Jalan Tengah
Pada dasarnya, Jalan Tengah (Pali: majjhimā paṭipadā[1];Sansekerta:madhyamā-pratipad) adalah ajaran Agama Buddha akan ketidak-kerasan.[1]
Lebih jelas, dalam Kitab Suci Pali Ajaran Theravada, Jalan Tengah menjelaskan jalur menuju Nirwana yang ditempuh Sang Buddha yang lebih sederhana mengenai kegemaran hawa nafsu, penyiksaan diri dan menuju kepada pelaksanaan kebijaksanaa, pengembahanga moral dan mental. Dalam beberapa sutta lain baik dalam Ajaran Theravada, Mahayana dan Vajrayana, Jalan Tengah menunjuk kepada sebuah konsep, seperti yang dituliskan dalam Kitab Suci, akan pengetahuan langsung yang melampaui suatu pemahaman yang sepertinya berlawanan dengan pendapat mengenai keberadaan.[2]
Ajaran Theravada
Dalam Kitab Suci Pali Agama Buddha - Ajaran Theravada, kalimat "jalan tengah" dianggap berasal dari Sang Buddha sendiri dalam penjelasannya akan Jalan Utama Berunsur Delapan sebagai sebuah jalan antara pengajaran yang keras dan lembut. Naskah berbahasa Pali juga menggunakan kalimat "jalan tengah" guna menerangkan ajaran Sang Buddha akan hukum sebab musabab sebagai sebuah pandangan akan pendapat keras mengenai keabadian dan ketidak-adaan (nihilisme).
Jalan Utama Berunsur Delapan
Dalam Tipitaka, kata "Jalan Tengah" (Pali:majjhimā paṭipadā) disebut pertama kali oleh Sang Buddha pada khotbah pertamanya, Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56.11).
Dua hal yang berlebihan (extrim) ini, O, para Bhikkhu, tidak patut dijalankan oleh mereka yang telah meninggalkan rumah untuk menempuh kehidupan tak berkeluarga.
Menuruti kesenangan hawa nafsu yang rendah (kāmasukhallikānuyoga), yang tidak berharga dan tidak berfaedah, biadab, duniawi; atau melakukan penyiksaan diri (attakilamathānuyoga), yang menyakitkan, tidak berharga dan tidak berfaedah.
Setelah menghindari kedua hal yang berlebih-lebihan ini, O, para Bhikkhu, JALAN TENGAH (MAJJHIMA PATIPADA) yang telah sempurna diselami oleh Tathagata, yang membukakan Mata Batin (Cakkhu karani), yang menimbulkan Pengetahuan (Ñana karani), yang membawa Ketentraman (Upasamaya), Kemampuan Batin luar biasa (Abhiññaya), Kesadaran Agung (Sambodhaya), Pencapaian Nibbana (Nibbanaya).
Apakah, O para Bhikkhu, JALAN TENGAH yang telah sempurna diselami Tathagata, yang membukakan Mata Batin, yang menimbulkan Pengetahuan, yang membawa Ketentraman, Kemampuan Batin luar biasa, Kesadaran Agung, Pencapaian Nibbana itu?Tiada lain Jalan Utama Berunsur Delapan.
Dengan Demikian, guna pencapaian Nibbana (Pali; Sansekerta : Nirwana), Jalan Tengah mencakup:
- Menjauhkan diri dari nafsu duniawi dan penyiksaan diri
- memupuk kesatuan tindakan "benar" yang dikenal pula dengan sebutan Jalan Utama Berunsur Delapan.
Dalam ceramah ini, Sang Buddha mengenali Jalan Tengah sebagai suatu jalan untuk "mereka yang berkeinginan untuk meninggalkan kehidupan awam" (Pali: pabbajitena) walaupun penganut Agama Buddha biasa dapat pula menerapkan petunjuk ini dalam kehidupan mereka.
In regard to the Buddha's admonition against the "indulgence of sense-pleasures" (Pali: kāmesu kāma-sukha-allika), Ven. Dr. Rewata Dhamma has written:
"...This kind of practice is the concern of so-called 'urban civilization,' which condones sensuous pleasures as the highest attributes of bliss; the greater the pleasures, the greater the happiness....
"The Buddha taught that indulgence in sensuous pleasures is not the practice of enlightened, noble ones (ariyas). Noble ones who live the worldly life do not have attachment to sense objects. For example, in the first stage of an enlightened noble life, the sotāpanna, or stream winner, has not yet overcome lust and passions. Incipient perceptions of the agreeableness of carnal pleasures (sukhasaññā) still linger. Nevertheless, the stream-winner will not feel the need to indulge in worldly pleasures."[6]
Berdasarkan naskah dalam kitab suci, ketika Sang Buddha menyampaikan Dhammacakkappavattana Sutta, Ia menyampaikan hal ini kepada lima orang bhikkhu ((Assajji, Vappa, Bhadiya, Kondañña, Mahanama) yang dahulu bersama-sama melakukan kehidupan pertapaan yang keras. Dengan demikian, hal ini dan juga hubungan yang lebih luas dengan ajaran Shramanic dari India yang memberikan hubungan utama dengan perbedaan pendapat akan penyiksaan diri yang keras (Pali: atta-kilamatha)
Hukum Sebab Musabab
Harvey (2007) writes, "Conditioned Arising is ... a 'Middle Way' which avoids the extremes of 'eternalism' and 'annihilationism': the survival of an eternal self, or the total annihilation of a person at death."[8] In Theravadan literature, this usage of the term "Middle Way" can be found in 5th c. CE Pali commentaries.[9]
Dalam Tipitaka Pali sendiri, pandangan ini tidak disebut dengan jelas sebagai "Jalan Tengah" (majjhimā paṭipadā) tetapi secara harafiah mengacu sebagai "mengajar di tengah" (majjhena dhamma) sebagaimana disebutkan dalama kalimat ini:
In the Pali Canon itself, this view is not explicitly called the "Middle Way" (majjhimā paṭipadā) but is literally referred to as "teaching by the middle" (majjhena dhamma) as in this passage from the Samyutta Nikaya's Kaccāyanagotta Sutta (in English and Pali):
’Segala sesuatu ada’: Ini adalah satu pandangan ekstrim.
‘Segala sesuatu tidak ada‘: ini adalah pandangan ekstrim kedua.
Menghindari kedua pandangan ekstrim ini,
Sang Tathagata mengajarkan Dhamma melalui jalan tengah:
- ‘Sabbaṃ atthī’ti kho, kaccāna, ayameko anto.
- ‘Sabbaṃ natthī’ti ayaṃ dutiyo anto.
- Ete te, kaccāna, ubho ante anupagamma
- majjhena tathāgato dhammaṃ deseti
Dalam khotbah ini, Sang Buddha kemudian menjelaskan asal-mula penyebab penderitaan (dukkha) - dari kebodohoan (avijja) kepada penuaan dan kematian (jaramarana) - dan urutan sebalik-nya yang paralel akan hilangnya faktor-faktor tersebut (lihat pula - Hukum sebab akibat dan dua belas nidana). Dengan demikian, SOTERIOLOGY Mazhab Theravada, tidak terdapat baik diri yang sejati atau ketiadaan sepenuhnya akan 'manusia' pada saat kematian'; hanya terdapat kemunculan atau ketiadaan akan keadaan yang sesungguhnya terjadi. Lihat pula: Anatta
Ajaran Mahayana
Dalam Ajaran Mahayana, mazhab Madhyama ("Jalan Tengah") mengumpamakan sebuah "jalan tengah" antara pengakuan metafisik bahwa sesuatu sesungguhnya adalah ada atau tidak ada.
Dalam mazhab Tendai, "jalan tengah" merujuk kepada perpaduan pengertian bahwa segala sesuatu adalah "hampa" Dan pemikiran sebaliknya bahwa segala sesuatu mempunyai keberadaan yang fenomenal.
Lihat pula
Referensi
- ^ a b Kohn (1991), p. 143. Lihat pula versi Pali dari Dhammacakkappavattana Sutta (tersedia online pada at SLTP, n.d.-b, sutta 12.2.1) dimana kalimat majjhimā patipadā digunakan berulang-ulang.
- ^ (Inggris)David Kalupahana, Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna. Motilal Banarsidass, 2006, page 1. "Two aspects of the Buddha's teachings, the philosophical and the practical, which are mutually dependent, are clearly enunciated in two discourses, the Kaccaayanagotta-sutta and the Dhammacakkappavattana-sutta, both of which are held in high esteem by almost all schools of Buddhism in spite of their sectarian rivalries. The Kaccaayanagotta-sutta, quoted by almost all the major schools of Buddhism, deals with the philosophical "middle path", placed against the backdrop of two absolutistic theories in Indian philosophy, namely, permanent existence (atthitaa) propounded in the early Upanishads and nihilistic non-existence (natthitaa) suggested by the Materialists."
- ^ Dhammacakkappavattana Sutta - Samyutta Nikaya 56.11 - yang merupakan khotbah pertama Sang Buddha, setelah mencapai pencerahan sempurna, dihadapan lima orang bhikkhu ((Assajji, Vappa, Bhadiya, Kondañña, Mahanama)