Gandrung Banyuwangi

salah satu tarian di Indonesia
Revisi sejak 25 April 2005 19.40 oleh Meursault2004 (bicara | kontrib) (kategori)

Deskripsi

Gandrung Banyuwangi berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Tarian ini masih satu genre dengan tarian seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Cilacap dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yakni melibatkan seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan.

Tarian ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi cirri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung, dan anda akan menjumpai patung penari Gandrung di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, dan tak ayal lagi Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung.

Tari Gandrung ini sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.

Sejarah

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan menurut laporan Scholte (1927) instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang dimungkinkan karena ajaran Islam melarang segala bentuk travesty atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Sedangkan Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita.

Tradisi Gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung, yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian disamping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak oleh era globalisasi.

Tata Busana

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi adalah sebagai berikut:

Bagian Tubuh

terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Kemudian dibagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Kemudian pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Bagian bahu selalu diberi selendang .

Bagian Kepala

Sedang untuk bagian kepala, hiasannya disebut sebagai omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa, namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Namun setelah tahun 1960an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.

Kemudian pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul diatasnya. Kadang dalam setiap pertunjukan Gandrung, bagian omprok ini dipasang hio.

Bagian Bawah

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi cirri khusus adalah batik dengan corak Gajah Oling. Yakni batik berbahan dasar kain putih dengan corak tumbuh-tumbuhan atau belalai gajah yang menjadi cirri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak tahun tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

Lain-lain

Pada masa lampau, penari Gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari Gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian Seblang Subuh.


Musik Pengiring

Musik pengiring untuk Gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Disamping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan Gandrung.

Selain itu kadang diselingi dengan saron bali, angklung kadang pula rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi elekton.

Tahapan-Tahapan Pertunjukan

Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian, yakni :

  • Jejer
  • Maju atau Ngibing
  • Seblang Subuh

Jejer

Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan Gandrung, dimana pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

Maju

Kemudian setelah acara jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Si Gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari Gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.

Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repen (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

Seblang Subuh

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan Gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian Seblang Subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali. Sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya Seblang lokento. Justru suasana mistis terasa pada saat bagian Seblang Subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual Seblang. Pada masa sekarang ini, bagian Seblang Subuh kerap dihilangkan, namun sebenarnya bagian ini yang menjadi pelengkap satu pertunjukan tari Gandrung.


Perkembangan Kemudian

Seni Gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Bahkan pemerintah Kabupaten Dati II Banyuwangipun mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstra kurikuler kesenian Banyuwangi. Dan salah satu diantaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari pertunjukan Gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh jaman.


Kembali ke : Seni Budaya Banyuwangi