Perang Aceh-Batak (1539)
Perang Aceh-Batak adalah perang Kesultanan Aceh melawan Raja Batak yang dimulai pada abad ke-16 lebih tepatnya di tahun 1539.
Perang Aceh-Batak (1539) | |||||
---|---|---|---|---|---|
| |||||
Pihak terlibat | |||||
Kesultanan Aceh | Kerajaan Batak | ||||
Tokoh dan pemimpin | |||||
Sultan Alauddin al-Qahhar | Anggi Sory Timur Raya |
Latar Belakang
Sultan Aceh menganjurkan Raja Batak yang memiki kepercayaan lokal untuk berpindah ke agama Islam. Apabila raja bersedia menceraikan isterinya yang juga beragama Malim dan sudah di nikahi selama 26 tahun Sultan Aceh akan menyerahkan salah satu saudara perempuannya untuk dinikahi Raja Batak. Namun, Raja Batak menolak tawaran itu hingga Sultan Aceh menyatakan perang. dengan mengerahkan seluruh tentara mereka terjun ke medan pertempuran selama tiga jam tanpa henti.[1]
Perjanjian Aceh-Batak
Peperangan singkat itu memakan banyak korban jiwa yang mengakibatkan Aceh kehilangan banyak bala tentara dan mundur ke area pegunungan yang disebut Cagerrendao. Disanalah Batak mengepung Aceh selama 23 Hari.
Pada masa pengepungan tentara Aceh terkena wabah, dan tentara Batak sendiri sudah mulai kekurangan persediaan makanan, hingga akhirnya kedua belah pihak setuju untuk mengakhiri permusuhan dan menandatangani perjanjian perdamaian. Isi perjanjian itu menyebutkan bahwa Aceh harus mengganti kerugian peperangan sebanyak 5 bahar (1.040 Kg) emas atau setara dengan 200.000 crizado. Raja batak juga akhirnya bersedia menyerahkan putra sulungnya untuk dinikahkan dengan saudara perempuan dari Sultan Aceh yang sebenarnya menjadi akar dari perselisihan tersebut. setelah perjanjian disepakati, orang Batak kembali ke negerinya, membongkar perkemahan dan membubarkan bala tentaranya.
Pengkhianatan Aceh
Namun Perjanjian itu hanya berlangsung selama dua setengah bulan, Aceh menyebarkan desas desus bahwa Sultan Aceh akan berangkat ke Pasai untuk menghukum salah satu kapten yang telah memberontak. Namun, Sultan Aceh berangkat dengan membawa seluruh bala tentaranya menuju dua desa Batak bernama Jacur dan Lingau. Sultan Aceh berhasil melumpuhkan kedua desa tersebut tanpa kesulitan, karena mendapati Raja Batak yang lengah karena rasa aman dari perjanjian yang belum lama disepakati. Sultan Aceh berhasil membunuh ketiga putra Raja Batak bersama dengan 700 hulubalang yang merupakan prajurit terbaik kerajaan Batak.
Siasat Pero de Faria
Raja Batak yang murka akan pengkhianatan perjanjian tersebut mengerahkan pasukan sejumlah 15.000 orang yang terdiri dari penduduk asli maupun orang asing. Tidak puas dengan itu ia mengirimkan utusannya kepada Raja Portugal. Utusan itu menjelaskan telah terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan batak melawan pasukan Kesultanan Aceh yang berlangsung di sebuatu medan terbuka selama 3 jam tanpa henti. Setelah membaca surat dari Raja Batak, Pero de Faria mengatur akomodasi terbaiknya. Dalam waktu 17 hari setelah tiba di Malaka, segala sesuatu langsung di urus dengan sempurna. Setelah 9 hari menginap di ibukota Kerajaan Batak di Sungai Iyu (Panaiu), ia menyaksikan keberangkatan Raja Batak dan pasukannya meninggalkan ibukota menuju suatu tempat bernama Turbao 9 yang jaraknya sekitar 5 leagues (±25Km). Setelah satumalam menginap pasukan Kerajaan Batak dan rajanya melanjutkan gerakan sejauh 18 leagues (±90Km) menuju kedudukan pasukan Aceh. Jumlah pasukan yang dipimpin Raja Batak mencapai 15.000 orang. Pasukan ini diperkuat juga dengan 40 ekor gajah dan 12 gerobak yang dimuati artileri-artileri kecil. Setelah menempuh perjalanan selama 5 hari, pasukan Kerajaan Batak sampai di tepi Sungai Quilem. 15 Di tepi sungai ini pasukan Batak (Tamiang) menangkap mata-mata Aceh, dan berhasil mengungkap informasi bahwa pasukan Aceh telah berkubu di satu tempat yang disebut Tondacur yang terletak sekitar 2 leagues (±10Km) dari wilayah Aceh. Pasukan Aceh yang berkubu di Tondacur (Sei Kuruk) diperkuat oleh legiun asing yang terdiri dari orang-orang Turki, Cambay, dan Malabar.[2]
Setelah berunding dengan dewan perangnya, Raja Batak memutuskan untuk menyerang pasukan Aceh sebelum kekuatan mereka semakin bertambah. Pasukan Batak bergegas menyeberangi sungai, mereka bergerak lebih cepat dari pergerakan biasanya, hingga tiba di kaki satu gunung sekitar pukul sepuluh malam. Posisi pasukan Batak saat itu hanya 0,5 league (±2,5Km) dari posisi pasukan Aceh. Setelah beristirahat sekitar 3 jam, pasukan Batak yang dibagi menjadi 4 kesatuan mulai bergerak menyusuri satu bukit kecil untuk menyerang pasukan Aceh. Saat pasukan Batak sampai di kaki bukit tampaklah hamparan persawahan kering yang luas tempat pasukan Aceh yang terbagi atas 2 kesatuan berada. Diawali dengan duel artileri dan tembakan senapan, kedua pasukan akhirnya bertempur dalam jarak dekat. Setelah pertempuran yang hebat berlangsung lebih dari 1 jam, mulai terlihat pasukan Aceh mulai terdesak, hingga panglima pasukan Aceh memutuskan untuk mengundurkan pasukannya di satu tempat yang lebih tinggi, pada jarak kirakira setembakan senapan faulcon.
Tujuan Pero de Faria
Kapten Pero de Faria sangat menginginkan keuntungan besar yang bisa di peroleh melalui pengiriman barang-barang india ke Batak. Terutama keuntungan yang jauh lebih besar dengan membawa barang berharga berupa kayu gaharu calambac, lima kwintal kemenyan wangi yang bisa diperoleh dari kapal-kapal yang pulang 20 hari kemudian setelah menyampaikan utusan balasan dari kapten Portugis.
Kemenangan Aceh
Hancurnya kapal-kapal Aceh di suatu tempat antara Sei Kuruk (Tondacur) dan Peunaga (Penacao) akibat serangan dari Raja Batak, menjadi titik balik yang menentukan bagi pasukan Aceh. Ketiadaan moda transportasi air yang memungkinkan mereka mundur ke wilayah Aceh melalui jalur perairan membuat pasukan Aceh untuk bertahan habis-habisan di satu benteng di Peunaga (Penacao). Posisi pasukan Aceh yang strategi, kerajaan Batak Menanggapi serangan Kesultanan Aceh melemah tampaknya membuat pasukan Batak sangat percaya bahwa kemenangan akan segera bisa diraihnya. Keyakinan yang berlebihan itu kiranya yang menjadikan pasukan Batak berkurang kewaspadaannya. Hingga akhirnya mereka dikejutkan oleh perangkap ranjau dan serangan balik pasukan Aceh yang telah terkepung di Benteng Peunaga (Penacao) selama 23 hari yang menyebabkan kedua belah pihak mengalami masa-masa tenang.
Kemudian sampai disuatu pagi mata-mata batak menangkap empat nelayan yang mengaku melihat bahwa setidaknya ada 68 kapal layar yang diselimuti dengan bendera dan panji-panji sutra dari tengah sungai menuju ke samping Penacao adalah armada yang sama dengan yang di kirim Sultan Aceh dalam perang melawan Sornau, Raja Siam. Raja Batak menyadari bahwa kekuatan negeri Aceh tumbuh lebih cepat dibanding kekuatan negerinya, sehingga Raja Batak disarankan untuk menarik bala tentaranya dan tidak perlu membuang-buang waktu lagi karena kekuatan Raja Aceh yang saat itu jauh lebih besar dari kekuatan Raja Batak. Akhirnya Raja batak kembali ke Panaju dan membubarkan seluruh pasukannya. Lalu berangkat ke hulu sungai menaiki kapal lanchara kecil menuju kota Pachissaru. Ia mengasingkan diri selama 14 hari dan tinggal di sebuah pagoda kecil yang didedikasikan bagi Dewa Guinassero (dewa kesedihan), seolah-olah ia sednag menjalankan novena.[1]
Referensi
- ^ a b Reid, Anthony (2014). Sumatera Tempo Doeloe. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 47. ISBN 979-3731-94-X.
- ^ Soedewo, Ery (2019). "Strategi Kerajaan Batak (Tamiang) Menghadapi Serangan Kesultanan Aceh di Abad ke-16 M". Berkala Arkeologi SANGKHAKALA. Vol. 22 (No. 1). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-24. Diakses tanggal 2021-06-21.