Etika digital adalah serangkaian aturan dan prosedur yang dibuat untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi digital. Penetapan etika digital bersifat mempertahankan kenyamanan yang diberikan melalui penggunaan teknologi digital.[1] Berinteraksi di media sosial memerlukan etika digital tertentu karena adanya interaksi dengan warganet. Dua prinsip yang harus dimiliki ialah kesopanan dan kesusilaan.[2] Dalam dunia maya tidak ada aturan baku mengenai etika digital.[3] Fokus utama dari etika digital adalah etika berinternet.[4] Peran etika digital adalah sebagai pedoman bagi individu dalam melakukan interaksi sosial di dalam pelantar digital. Adanya etika digital akan membentuk kesadaran, tanggung jawab, integritas dan penghormatan terhadap nilai kebaikan di dalam pemanfaatan media digital.[5]

Kedudukan

Kedudukan etika digital berada di antara keinginan teknologi dan moral. Etika digital tidak dapat diatur hanya melalui hukum formal karena adanya penilaian berdasarkan moral. Penilaian ini mengatur segala bentuk interaksi digital yang dilakukan oleh manusia.[6]

Pendekatan

Kewargaan digital

Kewargaan digital digunakan untuk memanfaatkan peluang teknologi informasi dan komunikasi secara optimal. Pendekatan ini berkaitan dengan keamanan jaringan menggunakan tindakan perlindungan. Warga digital dapat memperoleh bantuan dengan adanya kewargaan digital karena kemananan jaringan berada pada kondisi aman. Melalui kewargaan digital, literasi digital dan etika digital akan mengalami perkembangan yang positif.[7]

Jenis

Etika pembuatan akun

Etika digital di media sosial dimulai sejak pembuatan akun dan dilanjutkan pada pembangunan jaringan pertemanan.[2] Akun merupakan identitas pengguna yang menandakan keberadaanya.di dalam ruang digital. Terdapat beberapa etika dalam pembuatan akun. Pertama, memberikan informasi mengenai identitas diri tanpa ada pemalsuan. Identitas diri harus ditulis dengan jelas menggunakan bahasa yang sopan. Identitas diri yang diberikan tidak disampaikan seluruhnyan sehingga informasi yang sangat pribadi tidak diberikan. Informasi yang diberikan juga tidak menyinggung suku, agama, ras, atau golongan tertentu maupun mengandung pornografi. Etika terakhir dalam pembuatan akun adalah mengetahui fungsi dari setiap fitur di dalam pelantar digital.[8]

Etika pembuatan jaringan pertemanan

Pembuatan jaringan pertemanan dilakukan setelah pembuatan akun. Etika dalam pembuatan jaringan pertemanan diawal dengan mengadakan pertemanan dengan orang yang telah dikenal. Penambahan teman baru harus dilakukan dengan memastikan identitasnya terelbih dahulu. Teman baru yang akan ditambahkan setidaknya memiliki kesamaan terhadap suatu hal tertentu. Jaringan pertemanan diutamakan dengan pengguna yang memberikan identitas asli. Identitasnya dapat dilakukan dengan rekam jejak digitalnya.[9]

Etika percakapan dalam grup

Etika dalam percakapan digital dimulai dengan menjaga kerahasiaan pribadi antarpengguna satu sama lain. Nomor yang digunakan untuk komunikasi tidak diberikan kepada siapapun tanpa izin dari pemilik nomor. Awal percakapan dengan orang yang tidak dikenal dimulai dengan perkenalan diri dan pertanyaan tentang sumber perolehan nomor komunikasi. Pada percakapan di dalam grup, penambahan anggota perlu meminta izin dari calon anggota. Selain itu, informasi yang belum jelas kebenarannya tidak dimasukkan ke dalam percakapan. Cuplikan layar pada pelantar digital hanya dilakukan untuk kepentingan yang tidak merugikan pihak lain. Etika kesopanan dan kesusilaaan perlu dipertimbangkan dalam pengunggahan dan pemostingan gambar atau foto ke dalam percakapan. Pemotongan foto atau video tidak dilakukan untuk mencegah timbulnya persepsi yang berbeda-beda yang dapat menimbulkan kontroversi. Setiap berkas digital yang diposting juga harus disampaikan status hak cipta.[10]

Penerapan

Pelantar digital

Dalam pelantar digital, etika digital yang diterapkan dapat memiliki aturan yang berbeda-beda.[11] Etika digital berlaku pada pelantar digital baik untuk penyedia maupun pengguna. Pemakaian pelantar digital umumnya pada media sosial. Penyedia pelantar digital diwajibkan membuat aturan dan etika pengguna sebelum memulai pembuatan akun digital dan akun media sosial. Aturan ini ditayangkan secara jelas. Jenis aturan ini umumnya berkaitan dengan batasan usia pengguna dan pelarangan penyebaran media informasi yang mengandung kekerasan di dalamnya. Sementara dari sisi pengguna, etika dilakukan dengan melaporkan segala konten terlarang ke penyedia pelantar. Etika digital di dalam platform digital juga dibentuk melalui penerapan aturan komunitas. Tujuannya adalah mencegah masuknya konten yang tidak etis ke dalam pelantar digital.[12]

Lembaga pendidikan

Pada lembaga pendidikan, peserta didik merupakan bagian dari kewargaan digital. Hak yang dimiliki oleh peserta didik sama dengan hak warga digital. Hak ini meliputi hak akses terhadap teknologi dan informasi digital melalui internet. Hak digital yang diberikan kepada peserta didik memiliki batasan kebebasan yang berkaitan dengan etika digital dan keamanan digital.[13]

Kompetensi digital

Menghormati etika digital termasuk salah satu kompetensi digital yang dibutuhkan dalam literasi digital. Etika digital termasuk bentuk kompetensi komunikasi dan kerja sama. Di dalam literasi digital, etika digital diperlukan bersama dengan keterampilan melakukan interaksi sosial melalui teknologi digital. Etika digital juga dapat menghasilkan komunikasi dan kerja sama jika ada pemahaman dan keterampilan dalam pengelolaan identitas digital.[14]

Dampak pelanggaran

Berkembangnya media digital yang mempercepat arus informasi telah menambah bentuk pelanggaran dari segi etika.[15] Keberadaan etika digital dapat memberikan batasan sikap dan perilaku warga digital terhadap penggunaan media digital. Etika digital juga menggunakan ruang digital sebagai tempat interaksi sosial. Tidak adanya penerapan atau terjadinya pelanggaran terhadap etika digital akan menghasilkan tindakan kejahatan antara lain perundungan, berita bohong, dan ucapan kebencian di dunia digital, Selain itu, tidak adanya etika digital dapat menimbulkan pelecehan seksual dan pornografi di dunia digital.[16]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Kusuma, I. P. I. (2020). Mengajar Bahasa Inggris dengan Teknologi: Teori Dasar dan Ide Pengajaran. Sleman: Deepublish. hlm. 11–12. ISBN 978-623-02-1123-2. 
  2. ^ a b Kusumastuti, dkk. 2021, hlm. 94.
  3. ^ Wijayanto, Fitriani, dan Nurhajati 2019, hlm. 61.
  4. ^ Shina, dkk. 2021, hlm. v-vi.
  5. ^ Kusumastuti, dkk. 2021, hlm. 114.
  6. ^ Zein, Mohamad Fadhilah (2020). Dari Menara62 untuk Indonesia. Jakarta: Menara62 Institute. hlm. 19. 
  7. ^ Feriyansyah, Iqbal, M., dan Simarmata, J. (2019). Kewargaan Digital: Warga Digital dalam Kepungan Hiperkoneksi. Yayasan Kita Menulis. hlm. 23. ISBN 978-623-91536-0-1. 
  8. ^ Kusumastuti, dkk. 2021, hlm. 95.
  9. ^ Kusumastuti, dkk. 2021, hlm. 95-96.
  10. ^ Kusumastuti, dkk. 2021, hlm. 96-97.
  11. ^ Wijayanto, Fitriani, dan Nurhajati 2019, hlm. 62.
  12. ^ Hutabarat, Penny (2021). Stay Relevant and Make A Difference. Yogyakarta: Stiletto Indie Book. hlm. 81. ISBN 978-623-6102-90-9. 
  13. ^ Asmoro, Siwi Widi (2019). Simulasi dan Komunikasi Diigtal SMK/MAK Kelas X Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit ANDI. hlm. 101. ISBN 978-979-29-7257-3. 
  14. ^ Simarmata, J., dkk. (2021). Watrianthos, Ronal, ed. Literasi Digital. Yayasan Kita Menulis. hlm. 74. ISBN 978-623-342-255-0. 
  15. ^ Wahyuni, P., Irma, A., dan Arifin, S., ed. (2021). Perempuan: Perempuan dan Media Volume 1. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press. hlm. 49. ISBN 978-623-264-428-1. 
  16. ^ Shina, dkk. 2021, hlm. 45.

Daftar pustaka