Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto

museum di Indonesia

Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto adalah bangunan yang terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai cagar budaya, yang terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada 1919 dan menjadi salah satu bukti fisik dari konsep kota modern arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Pada 17 Juni 2015, rumah tersebut menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain, yaitu GPIB Tamansari Salatiga, Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius, Rumah Tinggal Notosoegondo, dan Toko Aneka Jaya.

Rumah Tinggal Dokter Hasmo
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
KategoriBangunan
No. RegnasBelum ada
(Pengajuan 19 Januari 2016)
Lokasi
keberadaan
Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah
PemilikKeluarga Hasmo Sugijarto
PengelolaKeluarga Hasmo Sugijarto

Keadaan bangunan

 
Frederik Bousché dan Wilhelmina Frederika Kouwenberg bersama keempat anaknya pada 1910.

Rumah ini diperkirakan dibangun pada 1919 dengan pemilik awal bernama Frederik Bousché, seorang Indo-Belanda kelahiran Delanggu, Klaten.[1] Pada awal pendiriannya, seperti mayoritas orang Belanda lainnya, Bousché menanam berbagai bunga di halaman rumah tersebut dan memilih motif tulip untuk lantainya.[2] Bangunan rumah itu berada di Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama Julianalaan) No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah.[3][4][5] Pada masa pemerintahan gemeente (kota praja dengan otonomi penuh), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama Europeesche Wijk.[6][7]

Menurut Prakosa, kawasan itu hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Asia Timur, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).[8] Namun, Supangkat menegarai bahwa ruas Julianalaan menjadi lokasi alternatif pendirian rumah tinggal tersebut karena lahan di sekitar Jalan Diponegoro (dahulu bernama Toentangscheweg) mulai padat.[9][10]

Bangunan ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Secara umum, kondisi fisiknya terawat dengan baik hingga tahun 2023. Selain itu, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika gaya art deco Indo-Eropa dan belum pernah mengalami perubahan desain maupun renovasi.[11] Bangunan rumah tersebut terdiri atas bangunan induk, paviliun di sisi kiri, serta ruang keluarga yang menunjukkan bahwa penghuninya banyak.[12]

Menurut Supangkat, fondasi yang dipakai di rumah itu adalah batu kali besar dan tinggi untuk menghindari resapan air yang dapat merusak tembok, sedangkan atapnya berbentuk perisai ganda tiga dengan pendopo berbentuk gazebo di sudut bangunan. Bangunan rumah dan pekarangan yang luasnya hingga Jalan Margosari tersebut mulai ditempati oleh keluarga Hasmo Sugijarto sejak tahun 1950. Sugijarto sendiri memiliki istri yang berprofesi sebagai bidan dan delapan orang anak yang semuanya perempuan. Hal inilah yang menyebabkan bangunan rumah ini pernah dijadikan sebagai klinik bersalin.[13][14]

Kompensasi pelestarian

Rumah tinggal yang berdekatan dengan Kantor Pos Salatiga tersebut terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/67[a][15] dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.[11] Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari BPCB Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain di Kota Salatiga.[16][17]

Kompensasi tersebut diserahkan kepada Sri Kadarinah selaku pemilik dan pengelola bangunan. Empat bangunan lain itu adalah GPIB Tamansari Salatiga (diserahkan kepada Marthinus Mijan Rukait selaku Ketua IV Pelaksana Harian Majelis GPIB Tamansari Salatiga), Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius (diserahkan kepada Suster Kepala Maria Gratia Surtinan), Rumah Tinggal Notosoegondo (diserahkan kepada Hendriani selaku pemilik dan pengelola bangunan), dan Toko Aneka Jaya (diserahkan kepada Heriyanto selaku pemilik dan pengelola bangunan).[16][17]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 (Hatmadji, dkk 2009, hlm. 3).

Rujukan

  1. ^ Prakosa (2017), hlm. 64
  2. ^ Supangkat (2019), hlm. 9
  3. ^ Saputra, Imam Yuda (27 April 2016). "Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya". Solopos. Diakses tanggal 12 Maret 2020. 
  4. ^ Supangkat (2012), hlm. 21
  5. ^ Harnoko, dkk (2008), hlm. 42
  6. ^ Anwar (2019), hlm. 147
  7. ^ Rohman (2020), hlm. 124
  8. ^ Prakosa (2017), hlm. 27
  9. ^ Supangkat (2012), hlm. 35
  10. ^ Supangkat (2019), hlm. 8
  11. ^ a b Pemerintah Kota Salatiga. "Bangunan Cagar Budaya". Pemerintah Kota Salatiga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 September 2021. Diakses tanggal 12 Maret 2020. 
  12. ^ Supangkat (2019), hlm. 7–8
  13. ^ Rahardjo, dkk (2013), hlm. 245–246
  14. ^ Supangkat (2019), hlm. 10
  15. ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 133–135
  16. ^ a b Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020. 
  17. ^ a b Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Bangunan-Bangunan di Kota Salatiga Penerima Kompensasi Pelestarian". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020. 

Daftar pustaka

Buku

  • Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga. 
  • Hatmadji, Tri, dkk (2009). "Kajian dan Hasil Identifikasi Bangunan Bersejarah di Kota Salatiga". Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. 
  • Prakosa, Abel Jatayu (2017). Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917–1942. Semarang: Sinar Hidoep. 
  • Rahardjo, Slamet, dkk (2013). Sejarah Bangunan Cagar Budaya Kota Salatiga. Salatiga: Pemerintah Daerah Kota Salatiga. 
  • Supangkat, Eddy (2019). Gedung-Gedung Tua yang Melewati Lorong Waktu Salatiga. Salatiga: Griya Media. 
  • Supangkat, Eddy (2012). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media. 

Jurnal

Bacaan lanjutan

  • Darmiati, dkk (1999). Otonomi Daerah di Hindia-Belanda (1903–1940). Jakarta: CV. Sejahtera. 
  • Handjojo, M.S. (1978). Riwayat Kota Salatiga. Salatiga: Sechan Press. 
  • Kartoatmadja, dkk (1995). Hari Jadi Kota Salatiga 24 Juli 750. Salatiga: Pemerintah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga. 
  • Oemar, Mohammad, dkk (1978). Sedjarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Purnomo, Daru, dkk (2015). Kajian Pemekaran Kota Salatiga. Salatiga: Pusat Kajian Kependudukan dan Pemukiman Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. 

Pranala luar