Jenderal Polisi (Purn.) Dr. Drs. Dibyo Widodo (26 Mei 1946 – 15 Maret 2012) adalah perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) antara 1996 dan 1998. Di masa kepemimpinannya digelar pemilihan umum 1997 dan terjadi kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan peralihan kekuasaan kepada wakilnya, B. J. Habibie.

Dibyo Widodo
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-13
Masa jabatan
15 Maret 1996 – 28 Juni 1998
PresidenSoeharto
B. J. Habibie
Informasi pribadi
Lahir(1946-05-26)26 Mei 1946
Purwokerto, Jawa Tengah
Meninggal15 Maret 2012(2012-03-15) (umur 65)
Singapura Singapura
KebangsaanIndonesia
AlmamaterAKABRI (1968)
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang Kepolisian Republik Indonesia
Masa dinas1968 - 1998
Pangkat Jenderal Polisi
SatuanBrigade Mobil
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Karier

Dibyo Widodo memulai kariernya di kepolisian sejak tanggal 1 Desember 1968 dengan pangkat Inspektur Polisi tingkat II. Mengawali tugas sebagai Perwira Operasi di Komres 1012 Surabaya, kemudian mempersunting Dewi Poernomo Aryanti sebagai isterinya, pasangan tersebut kini dikarunia tiga orang anak, satu diantaranya seorang puteri. Sebagai sosok yang menyusuri kariernya mulai dari jenjang bawah, putra pertama pasangan Drs Soekardi dan Toerniati Sukardi ini pernah menduduki 32 jabatan sebelum sampai puncak kariernya sebagai Kapolri. Hal ini dilalui dengan ketekunan menapaki berbagai jenjang pendidikan maupun kursus dan penataran. Pendidikan umumnya sendiri adalah sampai tingkat SMA pada tahun 1965 yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di AKABRI Bagian Kepolisian (1968), Bakaloreat PTIK (1972), Doktoral PTIK (1975), Sesko ABRI Bagpol (1981), Lemhannas (1993).

Penyandang brevet Para Brimob Polri, Selam Polri, Selam Angkatan Laut, dan Pandu Udara dari Kopassus Angkatan Darat ini, punya komitmen untuk meningkatkan operasional kepolisian dalam memberantas kejahatan dengan tetap memperhatikan garis-garis kebijakan pendahulunya. Catatan prestasi operasionalnya cukup menonjol ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur, namun sebenarnya lonjakan kariernya tercatat setelah menyelesaikan tugas sebagai Kapolres Deli Serdang tahun 1986 dan kemudian diangkat sebagai ADC Presiden RI[1] sampai tahun 1992. Berturut-turut setelah itu ia menjabat sebagai Irpolda Sumut, Wakapolda Nusa Tenggara, Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya clan kemudian Kapolri.

Semasa menjabat Kapolda Metro Jaya banyak langkah-langkah taktis dilakukan maupun tindakan tegas yang acapkali membuat berdebar anak buahnya karena sikapnya yang menindak segala bentuk penyimpangan di lingkungan Polri maupun dalam menghadapi gangguan kamtibmas di ibu kota tak segan-segan bertindak keras tanpa pandang bulu. Untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat muncullah gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi Cepat atau lebih dikenal dengan singkatan URC, dimana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat satuan Polri segera tiba di tempat kejadian.

Satuan khusus ini didukung oleh kendaraan roda empat dan roda dua dengan anggota yang terlatih dan handal sehingga mampu menjadi tulang punggung kesatuan Polri dalam mengantisipasi setiap gangguan kamtibmas sehingga masyarakat benar-benar merasa aman dan tenteram. Kehadiran URC di TKP dengan cepat pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan pita kuning bertanda "DILARANG MELINTAS GARIS POLISI" sehingga semua data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh orang lain. Hal ini memudahkan petugas Laboratorium Forensik dalam mengidentifikasi setiap bukti yang ada, dan dengan cepat pula dianalisis untuk mengungkap kejadian guna pengusutan selanjutnya.

Pada masa kepemimpinannya, Polda Metro jaya benar-benar dibuat tidak pernah tidur dan seolah-olah setiap jengkal tanah di wilayah Jabotabek ini selalu terdengar langkah anggota Polri berjalan seirama detak jarum jam. Sebelum menduduki tampuk pimpinan tertinggi Polri, jauh-jauh hari masyarakat telah meramalkan bahwa nanti Jenderal ini pasti segera berpindah kantor dari Semanggi ke Trunojoyo. Namun semua orang juga tak mengira akan secepat itu penyerahan tongkat komando dari Jenderal Polisi Drs. Banurusman kepada Letjen.Pol. Drs. Dibyo Widodo, sehingga masyarakat pun kembali dibuat seolah seperti kejadian yang tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lengkap inilah Jenderal Dibyo Widodo mampu melangkah ke jenjang tertinggi di lingkungan Polri.

Meninggal

Dibyo Widodo meninggal dunia akibat serangan jantung di Singapura pada tanggal 15 Maret 2012 dalam usia 65 tahun, dengan sebelumnya mengalami koma selama 2 hari.[2] Jenazah beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMPNU) Kalibata, Jakarta Selatan.

Penghargaan

Tanda Jasa

Ia mendapat tanda kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;[3]

 
     
     
     
     
     
Baris ke-1 Bintang Mahaputera Adipradana (6 Agustus 1998)[4]
Baris ke-2 Bintang Dharma Bintang Bhayangkara Utama Bintang Yudha Dharma Pratama
Baris ke-3 Bintang Bhayangkara Pratama Bintang Yudha Dharma Nararya Bintang Bhayangkara Nararya
Baris ke-4 Satyalancana Kesetiaan 24 Tahun Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun Satyalancana Kesetiaan 8 Tahun
Baris ke-5 Satyalancana Wira Karya Satyalancana Seroja Satyalancana Dwidya Sistha
Baris ke-6 Satyalancana Penegak Pingat Panglima Gagah Pasukan Polis (P.G.P.P.) - Malaysia (1996) Pingat Jasa Gemilang (P.J.G.) - Singapura (4 Desember 1996)

Lainnya

  • Lencana Ksatria Bhakti Husada Aditya
  • Lencana Manggala Karya Kencana

Referensi

Jabatan kepolisian
Didahului oleh:
Banurusman Astrosemitro
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
1996–1998
Diteruskan oleh:
Roesmanhadi
Didahului oleh:
Kolonel Pol. Kunarto
Ajudan Presiden RI (Polri)
1986 - 1992
Diteruskan oleh:
Kolonel Pol