Suku Melayu Riau

sub-etnik Melayu di Riau dan Kepulauan Riau
Revisi sejak 10 Oktober 2023 15.20 oleh 182.3.71.200 (bicara) (Perbaikan tata bahasa)

Suku Melayu Riau atau Melayu Riau (abjad Jawi: ملايو رياو) adalah salah satu sub-suku Melayu yang berasal dari daerah Riau dan Kepulauan Riau. Wilayah suku Melayu Riau yang utama adalah di daerah pantai timur Riau, sebagian besar di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Kota Pekanbaru yang merupakan basis kerajaan Riau pada masa lalu. Suku Melayu Riau terkenal dengan Sastra Melayu Riau yang diaplikasikan dengan baik dalam pantun, syair, gurindam, hikayat, karmina, seloka, puisi-puisi tradisional, peribahasa lokal, mantra-mantra, dan kisah-kisah roman, serta bentuk-bentuk ekspresi lainnya yang mereka gunakan untuk mengungkapkan perasaan mereka.

Melayu Riau
ملايو رياو
Daerah dengan populasi signifikan
 Riau
 Kepulauan Riau
 Sumatera Utara
 Sumatera Selatan
 Jambi
 Bengkulu
 Kepulauan Bangka Belitung
 Indonesia2,610,890
 Malaysia116,000
Bahasa
Melayu Riau, Indonesia
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Melayu • Minangkabau

Etimologi

Melayu (Aksara Tionghoa Hanzi: 末羅瑜國; Pinyin: Mòluóyú Guó), berasal dari kata Malaya dvipa dari kitab Hindu Purana yang berarti tanah yang dikelilingi air yang merujuk pada sebuah Kerajaan Melayu Kuno di Jambi pada abad ke-7.[1][2]

Nama riau sendiri ada tiga pendapat. Pertama, dari kata Portugis, rio berarti sungai.[3][4] Pada tahun 1514, terdapat sebuah ekspedisi militer Portugis yang menelusuri Sungai Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut, sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang mengundurkan diri menuju Kampar setelah kejatuhan Kesultanan Malaka.[5][6] Pendapat kedua riau berasal dari kata riahi yang berarti air laut, yang diduga berasal dari kitab Seribu Satu Malam.[4]

Pendapat ketiga diangkat dari kata rioh atau riuh berasal dari penamaan rakyat setempat yang berarti ramai, Hiruk pikuk orang bekerja, yang mulai dikenal sejak Raja kecik memindahkan pusat kerajaan melayu dari johor ke ulu Riau pada tahun 1719.[4] Nama ini dipakai sebagai salah satu dari empat negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor dan pahang. Namun, akibat dari Perjanjian London tahun 1824 antara Belanda dengan Inggris berdampak pada terbelahnya kerajaan ini menjadi dua. Belahan Johor-Pahang berada di bawah pengaruh Inggris, Sedangkan belahan Riau-Lingga berada di bawah pengaruh Belanda.[7][8]

Asal usul

Riau diduga telah dihuni sejak 10.000.000-14.000.000 SM. Kesimpulan ini diambil setelah penemuan alat-alat dari zaman Pleistosen di daerah aliran sungai Sungai Sengingi di Kabupaten Kuantan Singingi pada Agustus 2009. Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut dan serpih. Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu. Diduga manusia pengguna alat-alat yang ditemukan di Riau adalah pithecanthropus erectus seperti yang pernah ditemukan di Jawa Tengah.[9][10]

 
Candi Muara Takus berlokasi di Kabupaten Kampar merupakan bukti peninggalan peradaban Kerajaan Melayu (sebuah kerajaan berpusat di timur Sumatra yang merupakan asal-usul terbentuknya suku Melayu).

Imperium Melayu Riau juga merupakan penyambung warisan Kedatuan Sriwijaya yang berbasis agama Buddha. Ini bukti ditemukannya Candi Muara Takus yang diduga merupakan pusat pemerintahan Sriwijaya, yang berasitektur menyerupai candi-candi yang ada di India. Selain itu, George Cœdès juga menemukan persamaan struktur pemerintahan Sriwijaya dengan kesultanan-kesultanan melayu abad ke-15.[11] Kerajaan Melayu dimulai dari Kerajaan Bintan-Tumasik abad ke-12, disusul dengan periode Kesultanan-kesultanan melayu Islam.

Teks terawal yang membahas mengenai dunia melayu adalah Sulalatus Salatin atau yang dikenal sebagai Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, pada tahun 1612[12]. Menurut kitab tersebut, Bukit Seguntang adalah tempat dimana datangnya Sang Sapurba yang dimana keturunannya tersebar di alam melayu. Sang Mutiara menjadi raja di Tanjungpura dan Sang Nila Utama menjadi raja di Bintan sebelum akhirnya pindah ke Singapura.[13]

Agama

"Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah Nabi".[14]

— Tonel, 1920.

Masyarakat melayu pada umumya identik dengan Islam yang menjadi fondasi dari sumber adat istiadatnya. Oleh karena itu, adat istiadat orang Melayu Riau bersendikan syarak dan syarak bersendikan Kitabullah.[15][16]

Sebelum kedatangan Islam ke nusantara, banyak bagian wilayah berada di bawah Kerajaan Sriwijaya antara abad ke-7 sampai abad ke-14 yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha.[17] Pada masa itu Islam sudah diperkenalkan ketika Maharaja Sriwijaya mengirimkan surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berisi permintaan untuk mengirimkan utusan untuk menjelaskan hukum Islam kepadanya.[18]

Pada abad ke-12, masuknya Islam ke nusantara dibawa melalui Samudera Pasai yang telah terlebih dahulu dan diakui sebagai perintis kerajaan Islam di nusantara pada zamannya.[19]

Proses ekspansi Islam terjadi melalui perdagangan, pernikahan dan kegiatan misionaris ulama Muslim. Faktor-faktor ini menyebabkan penyebaran damai dan pertumbuhan pengaruh Islam di seluruh alam melayu. Faktor kuat diterimanya Islam oleh masyarakat melayu adalah aspek kesetaraan manusia, yang menurut ideologi masyarakat kala itu menganut sistem kasta dalam Hindu, dimana masyarakat kasta kelas bawah lebih rendah dari anggota kasta yang lebih tinggi.[20]

Masa keemasan ketika Malaka menjadi sebuah kesultanan Islam. Banyak elemen dari hukum Islam, termasuk ilmu politik dan administrasi dimasukkan ke dalam hukum Malaka, terutama Hukum Qanun Malaka. Penguasa Melaka mendapat gelar 'Sultan' dan bertanggung jawab terhadap agama Islam. Pada abad-15 Islam menyebar dan berkembang ke seluruh wilayah Melaka termasuk seluruh Semenanjung Malaya, Kepulauan Riau, Bintan, Lingga dan beberapa wilayah di pesisir timur Sumatra, yaitu Jambi, Bengkalis, Siak, Rokan, Indragiri, Kampar, dan Kuantan. Malaka dianggap sebagai katalisator dalam ekspansi Islam ke daerah lainnya seperti Palembang, Sumatra, Patani di Thailand selatan, Utara Kalimantan, Brunei dan Mindanao.[21]

Disisi lain, orang Sakai dan Talang Mamak masih menganut animisme. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak penduduk Sakai dan Talang Mamak yang sudah memeluk agama Islam. Meski begitu, peralihan kepercayaan itu tak memupus kebiasaan mereka mempraktikkan ajaran nenek moyang mereka.

Bahasa

 
Raja Ali Haji, seorang pujangga sekaligus peletak dasar pertama tata bahasa Melayu lewat kitab Pedoman Bahasa yang menjadi kamus eka bahasa pertama di Nusantara.

Bahasa Melayu Riau mempunyai sejarah yang cukup panjang, karena Sejarah tersebut di mulai pada zaman Kerajaan Sriwijaya, saat itu Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa perdagangan di Kepulauan Nusantara. Awalnya pusat kerajaan berada di Malaka kemudian pindah ke Johor, dan akhirnya pindah ke Riau. Sejak itulah Riau mendapat predikat sebagai pusat kerajaan Melayu tersebut. Karena itu bahasa Melayu zaman Malaka terkenal dengan Melayu Malaka, bahasa Melayu zaman Johor terkenal dengan Melayu Johor dan bahasa Melayu zaman Riau terkenal dengan bahasa Melayu Riau.

Bahasa Melayu Riau sudah dibina sedemikian rupa oleh Raja Ali Haji, sehingga bahasa ini sudah memiliki standar pada zamannya dan juga sudah banyak dipublikasikan, berupa; buku-buku sastra, buku-buku sejarah dan agama pada era sastra Melayu klasik pada abad-19.

Dialek

Suku Melayu Riau menuturkan bahasa Melayu yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu dialek Riau Daratan dan dialek Riau Kepulauan. Dialek Riau Daratan mempunyai ciri-ciri fonologis yang berdekatan dengan bahasa Melayu Minangkabau, sedangkan dialek Riau Kepulauan mempunyai ciri fonologis yang berdekatan dengan bahasa Melayu Malaysia di daerah Selangor, Johor dan Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur.

Di samping berbagai ciri khas lain, kedua subdialek ini ditandai dengan kata-kata yang dalam bahasa Indonesia merupakan kata-kata yang berakhir dengan vokal /a/; pada subdialek Daratan diucapkan dengan vokal /o/, sedang pada subdialek Kepulauan diucapkan /e/lemah. Beberapa contohnya antara lain: Penyebutan kata /bila/, /tiga/, /kata/ dalam Bahasa Indonesia akan menjadi demikian dalam Bahasa Riau Daratan: /bilo/, /tigo/, /kato/. Sementara dalam Bahasa Riau Kepulauan menjadi: /bile/, /tige/, /kate/.

Tulisan

Abjad Jawi (جاوي), juga dikenal sebagai Abjad Arab-Melayu, adalah abjad Arab yang diubah untuk menuliskan Bahasa Melayu dengan kata lain, aksara Jawi adalah aksara Arab yang dimelayukan. Abjad ini digunakan sebagai salah satu dari tulisan resmi di Brunei, dan juga di Malaysia, Indonesia, Provinsi Pattani di Thailand dan Singapura untuk keperluan religius dan pendidikan.

Kebudayaan

Sistem kekerabatan

Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru yang biasanya lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka punya anak pertama. Karena itu pola menetap mereka boleh dikatakan neolokal. Keluarga inti yang mereka sebut kelamin umumnya mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip garis keturunan atau kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral.

Hubungan kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama dipanggil long atau sulung, anak kedua ngah/ongah, dibawahnya dipanggil cik, yang bungsu dipanggil cu/ucu. Biasanya panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang bersangkutan, misalnya cik itam jika cik itu 'berkulit' hitam, ngah utih jika Ngah itu 'berkulit' putih, cu andak jika Ucu itu orangnya pendek, cik unggal jika si buyung itu anak tunggal dan sebagainya. Tetapi terkadang bila menyapa orang yang tidak dikenal atau yang baru mereka kenal, mereka cukup memanggil dengan sapaan abang, akak, dek, atau nak.

Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal keturunan yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan kekerabatan yang patrilineal sifatnya. Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan Sumatra sebagian menganut paham suku yang matrilineal. Ada pula yang menyebut suku dengan hinduk atau cikal bakal. Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka penghulu langsung pula menjadi Datuk Penghulu Kampung atau Kepala Kampung. Setiap penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua-tua dan monti. Di bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib.

Berkas:Rumah Melayu Lipat Kajang Riau.jpeg
Rumah Melayu Riau, Lipat Kajang.

Rumah tradisional

Dalam masyarakat Melayu tradisional, rumah merupakan bangunan utuh yang dapat dijadikan tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, tempat berlindung bagi siapa saja yang memerlukan. Oleh sebab itu, rumah Melayu tradisional umumya berukuran besar. Selain berukuran besar, rumah Melayu juga selalu berbentuk panggung atau rumah berkolong, dengan menghadap ke arah matahari terbit.

 
Rumah Melayu Riau, Atap Lontiok/Lentik.

Jenis rumah Melayu meliputi rumah kediaman, rumah balai, rumah ibadah dan rumah penyimpanan. Penamaan itu disesuikan dengan fungsi dari setiap bangunan. Secara umum ada lima jenis rumah adat Melayu Riau yaitu:

  • Rumah Melayu Atap Lontik.
  • Rumah Melayu Atap Lipat Kajang
  • Rumah Melayu Atap Lipat Pandan

Pakaian tradisional

Lihat pula: Baju Kurung

Baju Melayu adalah pakaian umum bagi lelaki yang digunakan secara umum oleh orang Melayu dan rumpunnya di nusantara, khususnya Riau. Ada dua jenis yang pertama adalah baju kemeja lengan panjang yang memiliki kerah kaku mengangkat dikenal sebagai kerah Cekak Musang. Sepasang baju dan celana biasanya yang terbuat dari jenis yang kain yang sama yakni sutra, katun, atau campuran polyester dan katun. Kain samping merupakan kain pelengkap yang sering digunakan untuk dipadu padankan dengan Baju Melayu, baik terbuat dari kain songket atau kain sarung. Sebuah tutup kepala berwarna hitam yang biasa dikenal sebagai songkok atau peci dipakai untuk menyempurnakan pakaian tersebut.

Sedangkan bagi perempuan adalah baju Kurung berbentuk gaun panjang longgar, yang terdiri dari rok dan blus. Biasanya bagian rok terbuat dari kain panjang berbahan songket, sarung atau batik dengan lipatan di satu sisi.

Masakan khas

Berkas:Nasi lemak100.jpg
Hidangan Nasi Lemak tradisional lengkap bersama belacan, gulai ayam, telur rebus, kacang goreng dan sambal teri.

Masakan tradisional Melayu Riau memiliki banyak persamaan dengan masakan Rumpun Melayu lainnya dan Sumatra pada umumnya yang banyak menggunakan rempah dan santan untuk menghasilkan makanan gulai yang berbumbu, gurih, berlemak, dan kental hingga berwarna kemerahan dan kuning tua. Kebanyakan menu masakan memakai bahan dasar ikan, dari patin, lomek, baung, teri, tengiri. pari, serta udang-udangan, dan sering kali memakai daging kerbau atau lembu. Bumbu tambahan yang umum digunakan adalah belacan. Hampir setiap masakan Melayu disajikan bersama nasi putih atau dengan nasi lemak dan biasanya disantap menggunakan tangan.

Referensi

  1. ^ Munoz, Paul Michel(2007).Early Kingdoms of Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet, Csi. ISBN 978-981-4155-67-0
  2. ^ M Surhone, L., T Tennoe, M., & F Henssonow, S. (2011). Tamil Place Names in Malaysia. Betascript Publishing. ISBN 9786135287486
  3. ^ Suwardi MS (1991). Budaya Melayu dalam perjalanannya menuju masa depan. Pekanbaru: Yayasan Penerbit MSI-Riau.
  4. ^ a b c "Kondisi Sosial Budaya Provinsi Riau". Sekretariat Negara, diakses 17 Oktober 2013.
  5. ^ Schnitger, F. M., Fürer-Haimendorf, C. ., & Tichelman, G. L. (1939). Forgotten kingdoms in Sumatra. Leiden: E. J. Brill.
  6. ^ Abdul Samad Ahmad (1979), Sulalatus Salatin, Dewan Bahasa dan Pustaka, ISBN 983-62-5601-6.
  7. ^ Mills, L. A. (2003). British Malaya 1824–67 (p. 86– 87). Selangor, Malaysia: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. Call no.: RSEA 959.5 MIL.
  8. ^ Brown, I. (2009). The territories of Indonesia. London: Routledge. ISBN 978-1-85743-215-2
  9. ^ Tanggal tidak diketahui. "Artefak Masa Prasejarah Ditemukan di Riau". ANTARA, diakses 17 Oktober 2013.
  10. ^ 13 Agustus 2009. "Fosil Dari Zaman Prasejarah Ditemukan di Riau". TvOne, diakses 17 Oktober 2013.
  11. ^ Cœdès, G., Damais, L., Kulke, H., & Manguin, P. (2014). Kedatuan Sriwijaya: Kajian sumber prasasti dan arkeologi (Edisi kedua. ed.). Jakarta: École française d'Extrême-Orient. ISBN 978-602-9402-52-0
  12. ^ Mutalib, Hussin, (1977). Islamic Malay Polity in Southeast Asia,” Islamic Civilisation in the Malay World, (ed.) Mohd. Taib Osman, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, pp: 1-48.
  13. ^ Leyden, John (1821), Malay Annals (translated from the Malay language), Longman, Hurst, Rees, Orme and Brown.
  14. ^ Tonel, T. (1920). Adat-istiadat Melayu. Naskah tulisan tangan huruf Melayu Arab, Pelalawan.
  15. ^ Prins, J. (1954). Adat en Islamietische Plichtenleer In Indonesia. Bandung: W. Van Hoeve s‘Gravenhage.
  16. ^ Wan Ghalib, (1994). Serbaneka hukum adat daerah Riau. Riau: Lembaga adat Riau.
  17. ^ Cœdès George and Damais Louis Charles, (1992). Sriwijaya: History, Religion and Language of an Early Malay Polity, Kuala Lumpur: The Malaysian Branch Royal Asiatic Society, pp: viii.
  18. ^ Azra, Azyumardi (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (dalam bahasa Indonesia). Prenada Media. hlm. 27–28. ISBN 979-3465-46-8
  19. ^ Hamka, (1954). Sejarah Umat Islam, Singapore: Pustaka.
  20. ^ Wertheim, W.F, (1964). Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, Haque: W. Van Hoeve, pp: 170.
  21. ^ Mutalib, Hussin, (1977). Islamic Malay Polity in Southeast Asia, Islamic Civilisation in the Malay World, (ed.) Mohd. Taib Osman, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, pp: 1-48.