Markobar Pernikahan Adat Mandailing
Markobar adalah sebuah kegiatan yang yang merupakan salah satu teradisi lisan yang di lakukan di Mandialing Natal, Markobar sendiri memiliki artian "berbicara' mangecek jika dalam bahasa Mandailing. Berbicara yang dimaksud yaitu berbicara dengan menggunakan keterampilan saat menyampaikannya, ketrampilan ini mengacu pada penyampaian ide, gagasan, dan tujuan tertentu dengan kata-kata dan kalimat Pernikahan biasannya disebut juga dengan orja siria on yang berarti pesta pernikahan [1]
Dalam tradisi perkawinan adat masyarakat Angkola-Mandailing, terdapat tiga jenis hata markobar yang melibatkan peran yang berbeda. Ketiga jenis tersebut adalah boru tulang (manyunduti), marsapa boru (pabolak pinggan panganan), dan mangalojongkon (langka mangkapoli ama ina, na mangkopoli na tobang na toras). Dalam konteks buku ini, hata markobar yang umumnya digunakan adalah marsapa boru. Perbedaannya, markobar boru tulang cenderung lebih singkat karena seharusnya hanya melibatkan pengambilan boru tulang, sementara markobar mangalojongkon lebih panjang karena melibatkan proses permintaan maaf atas kesalahan dan pelanggaran adat, sesuai dengan pepatah "na manunda sapanjang undang, na manangko sapanjang adat."
Dalam tradisi markobar, daun sirih, yang disebut burangir, memegang peran penting. Daun sirih memiliki makna yang mendalam dalam masyarakat adat Angkola-Mandailing. Setiap awal pembicaraan dalam upacara adat selalu dimulai dengan penyajian daun sirih, yang dikenal sebagai manyurdu burangir. Daun sirih tersebut didampingi gambir (sontang), kapur (soda), tembakau (timbako) dan pinang (pining) yang ditempatkan di atas wadah (partaganan). Di atas partaganan tersebut terdapat lima benda, yang dalam perumpaan masyarakat Angkola-Mandailing "opat ganji lima gonop" (empat ganjil lima genap). Disebut empat ganjil artinya empat benda kurang dari syarat. Apabila sudah ada lima gonop (sirih, gambir, kapur, tembakau, dan pinang) artinya sudah lengkap dan memenuhi syarat.
Lima benda yang terdapat di atas partaganan disebut napuran. Napuran tersebut yang akan disuguhkan pada tokoh adat/pihak yang dituakan (hatobangon), mora dan ketua adat (harajaon) setiap kali memulai upacara adat perkawinan (horja) Hasuhuton/suhut (yang memiliki hajat/pesta) meminta izin terlebih dahulu kepada ketua adat (harajaon). Setelah mendapat izin. burangir/napuran boleh disuguhkan. Pihak anak baru bertugas menyuguhkan burangir. Ketika burangir disuguhkan, harajaon, mora dan hatobangan cukup meletakkan telapak tangan pada partaganan tersebut. Hal itu sudah menandakan burangir/napuran diterima di sidang adat. Setelah itu. yang punya hajat mengutarakan maksud dan tujuannya (markobar)
Referensi
- ^ Hasibuan, Anisah (2022). "TRADISI MARKOBAR DALAM KAJIAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DI KABUPATEN MANDAILING NATAL". SIWAYANG JOURNAL. 1 (3). doi:https://doi.org/10.54443/siwayang.v1i3.391 Periksa nilai
|doi=
(bantuan). line feed character di|title=
pada posisi 48 (bantuan)