, Iraq, Tunisia, dan Turki. Di Arab Saudi, 63% responden memilih cadar; di Pakistan, cadar, busana chador, dan kerudung masing-masing dipilih oleh sepertiga penjawab; di Lebanon setengah responden (termasuk orang Kristen dan Druze) memilih opsi tanpa penutup kepala.[63][64] Survei tidak menemukan "perbedaan signifikan" preferensi busana antara antara pria dan wanita yang disurvei, kecuali di Pakistan, dimana lebih banyak pria memilih busana wanita konservatif.[64] Wanita lebih mendukung hak wanita untuk memilih busananya sendiri.[64] Orang yang telah menempuh universitas memilih opsi yang lebih sedikit konservatif dan lebih mendukung hak wanita memilih busananya sendiri, kecuali di Arab Saudi.[64]

 
Emine Erdoğan memakai türban

Sebagian wanita yang mengikuti tren fashion beralih ke jenis kerudung non-tradisional, seperti turban.[65][66] Meskipun sebagian orang memandang bahwa turban merupakan penutup kepala yang sah, orang lain berargumen bahwa itu tidak bisa dipertimbangkan sebagai penutup kepala yang sah jika tidak menutup leher.[65]

 
Muna AbuSulayman memakai turban

Menurut survei 1 juta wanita Muslim di A.S. oleh Pew Research Center, 43% sering memakai kerudung, dan separuh tidak menutup rambutnya.[67] Dalam polling Pew Research Center (2011), 36% wanita Muslim di A.S. melaporkan memakai hijab ketika berada di publik, 24% sering atau kadang-kadang memakainya, dan 40% tidak pernah memakai hijab.[68]

Di Iran, dimana wanita harus memakai hijab, banyak wanita mencoba mendorong batasan aturan berbusana, mempertaruhkan denda atau hukuman penjara.[69] Mantan presiden Iran Hassan Rouhani telah bersumpah mengendalikan polisi moral dan kehadiran mereka di jalan-jalan telah menurun sejak ia menjabat, tetapi kekuatan konservatif yang kuat di negara itu menolak usahanya, dan aturan berpakaian masih dipaksakan, terutama selama musim panas.[70] Setelah Ebrahim Raisi menjadi presiden, dia mulai menerapkan aturan hijab secara ketat, antara lain mengumumkan penggunaan teknologi pengenalan wajah di transportasi umum.[71] Seorang wanita Iran, Mahsa Amini, meninggal setelah dipenjara oleh 'polisi moralitas' atas aturan hijab ketat, yang menyebabkan protes luas.[72]

Di Turki, sebelumnya hijab dilarang di sekolah dan universitas negeri dan swasta. Pelarangan tidak diterapkan untuk kerudung yang dililitkan sekitar leher, yang digunakan oleh wanita petani Anatolia di masa tradisional, melainkan hanya untuk penutup kepala yang disematkan secara rapi di sisinya, yang disebut türban di Turki, yang semakin banyak diadopsi oleh wanita terdidik di kota sejak tahun 1980-an. Pada pertengahan tahun 2000-an, lebih dari 60% wanita Turki menutup kepalanya di luar rumahnya, walaupun hanya 11% memakai turban.[73][74][75][76] Pelarangan dicabut di universitas pada 2008,[77] di gedung pemerintah pada 2013,[78] dan di sekolah pada 2014.[78]

Sejarah

Kebiasaan berkerudung pra-Islam

 
Patung perunggu Yunani seorang penari berkerudung dan bertopeng, abad ke-2–3 SM.

Islam tidak memperkenalkan kerudung. Patung-patung pendeta wanita yang berkerudung telah ada sejak 2500 SM.[79] Wanita elit di Mesopotamia kuno dan kerajaan Romawi Timur, Yunani, dan Persia memakai kerudung sebagai tanda penghormatan dan ketinggian status.[80] Di Mesopotamia kuno, Assyria memiliki hukum sumptuari yang menentukan wanita yang harus memakai kerudung dan sebaliknya, tergantung kelas, pangkat, dan pekerjaan wanita di masyarakat.[80] Budak wanita dan pelacur tidak boleh berkerudung dan mengalami hukuman berat jika mereka berkerudung.[20] Oleh karena itu, kerudung tidak hanya menandakan pangkat aristokratik, namun juga berfungsi untuk "membedakan antara wanita 'terhormat' dan wanita yang ada untuk publik".[20][80] Penyendirian ketat dan perkerundungan janda juga berupa kebiasaan di Yunani kuno. Antara 550–323 SM, sebelum agama Kristen/Katolik, wanita terhormat di masyarakat Yunani klasik diharapkan menyendiri dan memakai baju yang menutupnya dari mata pria asing.[81] Kebiasaan pagan Roma termasuk praktek penutup kepala yang dikenakan oleh pendeta wanita Vesta (Perawan Vesta).[82]

 
Relief pra-Islam yang menampilkan wanita berkerudung, Candi Baal, Palmyra, Suriah, abad ke-1 SM.

Al-Kitab Ibrani tidak mengandung preskripsi jelas mengenai kerudung, tetapi literatur rabinik menyampaikannya sebagai pertanyaan kesopanan (tzinut).[82] Kesopanan menjadi kebajikan rabinik yang penting pada masa awal Roma, dan mungkin dimaksudkan untuk membedakan wanita Yahudi dari wanita non-Yahudi di masyarakat Babilonia dan Yunani-Roma.[82] Menurut perintah rabinik, wanita Yahudi yang telah menikah harus menutup rambutnya (lihat Mitpaḥat). Representasi wanita Yahudi berkerudung yang masih ada mungkin merefleksikan kebiasaan Roma umum, bukan praktik Yahudi tertentu.[82] Menurut Fadwa El Guindi, ketika Kekristenan lahir, wanita Yahudi menutupi kepala dan wajah mereka.[20]

 
Patung Roma seorang Perawan Vesta

Pandangan penutup kepala agama Kristen/Katolik yang paling dikenal ditulis dalam 1 Korintus 11:4-7,yang menyatakan bahwa "setiap wanita yang berdoa tanpa penutup kepala mencemarkan kepala dia".[82] Bapa Gereja, termasuk Tertulianus dari Kartago, Klemens dari Aleksandria, Hippolitus dari Roma, Yohanes Krisostomus, dan AGustinus dari Hippo menegaskan dalam tulisan mereka bahwa ketika berdoa, wanita Kristen sebaiknya menutup kepalanya, sementara pria sebaiknya berdoa tanpa penutup kepala.[83] Ada bukti arkeologi yang memberi kesan bahwa wanita Kristen awal di Roma menutup kepala mereka,[82] dan praktik penutup kepala Kristen masih berlanjut dalam banyak denominasi Kristen, terutama antara orang Kristen Anabaptis, Kristen Ortodoks Timur, Kristen Ortodoks Oriental, dan Kristen Calvinisme.[83]

Di subbenua India, wanita Hindu menutup kepalanya dengan kerudung dalam kebiasaan yang disebut ghoonghat.[84][85]

Pencampuran populasi menyebabkan konvergensi kebiasaan budaya kerajaan Yunani, Persia, dan Mesopotamia dan orang Semitik Timur Tengah.[20] Kerudung dan penyendirian wanita kelihatannya pertama umum digunakan antara orang Yahudi dan Kristen sebelum menyebar ke orang Arab kelas tinggi di kota dan nantinya antara orang kota.[20] Di daerah pedesaan, yang ditutup hanya rambut, bukan wajah.[20]

Menurut Leila Ahmed, norma ketat mengenai perkerudungan dan penyendirian wanita yang ditemukan dalam literatur Kristen Bizantium dipengaruhi oleh tradisi Persia kuno, dan ada bukti untuk mengusulkan bahwa mereka berbeda signifikan dari pelaksanaan sebenarnya.[86] Leila Ahmed berargumen bahwa "Apapun sumber budayanya, misogini sengit menjadi bahan jelas pemikiran Mediterania dan nantinya Kristen pada abad-abad sebelum bangkitnya Islam."[87] Ahmed menafsirkan perkerudungan dan pemisahan jenis kelamin sebagai ekspresi pandangan misoginistik kemaluan seks yang terutama difokuskan pada kemaluan badan wanita dan bahaya melihatnya telanjang.[87]

Selama kehidupan Nabi Muhammad

Bukti yang ada memberi kesan bahwa kerudung tidak diperkenalkan ke Arab oleh Nabi Muhammad, namun telah ada di sana, terutama di kota-kota, walaupun tidak seumum negara lain, seperti Suriah dan Palestina.[88] Seperti kebiasaan Yunani, Roma, Yahudi, dan Asyur, pemakaiannya dikaitkan dengan status sosial yang tinggi.[88] Pada teks Islami awal, istilah hijab tidak membedakan berkerudung dan menyendiri, dan bisa berarti "kerudung" atau "tirai".[89] Ayat-ayat satu-satunya yang merujuk busana wanita secara spesifik adalah ayat-ayat yang mempromosikan kesopanan, yang memerintahkan wanita untuk menjaga kemaluan mereka dan menarik kerudungnya di depan payudaranya ketika berada dengan pria.[90] Pemahaman kontemporer hijab merujuk ke hadits ketika "ayat hijab" turun ke komunitas pada 627 M.[91] Sekarang didokumentasikan di Surat 33:53, ayatnya mengatakan, "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.".[92] Namun, ayat ini tidak ditujukan untuk wanita umum, tetapi hanya untuk istri-istri Nabi Muhyammad. Selama pengaruh Nabi Muhammad meningkat, dia semakin banyak menerima pengunjung di masjid, dulu rumah dia. Pengunjung sering tinggal semalam hanya beberapa kaki dari apartemen istri-istri dia. Ayat ini umum dimengerti untuk melindungi istri-istri dia dari pengunjung tersebut.[93] Selama kehidupan Nabi Muhammad, istilah untuk memakai kerudung, darabat al-hijab, sering digunakan secara bergantian dengan "menjadi istri Nabi Muhammad".[88]

Sejarah pra-modern

Kebiasaan berkerudung dipinjam dari para elit kerajaan Bizantium dan Persia, dimana kerudung adalah simbol kehormatan dan status sosial yang tinggi, selama penaklukan Arab kerajaan-kerajaan itu.[94] Reza Aslan berargumen bahwa "Kerudung tidak wajib walaupun diadopsi secara luas sampai beberapa generasi setelah kematian Muhammad, ketika badan besar ulama kitab suci dan hukum laki-laki mulai menggunakan kewenangan agama dan politik mereka untuk mendominasi kembali masyarakat setelah dominasi mereka hilang karena reformasi egaliter Nabi Muhammad".[93]

Karena Islam identik dengan agama monoteistik kerajaan-kerajaan yang dikuasai, kebiasaan diadopsi menjadi ekspresi ideal Al-Qur'an mengenai kesopanan dan takwa.[95] Kerudung lambat laun menyebar ke wanita Arab kelas atas, dan nantinya menjadi umum antara wanita Muslim di kota-kota di Timur Tengah. Dalam kekuasaan Ottoman, perkerudungan wanita Muslim Arab menjadi sangat pervasif sebagai tanda pangkat dan gaya hidup eksklusif, dan terdapat beberapa gaya busana yang merefleksikan identitas geografi dan pekerjaan di Istanbul pada abad ke-17.[20] Wanita di daerah pedesaan lebih lambat mengadopsi kerudung karena garmennya mengganggu pekerjaan di ladang mereka.[96] Karena memakai kerudung tidak praktis untuk wanita bekerja, "wanita yang berkerudung mengumumkan secara diam-diam bahwa suami dia cukup kaya untuk membiarkan dia menganggur."[97]

Pada abad ke-19, wanita Muslim dan Kristen kelas atas di kota-kota Mesir memakai garmen dengan penutup kepala dan burqa (kain muslin yang menutupi hidung bawah dan mulut).[20] Nama garmen ini, harabah, berasal dari kosakata agama Kristen dan Yahudi awal, yang mungkin menandakan asal-usul garmennya.[20] Hingga paruh pertama abad ke-20, wanita pedesaan Maghreb dan Mesir memakai sebuah bentuk niqab ketika mengunjungi kota, "sebagai tanda peradaban".[98]

Sejarah modern

 
Seorang model yang menampilkan hijab modis pada acara "Moslema In Style Fashion Show" di Kuala Lumpur, Malaysia.

Pakaian Barat umum digunakan di negara Muslim pada 1960-an dan 1970-an.[99][100] Misalnya, di Pakistan, Afghanistan dan Iran, sebagian wanita memakai rok pendek, busana hippie bunga, celana panjang cutbray,[101] dan tidak memakai hijab di publik.[butuh rujukan] Ini berubah setelah Perang Soviet-Afghanistan,[butuh rujukan] munculnya diktator militer di Pakistan, dan revolusi Iran 1979, ketika busana tradisional konservatif (seperti abaya, jilbab, dan cadar) kembali digunakan.[102][103] Ada demonstrasi di Iran pada Maret 1979, setelah hukum hijab dibuat, yang mengharuskan wanita di Iran memakai kerudung untuk keluar dari rumah.[104] Tetapi, fenomena ini tidak terjadi di seluruh negara dengan populasi Muslim signifikan. Misalnya, di negara Turki, angka wanita yang memakai hijab menurun pada tahun terakhir,[105] walaupun dibawah pemerintahan Erdogan, Turki menjadi lebih konservatif dan Islami, bersama dengan pencabutan pelarangan hijab era Atatürk,[106][107] dan pendirian perusahaan fashion baru untuk wanita yang ingin berbusana konservatif.[108]

Gamal Abdel Nasser menertawakan Ikhwanul Muslimin untuk mengusulkan pada 1953 bahwa wanita seharusnya diwajibkan memakai hijab.

Pada 1953, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasir mengklaim bahwa dia diberi tahu oleh pemimpin organisasi Ikhwanul Muslimin bahwa dia ingin mewajibkan pemakaian kerudung. Nasser menjawab, "Pak, saya tahu bahwa Anda memiliki anak perempuan di perguruan tinggi, dan ia tidak memakai kerudung atau apapun! Kenapa Anda tidak memerintahkan dia untuk memakai kerudung? Jadi Anda tidak dapat menjadikan satu perempuan, anak perempuan Anda, memakainya, dan walaupun itu Anda ingin saya untuk menjadikan sepuluh juta wanita memakainya?"[butuh rujukan]

Hijab kembali digunakan di Mesir pada akhir abad ke-20 setelah periode lama menurun karena westernisasi. Pada pertengahan 1970-an sebagian pria dan wanita Muslim berumur kuliah memulai gerakan yang ditujukan untuk memperhatikan kembali keyakinan Islam.[109][110] Gerakan ini dinamakan Sahwah, atau kebangkitan, dan memicu periode religiusitas tinggi yang mulai direfleksikan dalam aturan berbusana.[109] Busana yang dipakai oleh pionir wanita muda gerakan ini dinamakan al-Islāmī (busana Muslim) dan terdiri dari al-jilbāb dan al-khimār.[109] Selain garmen dasar yang hampir universal dipakai dalam pergerakan, tindakan kesopanan tambahan dapat dilakukan tergantung pada keinginan pengikut gerakannya. Beberapa wanita juga memakai penutup wajah (al-niqāb) yang hanya melewatkan lubang mata untuk penglihatan, dan sarung tangan dan kaos kaki untuk menutup kulit.[butuh rujukan]

Tidak beberapa lama kemudian, pergerakan ini meluas ke luar dunia pemuda dan menjadi praktik Muslim yang lebih luas. Wanita memandang cara berpakaian ini sebagai cara mengumumkan keagamaannya secara publik dan menolak pengaruh barat pada pakaian dan budaya yang luas pada waktunya. Meskipun banyak mengkritik praktek hijab sebagai penindasan dan pemunduran kesetaraan wanita,[110] banyak wanita Muslim memandang cara berpakaian ini sebagai hal positif. Ini dianggap sebagai cara menghindari gangguan dan kemajuan seksual yang tidak diinginkan di publik dan mengurangi objek seksual wanita di publik agar mereka mendapatkan hak legal, ekonomi, dan politik yang sama. Kesopanan ini tidak hanya dibuktikan oleh cara berpakaiannya, namun juga sikap serius untuk memperlihatkan dedikasi kesopanan dan Islam.[109]

 
Medalis taekwondo dari Spanyol, Inggris Raya, Iran, dan Mesir di Olimpiade Rio 2016[111]

Kontroversi muncul atas praktik ini. Banyak orang, pria dan wanita yang beragama Islam dan non-Islam, mempertanyakan hijab dan apa artinya untuk wanita dan hak mereka. Ada pertanyaan apakah dalam praktik sebenarnya hijab adalah pilihan wanita atau wanita dipaksa atau ditekan untuk memakainya.[109] Banyak situasi, seperti hukum pemakaian hijab paksa di Republik Islam Iran, menimbulkan banyak perdebatan dari orang ahli/sarjana dan orang biasa.[butuh rujukan]

Selama momentum pergerakan meningkat, tujuan mereka beralih dari mendorong kesopanan menjadi mempertahankan pan-Islamisme dan penolakan simbolik norma dan budaya Barat. Sekarang, arti hijab untuk setiap orang berbeda-beda. Untuk wanita Muslim yang memilih untuk memakai hijab, itu menjaga kesopanan, moral, dan kebebasan pilihan mereka.[110] Mereka berkerudung karena mereka percaya bahwa itu membebaskan wanita dan menghindari gangguan. Banyak orang (Muslim dan non-Muslim)[siapa?] menolak hijab dan berargumen bahwa hijab menyebabkan masalah dengan hubungan antar jenis kelamin, membungkam dan menindas wanita secara fisik dan simbolik, dan memiliki banyak masalah lain.[butuh rujukan] Perbedaan pendapat menimbulkan banyak diskusi hijab, baik emosional maupun akademik, yang masih berlangsung.

Sejak 11 September 2001, diskusi dan perdebatan hijab meningkat. Banyak negara mencoba membatasi hijab, yang memicu gelombang perlawanan baru oleh wanita yang berkerudung dalam angka yang semakin besar.[110][112]

Iran

Di Iran, beberapa wanita beraksi untuk mengubah hijab dengan menantang rezim dan membentuk kembali budaya dan identitas wanita. Desainer fashion Naghmeh Kiumarsi, menantang gagasan budaya rezim dengan mendesain, mempromosikan, dan menjual pakaian jeans ketat dan kerudung "minim".[113] Kiumarsi mewujudkan gagasan budaya dan identitas dia dan menggunakan fashion untuk menghargai perbedaan antara wanita Iran, terhadap satu identitas di bawah aturan berbusana Muslim, dan menyambut evolusi budaya Iran seiring munculnya pilihan gaya dan tren fashion baru.

Perlawanan wanita di Iran terhadap hijab semakin kuat dan semakin banyak wanita menantang perkerudungan wajib. Smith (2017) menyoroti kemajuan wanita Iran dalam artikel dia, "Iran mengejutkan dengan mewujudkan aturan berbusana Muslim untuk wanita,"[114] oleh The Times, organisasi berita terpercaya di Britania Raya. Pemerintah Iran telah melonggarkan hukuman aturan berbusana dengan menggantikan hukuman penjara dengan kelas reformasi wajib di Tehran (ibu kota Iran). Jenderal Hossein Rahimi, kepala polisi Tehran, menyatakan, "Sekarang, siapa saja yang tidak mengikuti aturan berbusana Muslim tidak akan dibawa ke tempat penahanan atau digugat oleh peradilan" (Smith, 2017). Pernyataan kepala polisi Tehran pada 2017 merefleksikan kemajuan politik dibandingkan dengan pernyataan kepala polisi Tehran pada 2006. Aktivis wanita Iran membuat kemajuan sejak 1979, dan bergantung pada fashion untuk menetapkan perubahan budaya dan politik.

Kritikus pemaksaan perkerudungan wanita memanggil praktek ini sebagai Islamofasis.[115]

Di dunia

 
Peta[butuh pemutakhiran] prevalensi hijab dan negara yang membatasi pemakaian hijab

Sebagian negara mendorong dan bahkan mewajibkan wanita memakai hijab, sementara sebagian negara lain melarangnya di beberapa tempat publik. Di banyak bagian dunia, wanita juga mengalami tekanan informal untuk memakai atau melepas hijab, termasuk serangan fisik.

Penegakan hukum

Di Gaza, jihadis Palestina Kepemimpinan Bersatu (UNLU) menolak kebijakan hijab untuk wanita.[19] Mereka juga menargetkan orang yang ingin menetapkan hijab.[19]

Iran awalnya melarang semua jenis kerudung pada 1936, kemudian mewajibkan busana Muslim untuk wanita setelah Revolusi Islam pada 1979.[116] Pada April 1980, wanita di kantor pemerintah dan institusi edukasi diwajibkan memakai hijab.[116] Hukum pidana 1983 memberikan hukuman 74 cambukan untuk wanita tanpa hijab Islami (hijab shar'ee/syar'i), namun tidak mendefinisikan hijab yang sesuai.[117][118]

Pada periode yang sama, ada ketegangan sekitar definisi hijab yang sesuai, yang kadang-kadang menyebabkan penganiayaan wanita yang dianggap memakai pakaian yang tidak sesuai oleh vigilante (orang main hakim sendiri).[116][117] Pada 1984, jaksa publik Tehran mengumumkan bahwa aturan berbusana yang lebih ketat harus dipatuhi di tempat umum, sementara pakaian di tempat lain sebaiknya sesuai dengan standar kebanyakan orang.[116] Regulasi baru yang dibuat pada 1988 oleh Kementerian Dalam Negeri berbasis hukum 1983 mendefinisikan pelanggaran aturan berbusana.[119] Hukum pidana sekarang menetapkan hukuman denda atau penjara 10 hari hingga 2 bulan untuk pelanggaran kebijakan hijab di publik, namun tidak mendefinisikan bentuknya.[120][121]

Penegakan aturan berbusana bertambah dan berkurang dalam periode-periode berbeda, dan banyak wanita mendorong batasnya, dan aspek kewajiban menjadi titik perdebatan antara orang konservatif dan Hassan Rouhani, yang berjabat sebagai presiden pada 2013-2021.[120][122][123] Majelis Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta Iran untuk menjamin hak pelindung hak asasi manusia dan pengacara yang mendukung protes anti-hijab.[124] Di institusi pemerintah dan agama, wanita harus berbusana berjenis khimar, sementara di tempat publik lain wanita umumnya memakai kerudung longgar (rousari).[butuh rujukan] Pemerintah Iran mendukung dan mempromosikan jenis kerudung yang lebih ketat, dan memujinya dengan mengemukakan prinsip agama Islam dan budaya Iran pra-Islam.[125]

Provinsi Aceh di Indonesia mewajibkan wanita Muslim memakai hijab di publik.[126] Pemerintah Indonesia memberikan hak menetapkan Syariah kepada ulama Aceh pada 2001, sebagai kesepakatan untuk menghentikan gerakan separatis.[126]

Kerajaan Arab Saudi secara resmi mewajibkan wanita Muslim untuk menutup rambutnya dan semua wanita untuk memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuh, namun saat iini tidak ditegakkan.[17][127] Wanita Arab Saudi biasanya memakai pakaian abaya, sementara orang asing kadang-kadang memilih jaket panjang.[128] Aturan ini dilaksanakan oleh polisi agama dan vigilante.[128] Pada 2002, polisi agama dituduh oleh berita Arab Saudi dan internasional menghalangi penyelamatan siswa perempuan dari api karena mereka tidak memakai hijab, yang menyebabkan 15 kematian.[129] Pada 2018, putra mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman memberi tahu CBS News bahwa hukum Arab Saudi mengharuskan wanita untuk memakai "pakaian layak dan sopan", dan wanita bebas memilih cara menaatinya.[127]

Pelarangan

Dunia Islam

Tradisi berkerudung dalam budaya Persia telah ada sebelum Islam datang,[130] namun kebiasaan yang luas ini diakhiri oleh pemerintah Reza Shah pada 1936, karena hijab dianggap tidak cocok dengan modernisasi dan dia memerintahkan aksi "pelepasan kerudung" atau Kashf-e hijab. Pada beberapa kasus, polisi memenjarakan wanita yang memakai kerudung dan melepasnya secara paksa. Aturan ini populer tetapi memarahkan ulama Syiah karena untuk mereka, berada di publik tanpa kerudung seakan-akan seperti telanjang di publik. Beberapa wanita menolak untuk meninggalkan rumah karena takut dianiaya oleh polisi Reza Shah.[131] Pada 1941, elemen wajib aturan pelepasan kerudung ditinggalkan.

Turki melarang kerudung di universitas hingga belakangan ini. Pada 2008, pemerintah Turki mencoba mencabut larangan kerudung di universitas, tetapi dibalikkan oleh Mahkamah Konstitusi.[132] Namun, pada Desember 2010, pemerintah Turki mengakhiri larangan kerudung di universitas, gedung pemerintah, dan sekolah.[133]

Di Tunisia, wanita dilarang memakai hijab di kantor pemerintah pada 1981, dan pada 1980-an dan 1990-an, lebih banyak pembatasan diberlakukan.[134] Pada 2017, Tajikistan melarang hijab. Ketua Kementerian Budaya, Shamsiddin Orumbekzoda, mengatakan kepada Radio Free Europe bahwa busana Islam "sangat berbahaya". Dalam hukum yang ada, wanita yang memakai hijab tidak boleh memasuki kantor pemerintah.[135][136]

Eropa

 
Upacara pembakaran kerudung di Uni Soviet sebagai bagian dari kebijakan Hujum

Pada 15 Maret 2004, Perancis menetapkan hukum yang melarang "simbol atau pakaian siswa religius" pada sekolah dasar dan sekolah menengah. Di kota Belgia Maaseik, cadar dilarang sejak 2006.[137] Pada 13 Juli 2010, hampir seluruh anggota parlemen bawah Perancis menyetujui draf hukum pelarangan kerudung wajah penuh Islami di publik. Perancis menjadi negara Eropa pertama yang melarang kerudung wajah penuh di tempat publik,[138] diikuti oleh Belgia, Latvia, Bulgaria, Austria, Denmark, dan beberapa kanton di Swiss pada tahun-tahun berikutnya.

Belgia melarang kerudung wajah penuh pada 2011 di taman dan jalan. Pada September 2013, pemilih kanton Ticino menyetujui larangan kerudung yang menutupi wajah di area publik.[139] Pada 2016, Latvia dan Bulgaria melarang cadar di tempat publik.[140] Pada Oktober 2017, Austria juga melarang cadar. Pelarangan ini juga termasuk kerudung, masker, dan cat badut yang menutupi wajah agar tidak mendiskriminasi busana Muslim.[138] Pada 2016, pengawas otoritas keadilan Bosnia-Herzegovina tetap menegakkan larangan kerudung Muslim di pengadilan dan institusi legal, meskipun ada protes dari komunitas Muslim (40% penduduk negaranya).[141][142] Pada 2017, Mahkamah Eropa memutuskan bahwa perusahaan dibolehkan melarang pekerja memakai simbol agama yang terlihat, termasuk hijab. Tetapi, jika perusahaan tidak memiliki aturan mengenai busana yang menampilkan ide agama dan politik, pelanggan tidak bisa meminta pekerja untuk melepaskan busananya.[143] Pada 2018, parlemen Denmark mengesahkan hukum pelarangan kerudung yang menutupi wajah di tempat publik.[144]

Pada 2016, lebih dari 20 kota di Perancis melarang pemakaian burqini, yaitu gaya baju renang yang didesain sesuai dengan aturan hijab.[145][146][147] Beberapa wanita kemudian didenda; beberapa tiket denda menampilkan alasannya sebagai tidak memakai "pakaian sesuai moral yang baik dan sekularisme", dan beberapa lagi dianiaya secara verbal oleh pengamat ketika dihadap polisi.[145][148][149][150] Penegakan larangan juga berdampak pada pengunjung pantai yang memakai beragam pakaian sederhana selain burkini.[145] Media melaporkan bahwa dalam sebuah kasus, polisi memaksa seorang wanita untuk melepas sebagian pakaiannya pada pantai di Nice.[148][149][150] Kantor walikota Nice membantah pemaksaan itu dan walikota mengkritik "provokasi yang tidak dapat diterima" dengan memakai pakaian seperti itu setelah kejadian serangan teroris Nice.[145][150]

Dalam 2 studi dengan masing-masing 166 dan 147 peserta, tim psikolog di Belgia menginvestigasi apakah ketidaknyamanan orang Belgia dengan hijab, dan dukungan pelarangannya dari tempat publik, dimotivasi oleh pembelaan nilai otonomi dan universalisme (yang termasuk kesetaraan), atau oleh xenofobia/prasangka etnik dan sentimen anti-agama. Studi tersebut mengungkapkan efek prasangka/rasisme halus, nilai-nilai (nilai perbaikan diri dan keamanan versus universalisme), dan sikap religi (pemikiran anti-agama versus spiritualitas) dalam memprediksi sikap anti-kerudung di luar efek variabel lain yang terkait, seperti umur dan konservatisme politik.[151]

Pada 2019, Austria melarang hijab di sekolah untuk anak hingga 10 tahun. Larangan dimotivasi oleh keinginan kesetaraan antara pria dan wanita dan meningkatkan interaksi sosial sekaligus menghormati kebiasaan lokal. Orangtua yang menyekolahkan anaknya dengan kerudung akan didenda 440 euro.[152] Pelarangan ini dibalikkan pada 2020 oleh Mahkamah Konstitusi Austria.[153]

Pada 2019, Kotamadya Staffanstorp di Swedia melarang semua kerudung untuk siswa hingga kelas 6.[154]

India

Di India, wanita dibolehkan memakai hijab/burkak kapanpun dan dimanapun.[155][156][157] Namun, pada Januari 2022, beberapa perguruan tinggi di negara bagian Karnataka menghentikan siswa wanita berhijab memasuki kampus; setelah itu, pemerintah negara bagian mengeluarkan surat edaran yang melarang 'pakaian religius' dalam institusi pendidikan.[158] Pada 15 Maret 2022, Mahkamah Tinggi Karnataka menegakkan larangan hijab di institusi pendidikan, dengan argumen bahwa kebiasaan tersebut tidak penting dalam Islam.[159]

Tekanan tidak resmi memakai hijab

Wanita Muslim menjadi korban pembunuhan demi kehormatan karena tidak memakai hijab atau memakainya dengan gaya yang dianggap salah oleh pelakunya.[160][butuh sumber yang lebih baik]

Pemaksaan informal wanita oleh bagian-bagian masyarakat untuk memakai hijab yang berhasil telah dilaporkan di Gaza dimana Mujama' al-Islami, pendahulu Hamas, dilaporkan menggunakan "campuran persetujuan dan pemaksaan" untuk "'mengembalikan' hijab" ke wanita kota teredukasi di Gaza pada akhir 1970-an dan 1980-an.[161]

Perilaku yang serupa ditampilkan oleh Hamas selama Intifadhah Pertama di Palestina. Melalui pergerakan kecil, Hamas mengeksploitasi vakum politik yang ada karena persepsi kegagalan strategi oleh faksi Palestina untuk memanggil untuk "kembali" ke Islam sebagai jalan kesuksesan, yaitu sebuah kampanye yang berfokus pada peran wanita.[162] Hamas berkampanye untuk pemakaian hijab bersama dengan kebijakan lain, termasuk meminta wanita untuk tetap di rumah, pemisahan dari pria dan promosi poligami. Sejalan kampanye ini, wanita yang tidak memakai hijab dianiaya secara verbal dan fisik. Hasilnya adalah hijab dipakai "hanya untuk menghindari masalah di jalan".[163]

Pemakaian hijab juga ditegakkan oleh rezim Taliban di Afganistan. Taliban mewajibkan wanita menutupi kepala dan wajahnya, karena "wajah wanita adalah sumber korupsi" untuk pria yang tidak terkait dengannya.[164]

Di Srinagar, ibukota negara bagian India Jammu dan Kashmir, kelompok militan Lashkar-e-Jabbar mengklaim tanggung jawab serangan asam berturut-turut wanita yang tidak memakai cadar pada 2001, dan mengancam menghukum wanita yang tidak mengikuti visi busana Muslim mereka. Wanita Kashmir, sebagian besar tidak sepenuhnya berkerudung, menantang peringatan, dan serangannya dikutuk oleh kelompok militan dan separatis Jammu dan Kashmir lain.[165][166]

Pada 2006, orang radikal di Gaza dituduh menyerang atau mengancam menyerang wajah wanita dalam upaya mengintimidasi mereka agar tidak memakai busana yang dianggap tidak sopan.[168]

Pada 2014, ISIS dilaporkan mengeksekusi beberapa wanita karena tidak memakai niqab dengan sarung tangan.[169][butuh sumber yang lebih baik]

Pada April 2019 di Norwegia, perusahaan telekom Telia menerima ancaman bom setelah menampilkan wanita Muslim yang melepas hijab dia dalam komersial. Walaupun ancamannya dievaluasi sebagai tidak nyata oleh polisi, mengirim ancaman masih berupa kejahatan di Norwegia.[170]

Tekanan tidak resmi melepas hijab

Pada tahun terakhir, wanita berhijab menerima serangan verbal dan fisik, terutama setelah serangan teroris.[171][172][173] Louis A. Cacinkar mencatat bahwa datanya menampilkan bahwa wanita berhijab menjadi target utama serangan anti-Muslim bukan karena mereka lebih mudah diidentifikasi sebagai orang Muslim, tetapi karena mereka dianggap merepresentasikan ancaman moral lokal yang ingin dilindungi oleh penyerang. [172] Sebagian wanita melepas hijabnya karena ketakutan atau ditekan orang lain, namun banyak wanita masih memakainya karena keyakinan agama bahkan ketika didorong melepasnya untuk melindungi diri sendiri.[172]

Kazakhstan tidak melarang hijab, namun wanita yang memakainya melaporkan bahwa otoritas menggunakan beberapa taktik untuk mendiskriminasi wanita berhijab.[174]

Pada 2015, otoritas di Uzbekistan mengadakan kampanye "pelepasan hijab" di ibukota Toshkent; selama itu, wanita berhijab ditahan dan dibawa ke pos polisi. Wanita yang setuju melepas hijabnya dibebaskan "setelah pembicaraan", sementara wanita yang tidak setuju ditransfer ke departemen anti-terorisme dan diberi ceramah. Suami atau ayah mereka kemudian dipanggil untuk meyakinkan wanita untuk menaati polisi. Ini mengikuti kampanye sebelumnya di Lembah Fergana.[175]

Setelah pemilihan Shavkat Mirziyoyev sebagai Presiden Uzbekistan pada Desember 2016, orang Muslim diberi kesempatan untuk mengekspresikan identitas religi secara bebas, yang berujung ke perluasan pemakaian hijab di Uzbekistan. Pada Juli 2021, negara membolehkan pemakaian hijab di tempat publik.[176]

Pada 2016 di Kirgizstan, pemerintah mensponsori spanduk jalan yang bertujuan untuk menganjurkan wanita tidak memakai hijab.[177]

Diskriminasi kerja terhadap wanita berhijab

Isu diskriminisasi Muslim lebih umum antara wanita Muslim berhijab karena hijab merupakan deklarasi keyakinan yang dapat dilihat. Terutama setelah serangan 11 September dan munculnya istilah Islamofobia, beberapa manifestasi Islamofobia terlihat dalam tempat kerja.[178] Wanita berhijab berisiko didiskriminasi di tempat kerjanya karena hijab membantu mengidentifikasikannya kepada seorang yang mungkin memiliki perlakuan Islamofobia.[179][180] Asosiasi mereka dengan Islam otomatis membawa anggapan negatif agama kepadanya.[181] Karena diskriminasi, beberapa wanita Muslim berhijab di tempat kerja melepas hijabnya untuk mencegah tindakan karena prasangka.[182]

Beberapa wanita Muslim yang diwawancara mengatakan bahwa perasaan adanya diskriminasi juga menjadi masalah.[183] Untuk lebih spesifik, wanita Muslim mengatakan bahwa mereka memilih tidak memakai hijab karena ketakutan didiskriminasi pada masa depan.[183]

Diskriminasi yang dialami wanita Muslim berhijab juga memengaruhi pilihan mereka untuk menjaga kewajiban agama. Karena diskriminasi, wanita Muslim berhijab di Amerika Serikat memiliki kekhawatiran mengenai kemampuan mereka untuk memeluk agama mereka karena mungkin ditolak dari pekerjaan.[184] Ali, Yamada, dan Mahmoud (2015)[185] mengatakan bahwa wanita berwarna yang juga memeluk agama Islam dipertimbangkan berada dalam "triple jeopardy" karena termasuk dua kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi.

Studi Ali et al. (2015)[185] menemukan hubungan antara keparahan diskriminasi orang Muslim saat bekerja dan kepuasan pekerjaan mereka. Dalam kata lain, diskriminasi wanita Muslim berhijab saat bekerja diasosiasikan dengan ketidakpuasan pekerjaan mereka, terutama dibandingkan dengan agama lain.[186]

Wanita Muslim berhijab juga mengalami diskriminasi ketika mencoba mendapatkan pekerjaan. Sebuah studi eksperimental diskriminasi pengerjaan potensial terhadap Muslim menemukan bahwa tidak ada perbedaan angka diskriminasi terbuka antara wanita Muslim yang memakai busana Muslim tradisional dan wanita Muslim yang tidak memakainya. Tetapi, ada diskriminasi tersembunyi terhadap wanita berhijab, dan oleh karena itu mereka ditangani dengan kasar.[187] Ketika melihat pelaksanaan pengerjaan antara 4.000 majikan di A.S., eksperimenter menemukan bahwa majikan yang mendeklarasikan diri sebagai pendukung partai Republik cenderung menghindari wawancara dengan kandidat yang terlihat sebagai Muslim di halaman jaringan sosial mereka.[188]

Salah satu kasus yang dipandang oleh sebagian orang sebagai diskriminasi hijab di tempat kerja yang mengundang perhatian masyarakat dan naik sampai Mahkamah Agung adalah EEOC v. Abercrombie & Fitch. Komisi Kesempatan Pekerjaan Setara A.S. memanfaatkan kekuatan yang diberikan oleh Judul VII dan membuat kasus untuk wanita muda yang berhijab yang membuat aplikasi pekerjaan, tetapi ditolak karena memakai hijab, yang melanggar larangan kerudung dan pakaian hitam oleh Abercrombie & Fitch.[189]

Tingkat diskriminasi tergantung lokasi; misalnya orang Muslim asal Asia Selatan di Uni Emirat Arab lebih sedikit merasakan diskriminasi dibandingkan orang yang sama di Amerika Serikat.[190] Namun, mereka serupa mendeskripsikan pengalaman diskriminasi mereka sebagai interaksi halus dan tidak langsung.[190] Studi yang sama juga melaporkan perbedaan tingkat diskriminasi antara wanita Muslim dari Asia Selatan yang memakai hijab dan yang tidak memakainya. Untuk wanita non-hijab, mereka merasakan lebih banyak diskriminasi ketika berada sekitar orang Muslim lainnya.[190]

Perasaan diskriminasi menurunkan kesehatan diri, baik secara mental maupun secara fisik.[191] Namun, perasaan diskriminasi mungkin juga bisa terkait dengan kesehatan diri yang lebih tinggi untuk seseorang.[192] Studi di Selandia Baru menyimpulkan bahwa walaupun wanita berhijab mengalami diskriminasi, pengalaman negatif itu ditanggulangi oleh perasaan kebanggaan religius, kebersamaan, dan sentralitas yang lebih tinggi.[192]

Lihat juga

Catatan

  1. ^ Istilah hijab digunakan dalam Al-Qur'an dengan arti "tirai" atau "sekat"; ayat-ayat yang menggunakan kata ini (seperti Al-Araf 7:46 dan Al-Ahzab 33:53) tidak terkait dengan aturan busana.[28][20]
  2. ^ Menurut Kemenag RI, jilbab ialah sejenis baju kurung lapang yang dapat menutup kepala, wajah dan dada.[37] Jilbab juga bisa diterjemahkan sebagai jubah (cloak)[37] atau pakaian luar (outer garment)[36]

Referensi

Rujukan

  1. ^ a b c Mark Juergensmeyer, Wade Clark Roof, ed. (2012). "Hijab". Encyclopedia of Global Religion [Ensiklopedia Agama Global]. 1. SAGE Publications. hlm. 516. doi:10.4135/9781412997898. ISBN 9780761927297. 
  2. ^ a b "Hadits Shahih Al-Bukhari No. 143 - Kitab Wudlu". Hadits.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17. 
  3. ^ a b "Sahih Muslim 2170d". Sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-07-19. 
  4. ^ a b "Sahih al-Bukhari 146". Sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-07-19. 
  5. ^ a b Encyclopedia of Islam and the Muslim World (Ensiklopedia Islam dan Dunia Islam) (2003), hal. 721, New York: Macmillan Reference USA (Referensi Macmillan AS)
  6. ^ "unicornsorg". Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 December 2015. Diakses tanggal 26 December 2015. 
  7. ^ "Moroccoworldnews.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 December 2015. Diakses tanggal 26 December 2015. 
  8. ^ a b Nomani, Asra Q.; Arafa, Hala (21 Desember 2015). "Opinion: As Muslim women, we actually ask you not to wear the hijab in the name of interfaith solidarity" [Opini: Sebagai wanita Muslim, kami sebenarnya meminta Anda tidak memakai hijab, untuk menjalin solidaritas antaragama]. Washington Post. 
  9. ^ Glasse, Cyril (2001). "hijab". The New Encyclopedia of Islam (Ensiklopedia Baru Islam). Altamira Press. hlm. 179–180. 
  10. ^ Fisher, Mary Pat. Living Religions (Agama Hidup). New Jersey: Pearson Education (Pendidikan Pearson), 2008.
  11. ^ "YÜZÜ ÖRTMENİN HÜKMÜNE DÂİR DETAYLI DELİLLER - İslam Soru-Cevap". 
  12. ^ "'Why didn't you wear a hijab?' Taliban militants shoot 21-year-old Afghan girl" ['Kenapa Anda tidak memakai hijab?' Militan Taliban menembak gadis Afghan berumur 21 tahun]. News Track (dalam bahasa Inggris). 2021-08-05. Diakses tanggal 2021-08-15. 
  13. ^ CNN, Schams Elwazer. "Skimpy clothing targeted in Gulf cover-up campaigns" [Pakaian minim ditarget oleh kampanye menutup diri di negara Teluk]. CNN (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-02. 
  14. ^ "9 Misconceptions about traveling to Saudi Arabia as a woman - Against the Compass" [9 Kesalahpahaman tentang pergi ke Arab Saudi sebagai wanita - Terhadap Kompas] (dalam bahasa Inggris). 2021-01-09. Diakses tanggal 2021-02-06. I did not cover my hair because, one, it’s not the law, and two, I didn’t have a scarf anyway. (Saya tidak menutup rambut saya karena, satu, itu bukan hukumnya, dan dua, saya tidak memiliki kerudung.) 
  15. ^ Abdulaziz, Donna (2019-10-02). "Saudi Women Are Breaking Free From the Black Abaya" [Wanita Saudi Membebaskan Diri Dari Abaya Hitam]. Wall Street Journal (dalam bahasa Inggris). ISSN 0099-9660. Diakses tanggal 2021-02-06. Almost immediately, women became more comfortable wearing their headscarves loosely or not at all (Hampir seketika, wanita lebih nyaman memakai kerudung yang longgar atau tidak sama sekali) 
  16. ^ "Women in Saudi Arabia do not need to wear head cover, says crown prince" [Wanita di Arab Saudi tidak perlu memakai penutup kepala, kata putra mahkota]. The Irish Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-06. This, however, does not particularly specify a black abaya or a black head cover. The decision is entirely left for women to decide what type of decent and respectful attire she chooses to wear. (Tetapi, ini tidak merincis abaya hitam atau penutup kepala hitam. Keputusan seluruhnya dipilih oleh wanita untuk memutuskan apa jenis pakaian sopan dan terhormat yang dia pakai.) 
  17. ^ a b Nic Robertson (5 Desember 2020). "Saudi Arabia has changed beyond recognition. But will tourists want to visit?" [Arab Saudi telah berubah ke luar pengenalan. Namun apakah turis ingin berkunjung?]. CNN. 
  18. ^ Mail, Daily (2019-09-15). "Rebel Saudi women appear in public without hijab, abaya; onlookers stunned | New Straits Times" [Wanita Saudi rebel muncul di publik tanpa hijab/abaya; penglihat terkejut | New Straits Times]. NST Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-13. 
  19. ^ a b c d "Women, the Hijab and the Intifada" [Wanita, Hijab, dan Intifadhah]. 4 Mei 1990. 
  20. ^ a b c d e f g h i j k l m n o El Guindi, Fadwa; Sherifa Zahur (2009). Hijab. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World (Ensiklopedia Oxford Dunia Islam). doi:10.1093/acref/9780195305135.001.0001. ISBN 9780195305135. 
  21. ^ a b c d e Aslan, Reza, No God but God [Tidak Ada Tuhan selain Allah: Asal Usul, Evolusi, dan Masa Depan Islam, Random House, (2005), p.65–6
  22. ^ a b c Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam: Akar Bersejarah Debat Modern]. ISBN 9780300055832. Diakses tanggal 2013-04-20. 
  23. ^ a b Glasse, Cyril (2001). "hijab". The New Encyclopedia of Islam [Ensiklopedia Baru Islam]. Altamira Press. hlm. 179–180. 
  24. ^ Lane's Lexicon (Leksikan Lane) halaman 519 dan 812
  25. ^ Contemporary Fatwas (Fatwa Kontemporer) oleh Sheik Yusuf Al Qaradawi, vol. 1, hal. 453-455
  26. ^ Ruh Al Ma’ani oleh Shihaab Adeen Abi Athanaa’, vol. 18, hal. 309, 313
  27. ^ a b Samira Haj (2008). Reconfiguring Islamic Tradition: Reform, Rationality, and Modernity [Mengonfigurasikan Kembali Tradisi Islam: Reformasi, Rasionalitas, dan Modernitas]. Stanford University Press. hlm. 134. 
  28. ^ a b c Cenap Çakmak, ed. (2017). "Hijab". Islam: A Worldwide Encyclopedia [Islam: Ensiklopedia Sedunia]. ABC-CLIO. hlm. 595. 
  29. ^ a b Bucar, Elizabeth, The Islamic Veil. (Kerudung Islami) Oxford, England: Oneworld Publications , 2012.
  30. ^ Nomani, Asra Q.; Arafa, Hala (December 21, 2015). "As Muslim women, we actually ask you not to wear the hijab in the name of interfaith solidarity" [As Muslim women, we actually ask you not to wear the hijab in the name of interfaith solidarity]. Washington Post. Namun dalam interpretasi dari abad ke-7 hingga sekarang, teolog, dari ulama Maroko Fatima Mernissi sampai Khaled Abou El Fadl dari UCLA, dan Leila Ahmed dari Harvard, Zaki Badawi dari Mesir, Abdullah al Judai dari Iraq dan Javaid Ghamidi dari Pakistan, jelas menetapkan bahwa wanita Muslim tidak wajib menutupi rambutnya. (But in interpretations from the 7th century to today, theologians, from the late Moroccan scholar Fatima Mernissi to UCLA’s Khaled Abou El Fadl, and Harvard’s Leila Ahmed, Egypt’s Zaki Badawi, Iraq’s Abdullah al Judai and Pakistan’s Javaid Ghamidi, have clearly established that Muslim women are not required to cover their hair.) 
  31. ^ Martin et al. (2003), Encyclopedia of Islam & the Muslim World (Ensiklopedia Islam & Dunia Islam), Macmillan Reference (Referensi Macmillan), ISBN 978-0028656038
  32. ^ Evidence in the Qur'an for Covering Women's Hair (Bukti dalam Al-Qur'an untuk Menutup Rambut Wanita), IslamOnline.
  33. ^ a b Hameed, Shahul. "Is Hijab a Qur’anic Commandment? (Apakah Hijab Perintah Al-Qur'an?)," IslamOnline.net. 9 Oktober 2003.
  34. ^ John Richard Bowen (2012). A New Anthropology of Islam [Antropologi Baru Islam]. Cambridge University Press. hlm. 67. 
  35. ^ Ghufran Khir-Allah (2021). Framing Hijab in the European Mind: Press Discourse, Social Categorization and Stereotypes [Pembingkaian Hijab dalam Pikiran Eropa: Wacana Pers, Kategorissi Sosial, dan Stereotip]. Springer. hlm. 59. 
  36. ^ a b "The Quran, sura 33, verse 59" [Al-Qur'an, surat 33, ayat 59]. www.perseus.tufts.edu. Diakses tanggal 2022-07-01. 
  37. ^ a b c "surah Al-Ahzab - 1-73". Quran.com. Diakses tanggal 2022-07-01. 
  38. ^ Islam and the Veil: Theoretical and Regional Contexts (Islam dan Kerudung: Konteks Teoritik dan Kedaerahan), halaman 111-113]
  39. ^ Islam and the Veil: Theoretical and Regional Contexts (Islam dan Kerudung: Konteks Teoritik dan Kedaerahan), halaman 114]
  40. ^ "Hijab: Fard (Obligation) or Fiction?". virtualmosque.com. 15 October 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 November 2018. Diakses tanggal 8 November 2018. 
  41. ^ "How Should We Understand the Obligation of Khimar (Head Covering)?". seekershub.org. 25 September 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 November 2018. Diakses tanggal 8 November 2018. 
  42. ^ Kamali, Mohammad (2005). Principles of Islamic Jurisprudence [Prinsip Yurisprudensi Islam] (edisi ke-3). Islamic Texts Society. hlm. 63. ISBN 0946621810. Diakses tanggal 8 November 2018. 
  43. ^ Rabiha Hannan, Theodore Gabriel, ed. (2011). Islam and the Veil: Theoretical and Regional Contexts. Bloomsbury Publishing. hlm. 118. 
  44. ^ Mariam al-Jaber (2018-03-28). "Saudi cleric al-Ghamdi: Abaya is not mandatory as per Islam's teachings" [Ulama Saudi al-Ghamdi: Abaya tidak wajib per ajaran Islam]. Al Arabiya. 
  45. ^ Rabiha Hannan, Theodore Gabriel, ed. (2011). Islam and the Veil: Theoretical and Regional Contexts [Islam dan Kerudung: Konteks Kedaerahan dan Teoritis]. Bloomsbury Publishing. hlm. 124. 
  46. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 November 2017. Diakses tanggal 8 November 2018. 
  47. ^ Sahar Amer (2014). What Is Veiling? [Apa itu Berkerudung?]. University of North Carolina Press. hlm. 37. 
  48. ^ "A Detailed Exposition of the Fiqh of Covering One's Nakedness (Awra)" [Eksposisi Detil Fiqh Menutup Aurat]. 19 September 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 February 2019. Diakses tanggal 18 February 2019. 
  49. ^ "Can You Clarify the Standard Explanation of the Verse of Hijab? [Shafi'i]" [Apakah Anda Bisa Mengklarifikasikan Penjelasan Ayat Hijab? [Shafi'i]]. 11 April 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 February 2019. Diakses tanggal 18 February 2019. 
  50. ^ Hsu, Shiu-Sian. "Modesty." (Kesopanan) Encyclopaedia of the Qur'an. Ed. Jane McAuliffe. Bab 3. Leiden, Belanda: Brill Academic Publishers, 2003. 403-405. 6 bab.
  51. ^ "Uncovering in Front of Non-Muslim's of Unmarriageable Kin (Mahram)" [Memperlihatkan di Depan Mahram Non-Muslim]. 9 September 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Maret 2019. Diakses tanggal 18 February 2019. 
  52. ^ "Fatwas of the Permanent Committee: Women covering their faces and hands" [Fatwa Komite Permanen: Wanita yang menutup wajah dan tangannya]. General Presidency of Scholarly Research and Ifta'. Kingdom of Saudi Arabia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 November 2018. Diakses tanggal 9 Januari 2016. 
  53. ^ "Who is Mahram" [Apa itu Mahram]. 30 Mei 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Februari 2019. Diakses tanggal 18 Februari 2019. 
  54. ^ Rispler-Chaim, Vardit. "The siwāk: A Medieval Islamic Contribution to Dental Care." (Siwāk: Kontribusi Islam Pertengahan kepada Perawatan Gigi.) Journal of the Royal Asiatic Society 2.1 (1992): 13-20.
  55. ^ Heba G. Kotb M.D., Sexuality in Islam (Seksualitas dalam Islam), PhD Thesis, Maimonides University, 2004
  56. ^ Volk, Anthony. "Islam and Liberalism: Conflicting Values?." (Islam dan Liberalisme: Nilai-Nilai yang Tidak Sesuai?) Harvard International Review 36.4 (2015): 14.
  57. ^ Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam: Akar Bersejarah Debat Modern]. New Haven: Yale University Press. ISBN 978-0300055832. 
  58. ^ V.A. Mohamad Ashrof (2005). Islam and gender justice. Gyan Books, 2005. hlm. 130. ISBN 9788178354569. Diakses tanggal 8 April 2011. 
  59. ^ Asma Afsaruddin; A. H. Mathias Zahniser (1997). Humanism, culture, and language in the Near East [Humanisme, budaya, and bahasa di Timur Dekat]. Eisenbrauns, 1997. hlm. 87. ISBN 9781575060200. Diakses tanggal 8 April 2011. 
  60. ^ Asma Afsaruddin; A. H. Mathias Zahniser (1997). Humanism, culture, and language in the Near East [Humanisme, budaya, and bahasa di Timur Dekat]. Eisenbrauns, 1997. hlm. 95. ISBN 9781575060200. Diakses tanggal 8 April 2011. 
  61. ^ Women revealing their adornment to men who lack physical desire (Wanita yang memperlihatkan perhiasannya ke pria yang tidak memiliki gairah fisik) Diarsipkan 27 Desember 2016 di Wayback Machine. diakses 25 Juni 2012
  62. ^ Queer Spiritual Spaces: Sexuality and Sacred Places (Ruang Spiritual Queer: Seksualitas dan Tempat Sakral) – Halaman 89, Kath Browne, Sally Munt, Andrew K. T. Yip - 2010
  63. ^ a b "Female Muslim Dress Survey Reveals Wide Range Of Preferences On Hijab, Burqa, Niqab, And More" [Survei Busana Muslim Wanita Mengungkapkan Preferensi Beragam mengenai Hijab, Burqa, Cadar, Dan Lain-Lain]. Huffington Post. 23 Januari 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 September 2016. Diakses tanggal 23 August 2016. 
  64. ^ a b c d RICH MORIN (14 January 2014). "Q&A with author of U. Mich. study on preferred dress for women in Muslim countries" [Tanya jawab dengan pengarang studi preferensi busana wanita di negara Muslim, U. Mich.]. Pew Research Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 August 2016. Diakses tanggal 25 August 2016. 
  65. ^ a b Shounaz Meky (9 October 2014). "Under wraps: Style savvy Muslim women turn to turbans". Al Arabiya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 August 2016. Diakses tanggal 26 August 2016. 
  66. ^ Yasmin Nouh (11 May 2016). "The Beautiful Reasons Why These Women Love Wearing A Hijab". The Huffington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 September 2016. Diakses tanggal 26 August 2016. 
  67. ^ "Lifting The Veil: Muslim Women Explain Their Choice". NPR. 21 April 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 March 2018. Diakses tanggal 5 April 2018. 
  68. ^ "Muslim Americans: No Signs of Growth in Alienation or Support for Extremism; Section 2: Religious Beliefs and Practices". Pew Research Center. 30 August 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 August 2016. Diakses tanggal 25 August 2016. 
  69. ^ "Playing cat and mouse with Iran′s morality police". Qantara.de. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 August 2016. Diakses tanggal 23 August 2016. 
  70. ^ Yara Elmjouie (19 June 2014). "Iran's morality police: patrolling the streets by stealth". Tehran Bureau/The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 July 2016. Diakses tanggal 23 August 2016. 
  71. ^ Strzyżyńska, Weronika (2022-09-05). "Iranian authorities plan to use facial recognition to enforce new hijab law" [Aparat Iran merencanakan penggunaan teknologi pengenalan wajah untuk melaksanakan aturan hijab baru]. The Guardian. Diakses tanggal 2022-09-17. 
  72. ^ Strzyżyńska, Weronika (2022-09-16). "Iranian woman dies 'after being beaten by morality police' over hijab law" [Wanita Iran meninggal dunia 'setelah dipukuli oleh polisi moralitas' atas aturan hijab]. The Guardian. Diakses tanggal 2022-09-17. 
  73. ^ Rainsford, Sarah (7 November 2006). "Headscarf issue challenges Turkey". BBC News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 April 2010. Diakses tanggal 24 June 2010. 
  74. ^ Rainsford, Sarah (2 October 2007). "Women condemn Turkey constitution". BBC News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 August 2008. Diakses tanggal 4 August 2008. 
  75. ^ Jonathan Head (31 December 2010). "Quiet end to Turkey's college headscarf ban". BBC News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 June 2018. Diakses tanggal 21 July 2018. 
  76. ^ Clark-Flory, Tracy (23 April 2007). "Head scarves to topple secular Turkey?". Salon. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 May 2008. Diakses tanggal 4 August 2008. 
  77. ^ Ayman, Zehra; Knickmeyer, Ellen. Ban on Head Scarves Voted Out in Turkey: Parliament Lifts 80-Year-Old Restriction on University Attire Diarsipkan 19 October 2017 di Wayback Machine.. The Washington Post. 10 February 2008. Page A17.
  78. ^ a b "Turkey Lifts Longtime Ban on Head Scarves in State Offices". NY Times. 8 October 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 December 2013. Diakses tanggal 1 February 2014. 
  79. ^ Kahf, Mohja (2008). From Her Royal Body the Robe was Removed: The Blessings of the Veil and the Trauma of Forced Unveiling in the Middle East [Dari Badan Mewah Dia Jubah Dilepas: Anugerah Kerudung dan Trauma Pelepasan Kerudung Paksa di Timur Tengah]. University of California Press. hlm. 27. 
  80. ^ a b c Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 15. 
  81. ^ Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 27–28. 
  82. ^ a b c d e f Richard Freund. "The Veiling of Women in Judaism, Christianity and Islam. A Guide to the Exhibition" [Perkerudungan Wanita dalam Yahudi, Kristen/Katolik dan Islam. Panduan Pameran] (PDF). University of Hartford. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 August 2016. Diakses tanggal 22 August 2016. 
  83. ^ a b "The Ultimate Guide to Christian Headcoverings" [Panduan Pokok Penutup Kepala Kristen] (dalam bahasa English). Saint John the Evangelist Orthodox Church. 17 May 2019. Diakses tanggal 19 August 2021. 
  84. ^ Gupta, Kamala (2003). Women In Hindu Social System (1206–1707 A.D.) (dalam bahasa Inggris). Inter-India Publications. ISBN 9788121004145. Hindu ladies covered their head with a kind of veil known as Ghoonghat. 
  85. ^ Gupta, Kamala (1987). Social Status of Hindu Women in Northern India, 1206-1707 A.D. (dalam bahasa English). Inter-India Publications. hlm. 131. ISBN 978-81-210-0179-3. The Hindu ladies covered their heads with a kind of veil known as ghoonghat. 
  86. ^ Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 26–28. 
  87. ^ a b Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 35. 
  88. ^ a b c Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 55–56. 
  89. ^ Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 53–54. 
  90. ^ Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 55. 
  91. ^ Aslan, Reza (2005). No God but God [Tidak Ada Tuhan selain Allah]. Random House. hlm. 65. ISBN 978-1-4000-6213-3. 
  92. ^ "Surat Al-'Ahzab". Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 February 2013. Diakses tanggal 1 December 2012. 
  93. ^ a b Aslan, Reza (2005). No God but God [Tidak Ada Tuhan selain Allah]. Random House. hlm. 66. ISBN 978-1-4000-6213-3. 
  94. ^ John L. Esposito, ed. (2014). "Hijab". The Oxford Dictionary of Islam. Oxford: Oxford University Press. doi:10.1093/acref/9780195125580.001.0001. ISBN 9780195125580. 
  95. ^ Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam [Wanita dan Jenis Kelamin dalam Islam]. New Haven: Yale University Press. hlm. 36. 
  96. ^ Esposito, John (1991). Islam: The Straight Path  [Islam: Jalur Lurus] (edisi ke-3). Oxford University Press. hlm. 99. ISBN 978-0-19-506225-0. 
  97. ^ Bloom (2002), p.47
  98. ^ Sara Silverstri (2016). "Comparing Burqa Debates in Europe". Dalam Silvio Ferrari; Sabrina Pastorelli. Religion in Public Spaces: A European Perspective [Membandingkan Debat Burqa di Eropa]. Routledge. hlm. 276. ISBN 9781317067542. 
  99. ^ Leila Ahmed (2014). A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence, from the Middle East to America [Revolusi Diam-Diam: Kembalinya Kerudung, dari Timur Tengah hingga Amerika]. Yale University Press. 
  100. ^ "Retro Middle East: The rise and fall of the miniskirt" [Retro Timur Tengah: naik dan turunnya rok mini]. albawaba.com. 18 August 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 October 2016. Diakses tanggal 23 October 2016. 
  101. ^ "Bhutto's Pakistan". 4 December 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 October 2016. Diakses tanggal 23 October 2016. 
  102. ^ "Pakistan's swinging 70s". Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 October 2016. Diakses tanggal 23 October 2016. 
  103. ^ Robinson, Jeremy Bender, Melia. "25 photos show what Iran looked like before the 1979 revolution turned the nation into an Islamic republic" [25 foto yang menampilkan Iran sebelum revolusi 1979 mengubah negara menjadi republik Islam]. Business Insider. 
  104. ^ "theguardian.com, 3 September 2015, accessed 23 October 2016". TheGuardian.com. 3 September 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 January 2019. Diakses tanggal 23 October 2016. 
  105. ^ "Women in Turkey: The headscarf is slipping - Qantara.de". 
  106. ^ "Turkey's fraught history with headscarves" [Sejarah konflik Turki dengan kerudung]. Public Radio International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 11 April 2020. 
  107. ^ "Why Turkey Lifted Its Ban on the Islamic Headscarf" [Mengapa Turki Mencabut Larangan Kerudung Islami]. National Geographic News. 12 Oktober 2013. Diakses tanggal 11 April 2020. 
  108. ^ "Cover Story" [Sampul Cerita]. www.aljazeera.com. Diakses tanggal 11 April 2020. 
  109. ^ a b c d e El Guindi, Fadwa; Zuhur, Sherifa. "Ḥijāb". The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 October 2014. Diakses tanggal 11 October 2012. 
  110. ^ a b c d Bullock, Katherine (2000). "Challenging Medial Representations of the Veil" [Menentang Representasi Medial Kerudung]. The American Journal of Islamic Social Sciences. 17 (3): 22–53. doi:10.35632/ajis.v17i3.2045. 
  111. ^ Patrick Johnston (19 Agustus 2016). "Kimia Alizadeh Zenoorin Becomes The First Iranian Woman To Win An Olympic Medal" [Kimia Alizadeh Zenoorin Menjadi Wanita Iran Pertama Yang Memenangkan Medali Olimpiade]. Reuters/Huffington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Agustus 2016. Diakses tanggal 22 Agustus 2016. 
  112. ^ Winter, Bronwyn (2006). "The Great Hijab Coverup" [Tumbuhnya Hijab yang Hebat]. Off Our Backs; A Women's Newsjournal. 36 (3): 38–40. JSTOR 20838653. 
  113. ^ "Naghmeh Kiumarsi Official Website | News" [Website Resmi Naghmeh Kiumarsi]. naghmehkiumarsi.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 May 2019. Diakses tanggal 1 May 2019. 
  114. ^ Istanbul, Hannah Lucinda Smith (29 December 2017). "Iran surprises by relaxing Islamic dress code for women" [Iran mengejutkan dengan melonggarkan aturan berbusana Muslim untuk wanita]. The Times. ISSN 0140-0460. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Mei 2019. Diakses tanggal 1 Mei 2019. 
  115. ^ "Islamofashion". 25 October 2007. 
  116. ^ a b c d Ramezani, Reza (spring 2007). Hijab dar Iran az Enqelab-e Eslami ta payan Jang-e Tahmili Diarsipkan 2 March 2019 di Wayback Machine. [Hijab di Iran dari Revolusi Islam sampai akhir perang yang dikenakan] (Persian), Faslnamah-e Takhassusi-ye Banuvan-e Shi’ah [Quarterly Journal of Shiite Women] 11, Qom: Muassasah-e Shi’ah Shinasi, pp. 251-300, ISSN 1735-4730
  117. ^ a b Elizabeth M. Bucar (2011). Creative Conformity: The Feminist Politics of U.S. Catholic and Iranian Shi'i Women [Kesesuaian Kreatif: Politik Feminisme Wanita Katolik A.S. dan Syi'ah Iran]. Georgetown University Press. hlm. 118. ISBN 9781589017528. 
  118. ^ "قانون مجازات اسلامی (Hukum Pidana Islam), lihat ماده 102 (artikel 102)". Islamic Parliament Research Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 October 2016. Diakses tanggal 12 October 2016. 
  119. ^ Elizabeth M. Bucar (2011). Creative Conformity: The Feminist Politics of U.S. Catholic and Iranian Shi'i Women [Kesesuaian Kreatif: Politik Feminisme Wanita Katolik A.S. dan Syi'ah Iran]. Georgetown University Press. hlm. 118. ISBN 9781589017528. terlihatnya kepala, rambut, lengan atau kaki, penggunaan makeup, pakaian tipis atau ketat, dan pakaian dengan kata atau gambar asing 
  120. ^ a b Sanja Kelly; Julia Breslin (2010). Women's Rights in the Middle East and North Africa: Progress Amid Resistance [Hak Wanita di Timur Tengah dan Afrika Utara: Ada Kemajuan Walaupun Ditentang]. Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 126. ISBN 9781442203976. 
  121. ^ Behnoosh Payvar (2016). Space, Culture, and the Youth in Iran: Observing Norm Creation Processes at the Artists' House [Ruang, Budaya, dan Orang Muda di Iran: Melihat Proses Pembuatan Norma di Rumah Artis-Artis]. Springer. hlm. 73. ISBN 9781137525703. 
  122. ^ BBC Monitoring (22 April 2016). "Who are Islamic 'morality police'?" [Apa itu "polisi moralitas" Islam?]. BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 April 2019. Diakses tanggal 21 Juli 2018. 
  123. ^ "Iranians worry as morality police go undercover" [Orang Iran khawatir tentang polisi moralitas samar]. AP/CBS News. 27 April 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Juni 2018. Diakses tanggal 13 Oktober 2016. 
  124. ^ "Iran must protect women's rights advocates" [Iran harus melindungi pendukung hak wanita]. UN OHCHR. 6 May 2019. 
  125. ^ Strategi untuk promosi kesucian (Persia), website resmi Majelis Iran (04/05/1384 AP, tersedia online Diarsipkan 19 Oktober 2017 di Wayback Machine.)
  126. ^ a b Jewel Topsfield (7 April 2016). "Ban on outdoor music concerts in West Aceh due to Sharia law" [Larangan konser musik luar ruangan di Aceh Barat karena hukum Syariah]. The Sydney Morning Herald. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Agustus 2016. Diakses tanggal 23 Agustus 2016. 
  127. ^ a b "Coverings for women 'not mandatory', says Saudi crown prince ahead of US charm offensive" [Kerudung untuk wanita "tidak diwajibkan", kata putra mahkota Arab Saudi di depan ofensif persona AS]. The New Arab (Al-Araby Al-Jadeed). Mar 20, 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Januari 2019. Diakses tanggal 1 Januari 2019. Islamic clothing in Saudi Arabia is compulsory, but the crown prince has claimed this does not have to the case so long as women maintain a modest appearance in public. Saudi Arabia requires women to wear the black robe and hijab by law. (Pakaian Muslim di Arab Saudi diwajibkan, tetapi putra mahkota mengklaim hal ini tidak berlaku selama wanita tetap terlihat sopan di publik. Arab Saudi mewajibkan wanita memakai pakaian hitam dan hijab menurut hukum.) 
  128. ^ a b "Saudi Arabia's dress code for women" [Aturan berbusana Arab Saudi untuk wanita]. The Economist. 28 Januari 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Mei 2018. Diakses tanggal 13 Juli 2017. 
  129. ^ "Saudi police 'stopped' fire rescue" [Polisi Arab Saudi "menghentikan" penyelamatan orang dari kebakaran]. BBC. 15 Maret 2002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Januari 2018. Diakses tanggal 14 Agustus 2016. 
  130. ^ CLOTHING ii. In the Median and Achaemenid periods dalam Encyclopædia Iranica (PAKAIAN ii. Pada periode Media dan Akhemeniyah)
  131. ^ El-Guindi, Fadwa, Veil: Modesty, Privacy, and Resistance (Kerudung: Kesopanan, Privasi, dan Perlawanan), Berg, 1999
  132. ^ "Turkey's AKP discusses hijab ruling" [AKP mendiskusikan keputusan hijab]. Al Jazeera. 6 Juni 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Agustus 2018. Diakses tanggal 6 Januari 2015. 
  133. ^ "Quiet end to Turkey's college headscarf ban" [Akhir yang sunyi untuk larangan kerudung di universitas Turki]. BBC News. 31 Desember 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Juni 2018. Diakses tanggal 21 Juli 2018. 
  134. ^ "Tunisia's Hijab Ban Unconstitutional" [Larangan Hijab oleh Tunisia Diputuskan Tidak Sesuai Konstitusi]. 11 Oktober 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Juli 2013. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  135. ^ "Country passes law 'to stop Muslim women wearing hijabs'" [Negara mengesahkan hukum "untuk menghentikan wanita Muslim memakai hijab"]. Independent.co.uk. September 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2017. Diakses tanggal 28 Agustus 2018. 
  136. ^ "Majority-Muslim Tajikistan passes law to discourage wearing of hijabs" [Negara mayoritas Muslim Tajikistan mengesahkan hukum untuk mengurangi pemakaian hijab]. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Agustus 2018. Diakses tanggal 28 Agustus 2018. 
  137. ^ Mardell, Mark. "Dutch MPs to decide on burqa ban" (Anggota parlemen Belanda akan memutuskan larangan burkak" Diarsipkan 12 Juni 2018 di Wayback Machine., BBC News, 16 Januari 2006. Diakses 6 Juni 2008.
  138. ^ a b Köksal Baltaci (27 September 2017). "Austria becomes latest European country to ban burqas — but adds clown face paint, too" [Austria menjadi negara Eropa terbaru yang melarang burkak — tetapi juga melarang cat wajah badut]. USA Today. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Februari 2019. Diakses tanggal 29 September 2017. 
  139. ^ "The Islamic veil across Europe" [Kerudung Muslim sepanjang Eropa]. BBC News. 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Februari 2018. Diakses tanggal 5 Februari 2018. 
  140. ^ "A European government has banned Islamic face veils despite them being worn by just three women" [Sebuah pemerintah negara Eropa telah melarang kerudung Muslim yang menutupi wajah walaupun hanya dipakai oleh tiga wanita]. The Independent. 21 April 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Januari 2017. Diakses tanggal 5 Februari 2018. 
  141. ^ "Bosnian women protest at headscarf ban" [Wanita Bosnia memprotes larangan kerudung]. BBC News. 7 Februari 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Maret 2018. Diakses tanggal 5 Februari 2018. 
  142. ^ "Bosnia Judicial Authorities Uphold Hijab Ban, Despite Protests" [Otoritas Keadilan Bosnia Menegakkan Larangan Hijab, Meskipun Ada Protes]. RadioFreeEurope/RadioLiberty. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 February 2018. Diakses tanggal 5 February 2018. 
  143. ^ Rankin, Jennifer; Oltermann, Philip (14 Maret 2017). "Europe's right hails EU court's workplace headscarf ban ruling" [Orang sayap kanan Eropa menyambut keputusan larangan kerudung di tempat kerja]. The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Februari 2018. Diakses tanggal 5 Februari 2018. 
  144. ^ Staff and agencies (31 Mei 2018). "Denmark passes law banning burqa and niqab" [Denmark mengesahkan hukum yang melarang burkak dan cadar]. The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Agustus 2018. Diakses tanggal 15 Agustus 2018. 
  145. ^ a b c d ALISSA J. RUBIN (24 Agustus 2016). "French 'Burkini' Bans Provoke Backlash as Armed Police Confront Beachgoers" [Larangan "Burkini" di Prancis Memicu Reaksi Negatif Setelah Polisi Menghadapi Pengunjung Pantai]. New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Maret 2019. Diakses tanggal 27 Februari 2017. 
  146. ^ "Cannes bans burkinis over suspected link to radical Islamism" [Cannes melarang burkini karena terduga terkait dengan Islamisme radikal]. BBC News. 12 Agustus 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Agustus 2016. Diakses tanggal 12 Agustus 2016. 
  147. ^ "Nice joins growing list of French towns to ban burqini" [Nice masuk daftar kota Prancis yang melarang burkini yang semakin banyak]. The Local.fr. 19 Agustus 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Agustus 2016. Diakses tanggal 22 Agustus 2016. 
  148. ^ a b Harry Cockburn (24 Agustus 2016). "Burkini ban: Armed police force woman to remove her clothing on Nice beach" [Larangan burkini: Pasukan polisi bersenjata memaksa wanita melepas pakaian dia di pantai Nice]. The Independent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Februari 2019. Diakses tanggal 28 Desember 2017. 
  149. ^ a b Ben Quinn (23 Agustus 2016). "French police make woman remove clothing on Nice beach following burkini ban" [Polisi Prancis menyebabkan wanita melepas pakaian dia di pantai Nice setelah burkini dilarang]. The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Februari 2019. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. 
  150. ^ a b c Angelique Chrisafis (24 August 2016). "French burkini ban row escalates after clothing incident at Nice beach" [Pertengkaran larangan burkini di Prancis semakin parah setelah insiden pakaian di pantai Nice]. The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 November 2018. Diakses tanggal 24 August 2016. 
  151. ^ Saroglou, Vassilis; Lamkaddem, Bahija; Van Pachterbeke, Matthieu; Buxant, Coralie (2009). "Host society's dislike of the Islamic veil: The role of subtle prejudice, values, and religion" [Ketidaksukaan masyarakat kerudung Muslim: Peran prasangka halus, nilai, dan agama]. International Journal of Intercultural Relations. 33 (5): 419–428. CiteSeerX 10.1.1.471.6175 . doi:10.1016/j.ijintrel.2009.02.005. 
  152. ^ Lëtzebuerg, Tageblatt (16 May 2019). "Österreich verbietet Kopftücher an Grundschulen". Tageblatt.lu (dalam bahasa Jerman). Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 May 2019. Diakses tanggal 18 May 2019. 
  153. ^ "Austria court overturns primary school headscarf ban" [Austria membalikkan larangan kerudung di sekolah dasar]. BBC News. 11 Desember 2020. Diakses tanggal 3 April 2022. 
  154. ^ TT (29 May 2019). "Staffanstorp röstade för huvudduksförbud". Svenska Dagbladet (dalam bahasa Swedia). ISSN 1101-2412. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 May 2019. Diakses tanggal 31 May 2019. 
  155. ^ Sheikh Saaliq (8 Februari 2022). "In India, wearing hijab bars some Muslim students from class" [Di India, memakai hijab menghalangi beberapa siswa Muslim dari kelas]. Toronto Star. 
  156. ^ "Karnataka hijab row: Judge refers issue to larger bench" [Pertengkaran mengenai hijab di Karnataka: Hakim merujuk isu ke meja yang lebih besar]. BBC News. 10 Februari 2022. 
  157. ^ "Religious identity, rights in focus as Indian schools ban hijab" [Identitas dan hak agama dalam fokus setelah sekolah India melarang hijab]. Christian Science Monitor. 8 Februari 2022. 
  158. ^ "Karnataka's hijab row: A fragile regime's latest assault on right to choice" [Pertengkaran mengenai hijab di Karnataka: Serangan hak memilih dari rezim rentan]. The News Minute. 
  159. ^ "Hijab ban: Karnataka high court upholds government order on headscarves" [Larangan hijab: Mahkamah tinggi Karnataka menegakkan surat edaran pemerintah mengenai kerudung]. BBC News. 
  160. ^ Chesler, Phyllis (1 Maret 2010). "Worldwide Trends in Honor Killings" [Tren Dunia Pembunuhan demi Kehormatan]. Middle East Quarterly. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Januari 2019. Diakses tanggal 5 Januari 2019. 
  161. ^ Hammami, Rema (1990). "Women, the Hijab and the Intifada" [Wanita, Hijab, dan Intifadhah] (PDF). Middle East Report (164/165): 24–78. doi:10.2307/3012687. JSTOR 3012687. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-02-12. 
  162. ^ Rubenberg, C., Palestinian Women: Patriarchy and Resistance in the West Bank (Wanita Palestina: Patriarki dan Perlawanan di Tepi Barat) (AS, 2001) hal. 230
  163. ^ Rubenberg, C., Palestinian Women: Patriarchy and Resistance in the West Bank (Wanita Palestina: Partriarki dan Perlawanan di Tepi Barat) (AS, 2001) hal. 231
  164. ^ M. J. Gohari (2000). The Taliban: Ascent to Power. (Taliban: Pendakian Kekuasaan) Oxford: Oxford University Press, hal. 108-110.
  165. ^ Popham, Peter (in Delhi) (30 August 2001). "Kashmir women face threat of acid attacks from militants". The Independent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 August 2016. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  166. ^ "Kashmir women face acid attacks". BBC News. 10 August 2001. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 January 2013. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  167. ^ "Gaza women warned of immodesty". 2 December 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 June 2011. 
  168. ^ In 2006, a group in Gaza calling itself "Just Swords of Islam" is reported to have claimed it threw acid at the face of a young woman who was dressed "immodestly", and warned other women in Gaza that they must wear hijab.[167]
  169. ^ "Syrian Women Face Whipping and Execution for Breaking Sharia Dress Code" [Wanita Suriah Menghadapi Pencambukan dan Eksekusi karena Melanggar Aturan Berbusana Syariah]. International Business Times UK. 9 Maret 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Desember 2018. Diakses tanggal 19 Juli 2014. 
  170. ^ Ripegutu, Halvor. "Telia har mottatt trussel som følge av hijab-reklame". Nettavisen (dalam bahasa Norwegia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 April 2019. Diakses tanggal 3 April 2019. 
  171. ^ Basia Spalek (2013). Basia Spalek, ed. Muslim women's safety talk and their experience of victimisation [Pembicaraan keamanan wanita Muslim dan pengalaman viktimisasinya]. Islam, Crime and Criminal Justice. Routledge. hlm. 63–64. ISBN 9781134032839. 
  172. ^ a b c Louis A. Cainkar (2009). Homeland Insecurity: The Arab American and Muslim American Experience After 9/11 [Ketidakamanan Tanah Air: Pengalaman Orang Amerika Arab dan Amerika Muslim setelah 9/11]. Russell Sage Foundation. hlm. 244–245. ISBN 9781610447683. 
  173. ^ Kirk Semple (25 November 2015). "'I'm Frightened': After Attacks in Paris, New York Muslims Cope With a Backlash" ["Saya Takut": Setelah Serangan di Paris dan New York, Orang Muslim Menghadapi Reaksi Negatif]. New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Desember 2018. Diakses tanggal 27 Februari 2017. 
  174. ^ Farangis Najibullah (20 Maret 2011). "Hijab Now A Hot Topic In Kazakhstan" [Hijab Sekarang Menjadi Topik Panas di Kazakhstan]. Radio Free Europe/Radio Liberty. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 September 2016. Diakses tanggal 22 Agustus 2016. 
  175. ^ Bruce Pannier, Farruh Yusupov (14 Juni 2015). "'Deveiling' Drive Moves To Uzbekistan's Capital" [Dorongan "Pelepasan Hijab" Pindah ke Ibukota Uzbekistan]. Radio Free Europe/Radio Liberty. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 September 2016. Diakses tanggal 22 Agustus 2016. 
  176. ^ Malikov A. and Djuraeva D. 2021. Women, Islam, and politics in Samarkand (1991–2021) (Wanita, Islam, dan politik di Samarkand), International Journal of Modern Anthropology. 2 (16): 563. DOI: 10.4314/ijma.v2i16.2
  177. ^ BBC Trending (13 Agustus 2016). "Kyrgyzstan president: 'Women in mini skirts don't become suicide bombers'" [Presiden Kirgizstan: "Wanita yang memakai rok mini tidak berubah menjadi pembom bunuh diri"]. BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 Oktober 2017. Diakses tanggal 21 Juli 2018. 
  178. ^ Tahmincioglu, E. (13 September 2010). Muslims face growing bias in workplace (Orang Muslim menghadapi bias yang semakin besar di tempat kerja) Diarsipkan 25 Juli 2019 di Wayback Machine.. NBC News. Diakses dari http://www.nbcnews.com
  179. ^ Ali, Saba Rasheed; Liu, William Ming; Humedian, Majeda (2004). "Islam 101: Understanding the Religion and Therapy Implications" [Islam 101: Memahami Agama dan Implikasi Terapi]. Professional Psychology: Research and Practice. 35 (6): 635–642. CiteSeerX 10.1.1.569.7436 . doi:10.1037/0735-7028.35.6.635. 
  180. ^ Council on American-Islamic Relations. (2008). The status of Muslim civil rights in the United States (Status hak sipil orang Muslim di Amerika Serikat) Diarsipkan 11 Desember 2010 di Wayback Machine.. [DX Reader version]. Diakses dari http://cairunmasked.org/wp-content/uploads/2010/07/2008-Civil-Rights-Report.pdf
  181. ^ Ghumman, S., & Jackson, L. (2010). The downside of religious attire: the Muslim headscarf and expectations of obtaining employment. (Kekurangan busana religius: kerudung Muslim dan ekspektasi mendapatkan pekerjaan) Journal of Organizational Behavior, 31(1), 4-23
  182. ^ Cole, Darnell; Ahmadi, Shafiqa (2003). "Perspectives and Experiences of Muslim Women Who Veil on College Campuses" [Perspektif dan Pengalaman Wanita Muslim Yang Berkerudung di Kampus Perguruan Tinggi]. Journal of College Student Development. 44: 47–66. doi:10.1353/csd.2003.0002. 
  183. ^ a b Reeves, T., Mckinney, A., & Azam, L. (2012). Muslim women's workplace experiences: Implications for strategic diversity initiatives. (Pengalaman wanita Muslim di tempat kerja: Implikasi untuk inisiatif strategis keberagaman) Equality, Diversity and Inclusion (Kesetaraan, Keberagaman, dan Penyertaan), 32(1), 49-67.
  184. ^ Hamdani, D. (Maret 2005). Triple jeopardy: Muslim women’s experience of discrimination. (Triple jeopardy: Pengalaman diskriminasi wanita Muslim) Canadian Council of Muslim Women Diarsipkan 16 Agustus 2018 di Wayback Machine.. Retrieved from http://archive.ccmw.com/publications/triple_jeopardy.pdf Diarsipkan 2019-07-23 di Wayback Machine. (do we italicize the council?)
  185. ^ a b Ali, S., Yamada, T., & Mahmood, A. (2015). Relationships of the practice of Hijab, workplace discrimination, social class, job stress, and job satisfaction among Muslim American women. (Hubungan praktik Hijab, diskriminasi di tempat kerja, kelas sosial, stres pekerjaan, dan kepuasan pekerjaan antara wanita Amerika Muslim) Journal of Employment Counseling, 52(4), 146-157
  186. ^ Younis, M. (2 Maret 2009). Muslim Americans exemplify diversity (Orang Amerika Muslim menunjukkan keberagaman) Diarsipkan 21 Desember 2011 di Wayback Machine., potential. Gallup. Retrieved from http://www.gallup.com/poll/116260/muslim-americans-exemplify-diversity-potential.aspx
  187. ^ Ahmad, A. S., King, E. B.(2010). An experimental field study of interpersonal discrimination toward Muslim job applicants. (Studi lapangan eksperimental diskriminasi interpersonal terhadap pelamar pekerjaan Muslim) Personnel Psychology, 63(4), 881–906
  188. ^ Acquisti, A., & Fong, C. M. (2013). An experiment in hiring discrimination via online social networks (Eksperimen diskriminasi pemberian pekerjaan melalui jaringan sosial online) Diarsipkan 2 Agustus 2018 di Wayback Machine.. Social Science Research Network. Diakses dari https://ssrn.com/abstract=2031979
  189. ^ Harrison, A. K. (2016). Hiding under the veil of “dress policy”: Muslim women, hijab, and employment discrimination in the United States. (Bersembunyi dalam kerudung "kebijakan berbusana": Wanita Muslim, hijab, dan diskriminasi aplikasi pekerjaan di Amerika Serikat) Georgetown Journal of Gender and the Law, 17(3), 831
  190. ^ a b c Pasha-Zaidi, N. (2015). Judging by appearances: Perceived discrimination among South Asian Muslim women in the US and the UAE. (Menilai melalui penampilan: Perasaan diskriminasi antara wanita Asia Selatan Muslmim di AS dan UEA) Journal of International Women's Studies,16(2), 70-97
  191. ^ Pascoe, E. A., & Smart Richman, L. (2009). Perceived discrimination and health: a meta-analytic review. (Perasaan diskriminasi dan kesehatan: review meta-analitik) Psychological Bulletin, 135(4), 531
  192. ^ a b Jasperse, Marieke Lyniska (2009). "Persevere in Adversity: Perceived Religious Discrimination and Islamic Identity as Predictors of Psychological Wellbeing in Muslim Women in New Zealand" [Bersabarlah dalam Kesulitan: Perasaan Diskriminasi Agama dan Identitas Islam sebagai Peramal Kesehatan Psikologis di Wanita Muslim di Selandia Baru] (PDF). New Zealand: Victoria University of Wellington. hdl:10063/1005. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 September 2017. Diakses tanggal 28 September 2018. 

Sumber

Pranala luar