PENGKHIANAT
“Mati aku,” teriak seorang cewek remaja yang berseragam putih biru. Rambut kuncir kudanya ikut bergoyang ketika gadis itu menunduk kecewa. Ada tulisan Vazya pada kemeja seragamnya.
“Kamu nggak bisa jurus lima tendangan, sih,” sahut temannya dengan tidak mengalihkan pandangan dari layar.
Vazya pindah duduk ke samping temannya yang masih bermain itu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat penyewaan Play Station itu dipenuhi oleh banyak siswa SMP. Beberapa dari mereka telah menyelesaikan permainan. Namun, cewek di sebelah Vazya masih asyik bermain.
“Sevin, sebentar lagi bel masuk. Udahan, yuk!” ajaknya.
“Ah, tanggung.”
“Nanti dimarahin Bu Tika, lho,” Vazya mengingatkan.
Namun, Sevin lagi-lagi mengabaikannya.
Vazya tidak mau terlambat masuk ke kelas. Ia meremas-remas tangannya pertanda gelisah.
Tiba-tiba, pada layar terlihat tokoh jagoan Sevin bersimbah darah. Akhirnya, Sevin kalah juga. Dengan begini, sahabatnya itu pasti menyudahi permainannya.
Vazya salah besar. Teman sebangkunya itu bersiap-siap mengulangi kembali permainannya. Ia bertambah gelisah. Apalagi sekarang hanya ada mereka berdua yang tertinggal.
“Yang sekolah, berhenti yo. Balik belajar, sono!”
Tidak terkira betapa bahagianya Vazya mendengar perintah Penjaga Rental Play Station itu. Tak pelak, Sevin pun membatalkan niatnya untuk tetap bermain. Keduanya berjalan kembali ke sekolah.
***
Di tengah perjalanan, Vazya dan Sevin berpapasan dengan teman-teman sekelas mereka yang lain. Ada tujuh orang. Dua di antaranya adalah Angga dan Grinda.
“Lho, berhenti mainnya, Vin?” tanya Angga.
“Sudah bel,” Vazya yang menjawab.
“Guru-guru masih rapat, kok,” kata Angga.
Dengan penuh antusias, Sevin menanggapi, “Oh ya?”
“Iya, ngapain ke kelas kalau nggak ada gurunya. Mending kita main lagi.” Kali ini, Grinda yang mengajak.
Vazya mendelik mendengar hasutan Grinda tersebut. “Eh, kita harus belajar,” larangnya.
“Yeee, orang nggak ada gurunya,” bantah Angga.
Vazya melayangkan argumen, “Tapi, nggak ada pemberitahuan kalau kita dipulangkan lebih cepat. Paling-paling cuma sebentar. Habis itu, ya belajar.”
“Kalau nggak ada murid, guru juga nggak akan mengajar.”
“Benar juga apa yang dibilang Grinda. Kita kompakan nggak masuk. Mana mungkin Bu Tika berani menghukum kita semua?” kata Angga.
“Lagian, pelajaran Bu Tika membosankan,” tambah Sevin.
Vazya memejamkan mata. Inilah yang ia takutkan, justru sahabatnya sendiri yang mencetuskan untuk melakukan suatu perilaku yang tidak baik.
“Jadi, gimana? Kita balik main PS?” tanya Angga.
“Mana boleh kita main PS di Abang itu lagi. Dia selalu melarang kita bermain pas jam belajar.”
“Ah, aku tahu. Kita ke rental yang di jalan besar aja. Di sana penjaganya cuek. Banyak komputernya lagi. Kita juga bisa main game online. Bareng-bareng,” ujar Grinda memberikan ide.
Teman-temannya begitu bersemangat. Vazya jadi bingung bagaimana caranya menggagalkan keinginan teman-temannya itu.
“Ide bagus. Aku telepon teman-teman lain biar ke sana,” kata Angga seraya mengeluarkan telepon genggamnya.
“Iya. Kalau kelas kosong, Bu Tika nggak mungkin marah,” ucap Sevin menyemangati.
Vazya tidak mungkin diam saja. Ia harus mencegah mereka. Ia harus mengatakan sesuatu. Ia mengepalkan tangannya demi mengalirkan keberaniannya. Vazya lalu menyela, “Itu kan jauh dari sekolah. Kalau kenapa-kenapa, gimana?”
Sevin menatapnya tajam. Dengan tangan tersilang di dada, teman sebangkunya itu berkata, “Mau kamu apa, sih?”
Vazya gemetar dan merasa terintimidasi. “Kita harus belajar.”
“Kan tadi Angga sudah bilang, gurunya nggak ada,” kata Sevin ketus.
“Tapi itu bukan berarti kita boleh keluar dari sekolah.”
“Suka-suka kita, dong. Apa pedulimu?” tanya Sevin dengan nada suara yang meninggi.
“Karena itu hal yang benar,” jawab Vazya cepat sebelum keberaniannya menguap.
Sevin mendecakkan lidah, “Bosan aku dengarnya. Kamu mau ikut kita atau nggak, terserah. Yang penting, jangan sampai kamu masuk kelas dan mengadukan kita!”
Vazya pun ditinggal sendirian.
***
Kejadian itu berbuntut panjang. Sepeninggal Sevin, Angga, dan Grinda yang melanjutkan bermain game, Vazya awalnya berniat mematuhi Sevin. Ia tidak mau bermusuhan dengan sahabatnya itu.
Tapi, ia teringat dengan nasihat ibunya untuk selalu berbuat yang benar. Apalagi bayangan wajah gurunya yang kecewa melihat kelas yang kosong melompong mengusik hatinya.
Dengan pikiran yang berkecamuk itu, Vazya berjalan cepat-cepat ke sekolah. Sampai di gerbangnya, ia menyaksikan kelas terdekat yang dipenuhi dengan para siswa. Hatinya terasa tidak enak.
Ia terengah-engah sewaktu memasuki kelas. Hanya ada Bu Tika dan dua orang teman sekelas lain di sana. Bu Tika mengomeli mereka. Vazya menerima saja karena ia memang salah.
Meskipun demikian, guru mereka itu menghargai kehadiran Vazya dan dua temannya yang lain. Tapi, Sevin dan anak lain yang membolos mendapatkan hukuman membersihkan kelas dan kamar mandi sekolah.
***
Tentu saja Sevin marah kepadanya.
Pagi tadi, ketika Sevin baru datang, teman sebangkunya itu menolak duduk bersamanya lagi. Sevin pindah ke meja Grinda. Vazya paham alasan temannya marah kepadanya. Tapi, tidak seharusnya berlarut-larut sampai begini.
Ia hanya enggan melakukan sesuatu yang tidak benar. Vazya tidak menuntut Sevin memiliki prinsip yang sama dengannya. Namun, bukan berarti mereka tidak bisa berteman lagi, bukan?
Ketika jam istirahat tiba, Vazya bermaksud menjelaskan seperti itu kepada mantan teman sebangkunya itu. Akan tetapi, ketika dia menoleh ke tempat duduk Sevin, gadis itu telah berlalu bersama Angga dan Grinda.
***
Dua minggu sudah Sevin tidak menegurnya. Bukan hanya mendiamkannya sama sekali, Sevin juga menghasut teman-teman lain untuk memusuhi dirinya. Teman sebangkunya itu menjelek-jelekkan Vazya sebagai orang yang sombong dan pengadu. Tidak punya teman, hari-harinya di sekolah berlangsung bak neraka.
Vazya berusaha mengembalikan konsentrasinya kepada pelajaran Matematika yang dijelaskan guru di depan kelas. Tiba-tiba, ia melihat Sevin meminta izin untuk ke luar kelas. Ia memperhatikan teman sekelasnya itu pergi sendirian, tanpa diikuti oleh Grinda atau yang lainnya.
Otak Vazya bergerak cepat menyarankan agar ia mengikuti teman sebangkunya itu. Sebelumnya, ia meraih sesuatu terlebih dahulu dari dalam tasnya.
Berjaga-jaga agar tidak ketahuan, Vazya menjaga jarak langkahnya dengan Sevin. Dari sudut matanya, ia menangkap bayangan Sevin yang memasuki toilet. Ke sanalah ia menuju.
***
Toilet sekolah mereka terdiri dari bilik-bilik. Hanya ada satu bilik yang terkunci. Jadi, Vazya yakin kalau sahabatnya itu ada di dalam situ.
Vazya menengok ke arah pintu utama toilet. Oleh karena hanya mereka berdua yang ada di tempat itu, Vazya mengunci pintu.
Ia akan menunggu Sevin selesai menunaikan hajat. Niatnya sudah jelas. Ia ingin mengakhiri permusuhannya dengan Sevin.
Tidak heran kalau ada ekspresi kaget di wajah Sevin sewaktu menemukan Vazya berjaga-jaga di dekat pintu. Tapi hanya sedetik saja karena temannya itu berlagak tidak tahu ada Vazya di sana.
Sevin santai saja mencuci tangan. Tidak terlihat ada tanda-tanda sahabatnya itu akan memulai percakapan.
Oleh karena itu, meskipun bibirnya kelu, dengan suara bergetar Vazya memberanikan diri bertanya, “Kenapa kamu memusuhi aku?”
Untuk sesaat, tidak ada jawaban apa-apa. Sevin mencari tisu untuk mengelap tangannya.
“Sevin, please,” pinta Vazya.
“Bukannya sudah jelas? Kok masih tanya-tanya?” kata Sevin seraya membuang tisu bekas lap tangannya.
Kemajuan, pikir Vazya karena sahabatnya itu akhirnya bersuara. Ia menelan ludah sebelum menjawab, “Karena aku masuk kelas Bu Tika ketika kalian membolos? Aku melakukan hal yang benar. Apa itu salah?”
“Itu namanya nggak setia kawan. Nggak ada gunanya juga kan kamu lapor-lapor. Nggak bikin uang jajanmu nambah.”
Vazya menyentuh barang yang ia simpan di dalam sakunya. Ia sedang menimbang-nimbang apakah sekarang waktu yang tepat untuk memberikannya.
“Pengkhianat,” kata Sevin pelan.
Vazya bersabar. Lagi pula, mengingat sahabatnya itu tidak mengucapkan kata itu keras-keras, ia yakin Sevin sebenarnya tidak ingin memperpanjang permusuhan. Ia menghela napas lalu berkata, “Aku minta maaf.”
Sevin terdiam.
Vazya merogoh saku roknya dan menyodorkan benda yang dibawanya dari kelas.
“Dompet Hello Kitty,” pekik Sevin.
“Aku menyiapkan ini buat hadiah ulang tahun. Tapi aku kasih sekarang, nggak apa-apa ya?”
Sevin membolak-balikkan dompet yang diberikan oleh Vazya. Sahabatnya itu bahkan tercengang sewaktu melihat cermin di dalamnya. Tidak disangka-sangka, Sevin memeluk Vazya.
“Aku sebenarnya kangen berteman sama kamu lagi,” bisik Sevin di telinganya.
Vazya balas memeluk sahabatnya itu. “Lain kali marahnya jangan selama ini, ya….”
“Sudah, sudah, nggak usah diomongin lagi,” Sevin melepaskan pelukannya. “Aku mau cerita banyak, Vaz.”
Vazya ingin menanggapi, tapi Sevin sudah melanjutkan, “Sini, sini lihat,” kata sahabatnya sambil menunjukkan layar ponselnya.
Vazya melihat sosok seorang pemuda. Dari perawakannya, sudah jelas laki-laki di foto itu tidak seumuran dengan mereka. Lebih tua.
“Ganteng, kan?”
“Kenal di mana?”
“Waktu membolos kemarin, kami main game online. Ada yang menyapaku. Ya, dia. Namanya Ello,” ujar Sevin dengan penuh semangat. “Dari kemarin-kemarin, aku sudah ingin cerita sama kamu. Habis, Grinda nggak asyik diajak ngobrol. Aku mau curhat tentang Ello saja, Grinda selalu memotong pembicaraanku. Dia lebih peduli dengan obrolan soal makanan. Balik ke cowok kenalan gue tadi. Dia....”
Vazya menyimak saja celotehan Sevin. Temannya itu memang cerewet dan suka bercerita. Apa saja. Sekarang, ia nikmati saja kalimat yang meluncur dari bibir Sevin. Soalnya, Vazya terlampau senang dapat berteman lagi dengan Sevin untuk berbalik menanggapi dengan curhatan hatinya sendiri.
***
Hari itu hari Jumat. Pelajaran terakhir adalah Matematika. Seluruh siswa kelas 1 SMP Kupu-Kupu menatap bosan soal-soal latihan di papan tulis.
Tiba-tiba, dari sebelah kiri Vazya, terdengar bisikan. “Sst, Vaz!”
Itu Sevin. Ia melirik guru di depan kelas. Takut kalau-kalau sang guru menangkap mereka yang sedang mengobrol. Sang guru sedang asyik membaca majalah. Aman. “Kenapa?” tanyanya kepada teman sebangkunya.
“Aku mau ketemu sama Ello. Hari ini. Sepulang sekolah.”
“Cowok dari game online?”
Sevin mengangguk. “Kami sudah jadian, lho. Hari ini dia ngajak jalan-jalan.”
“Ke mana?”
“Ke rumahnya.”
Vazya bergidik khawatir. “Kamu pergi sama siapa?”
“Sendiri saja. Masa pacaran harus ditemani?”
Jantung Vazya semakin berdegup kencang. “Kamu, kan, nggak kenal dia sama sekali. Apa nggak sebaiknya ditemani orang lain? Yang lebih dewasa. Kakak atau orangtua kamu?”
Sevin melotot. “Kamu tuh, ya. Nggak ngerti banget. Mana mungkin aku ditemani sama mereka. Bisa-bisa aku malah dimarahi. Lagian, aku sangat mengenal Ello. Dia itu cinta sejatiku. Belahan jiwaku.”
“Atau sebaiknya undang saja dia ke rumahmu. Bilang ada tugas kelompok. Aku mau kok ikut supaya orangtuamu nggak curiga,” saran Vazya.
“Ah, Vazya. Ini jalan-jalan pertama kami. Aku mau jadi hari yang spesial.”
“Memangnya orangtuamu kasih izin, Sevin?”
“Aku bilang aku bakal tinggal lebih lama di sekolah karena ada tugas membersihkan kelas. Kalau Mamaku meneleponmu, kamu juga harus bilang begitu, ya?”
“Tapi, Sevin....”
“Ah, sudahlah. Kamu nggak akan jadi pengkhianat, kan?”
Vazya menunduk. Terus terang ia tidak mau mengalami hal yang sama ketika dirinya tidak mematuhi perintah Sevin untuk ikut membolos di pelajaran Bu Tika waktu itu.
Vazya menghela napas. Baiklah, kali ini ia akan mengalah.
***
Hari sudah hampir senja ketika telepon rumah Vazya berdering. Ibu yang mengangkat telepon. Namun, tidak lama kemudian namanya dipanggil karena telepon itu untuknya.
“Halo, Nak Vazya.”
Vazya mengenal suara itu. Mamanya Sevin. Ia menyahut sapaan lawan bicaranya dengan ramah.
“Sevin belum pulang. Apa kamu tahu dia ke mana?”
Mata melotot Sevin membayangi pikiran Vasya. Hari-hari bak neraka ketika semua siswa memusuhinya pasca-membolos merasuki ingatannya. Kamu nggak akan jadi pengkhianat, kan? Kalimat itu meraung-raung di benaknya. Tapi, jika Vazya menyimpan informasi tersebut, itu bukanlah hal yang benar. Apa yang harus ia katakan?
“Tadi kami harus tinggal lebih lama di sekolah untuk membersihkan kelas, Tante. Tapi, setelah itu kami masing-masing pulang,” jelas Vazya dengan bibir bergetar dan degup jantung tak beraturan.
Telepon ditutup. Akan tetapi, detak jantung Vazya masih tak beraturan. Yang penting, kali ini kamu tidak menjadi pengkhianat, Vazya, hibur salah satu sisi hatinya.
***
Senin yang sibuk. Tadi malam, Vazya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jadi, pagi ini ia terlambat bangun. Akibatnya, Vazya baru sampai di sekolah ketika upacara bendera sudah selesai. Untungnya, saat itu guru yang mengawasi terhitung berhati lunak sehingga ia bisa melenggang begitu saja tanpa hukuman.
Cepat-cepat Vazya memasuki kelas. Tak sabar ia bertemu Sevin dan mendengar semua cerita tentang pertemuan pertamanya dengan Ello. Namun, di samping tempat duduknya masih kosong. Sevin belum juga datang. Apakah sahabatnya itu terlambat seperti dirinya?
Bu Tika, wali kelas mereka mengawali pelajaran di hari Senin itu. Guru mereka tersebut berdeham sebelum memulai kalimat pertamanya.
“Anak-anak, Ibu baru saja mendapat kabar duka. Salah satu teman kita, Sevin, sudah berpulang ke Pencipta. Kabarnya, Sevin dianiaya oleh orang asing yang dia temui lewat game online. Jadi, sekarang kita semua akan ke rumah Sevin untuk menyampaikan belasungkawa.”
Jantung Vazya berlompat-lompatan tak tentu arah. Matanya memanas merebak dengan cairan kesedihan. Ketika ia mengabaikan nurani untuk melakukan hal yang benar, konsekuensi yang terjadi justru sangat mengerikan.
Saat itu, dia berharap bisa mengulang waktu dan memilih menjadi pengkhianat.
TAMAT