Suku Mongondow

kelompok etnik yang berasal dari bagian timur laut pulau Sulawesi di Indonesia

Suku Mongondow (Jawi: سوكو موڠوندو) adalah sebuah etnis di Indonesia. Dahulu suku ini memiliki kerajaan yang bernama Bolaang Mongondow, yang kemudian pada tahun 1958 secara resmi bergabung ke dalam Indonesia serta menjadi Kabupaten Bolaang Mongondow. Suku ini mayoritas bermukim di Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Suku Mongondow
سوكو موڠوندو
Daerah dengan populasi signifikan
Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Filipina
Bahasa
Mongondow, Melayu Manado, Indonesia, Sangir, Kaidipang, Lolak, Ponosakan, Bolango, Bintauna
Agama
Islam, Protestan, Katolik dan Hindu [1]

Etimologi

Nama Bolaang berasal dari kata "Bolango" atau "Balangon" yang berarti Laut. "Bolaang" atau "Golaang" dapat pula berarti menjadi Terang atau Terbuka dan Tidak gelap, namun secara istilah kata bolaang atau bolang adalah berarti perkampungan yang ada di laut sedangkan Mongondow adalah perkampungan yang ada di hutan atau gunung.[2]

Sejarah

Awal hingga Abad 8-9

Orang-orang Suku Mongondow mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari pasangan Gumalangit dan Tendeduata serta pasangan Tumotoiboko dan Tumotoibokat, yang tinggal di Gunung Komasan, yang sekarang masuk ke dalam Bintauna. Masing-masing dari pasangan ini menurunkan keturunan yang kemudian menjadi suku Mongondow. Jumlah masyarakat Suku Mongondow yang semakin lama semakin bertambah banyak membuat penyebaran populasi mereka kian meluas, hingga ke daerah-daerah bukan tempat asal mereka, yaitu: Tudu (desa) di Lombagin, Buntalo, Pondoli’, Ginolantungan, Tudu di Passi, Tudu di Lolayan, Tudu di Sia’, Tudu di Bumbungon, Mahag, Siniow, dan tudu-tudu lain sebagainya. Mata pencaharian suku Mongondow pada masa itu adalah berburu hewan, menangkap ikan, mengolah sagu dan mencari umbi di hutan. Pada umumnya mereka belum mengenal cara bercocok tanam.[3] Merupakan kepercayaan dulu agama seperti islam

Perkembangan

Pada abad 13 para Bogani (pemimpin kelompok masyarakat Mongondow yang menduduki wilayah tertentu) bersatu membentuk satu pemerintahan kerajaan bagi suku mongondow yang bernama Bolaang. Bolaang sendiri bermakna lautan (balangon) yang menandakan Kerajaan ini sebagai kerajaan maritim. hasil musyawarah (bakid) dari para Bogani di sepakati mengangkat Mokodoludut sebagai raja (Punu')Pertama kerajaan Bolaang. pada zaman Raja Salmon Manoppo (1735-1764) terjadi pertentangan yang sengit dengan pihak belanda dan berakhir raja salmon di tawan dan di buang ke Tanjung harapan (afrika selatan). kejadian ini memicu protes dan huru hara besar yang di lakukan oleh suku mongondow yang adalah empunya kerajaan Bolaang. akhirya belanda pun mengembalikan Raja Bolaang ini. dan sejak itulah nama Kerajaan Bolaang di tambahkan dengan nama suku empunya kerajaan Bolaang ini hingga menjadi Bolaang Mongondow sampai sekarang. Kerajaan Bolaang Mongondow resmi berakhir pada tanggal 1 juli 1950 saat Paduka Raja Tuang Henny Yusuf Cornelius Manoppo mengundurkan diri dan menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. sekarang ini mongondow di maknai sebagai daerah pegunungan dan Bolaang sebagai daerah Pesisir. Saat O.N Mokoagow menjadi bupati Bolaang Mongondow (thn 1970-an)di buat Desa baru dengan nama Mongondow di Kotamobagu hasil pemekaran dari Desa Motoboi

Masa kerajaan

Pada abad ke 13 para bogani (pemimpin kelompok masyarakat Mongondow yang menduduki wilayah tertentu) bersatu dan mengangkat Mokodoludut seorang Bogani Molantud sebagai Raja yang pada waktu itu raja dalam bahasa lokal adalah PUNU'.Pada abad 16 setelah kepergian Raja Mokodompit ke Siau dalam beberapa tahun Kerajaan Bolaang Mongondow Kosong Kekuasaan apalagi pangeran Dodi Mokoagow kandidat terkuat untuk calon Raja pengganti Mokodompit tewas terbunuh dalam suatu insiden dengan suku alifuru di daerah pedalaman manado. Dimasa ini Pemerintahan di ambil alih oleh seorang Bogani Mulantud yang bernama Dou', setelah Putra raja Mokodompit yang tinggal di Siau telah dewasa, Dia dilantik sebagai raja ke 7 Kerajaan Bolaang Mongondow, Abo'(pangeran)ini bernama Tadohe /sadohe, ibunya adalah Putri dari kerajaan Siau. di Zamannya lah sistem Pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow di tata Kembali. Pada tahun 1901, secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang didalamnya termasuk landschap Bintauna, Bolaang Uki, Kaidipang Besar dari Afdeling Manado.

Masuknya Agama dan Pendidikan

 
Wanita mongondow pada tahun 1930-an

Raja Jakobus Manoppo ialah raja Bolaang Mongondow yang pertama mendapatkan pendidikan di Hoofden School Ternate, karena ia telah dibawa oleh pedagang V.O.C. sesudah melalui persetujuan ayahnya raja Loloda Mokoagow (datu Binangkang). Jakobus Manoppo adalah raja ke-10 yang memerintah pada tahun 1691-1720, yang diangkat oleh V.O.C., walaupun pengangkatannya sebagai raja tidak direstui oleh ayahnya. Jakobus Manoppo pada saat dilantik menjadi raja beragama Roma Katolik.

Pada zaman pemerintahan raja Cornelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Palu yang dibawa oleh Syarif Aloewi atau Syarif Alwi Al-gaus (Aloewi) adalah ejaan bahasa indonesia lama dan ejaan penulisan marga Al-gaus adalah Alghout atau Alghawht dari Al Hasani, yang kawin dengan putri raja bernama Buwa Sarah itu tahun 1866 dan mempunyai anak bernama Syarif Hasan bin Alwi Algaus yang makam nya berada di desa Langgagon. Sebagian anak cucu nya membawa marga dari ibu yaitu Makalalag dan sebagian membawa Al gaus seperti Husin Ut Algaus (makam di desa Ayong) bin Husin Hasan (Makam di Mogolaing) bin Syarif Hasan (Makam di desa Langgagon) bin Syarif Alwi Algaus Dan data nya masih tersimpan di sejarah islam di teluk Palu Karena keluarga kerajaan sebelum raja Cornelius Manoppo memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk Bolaang Mongondow memeluk agama Islam juga telah turut memengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat.

  • Over de Vorsten van Bolaang Mongondow 1949
  • Een Mongondowsh verhaaal met vertaling en aanteekeningen 1911
  • De voornaamwoorden in het Bolaang Mongondows
  • Verhaal van een mensch en een slang 1919
  • Spraakkunst van het Bolaang Mongondow 1930
  • Verloven en trouwen in Bolaang Mongondow 1931
  • De plechtigheid "waterscheppen" in Bolaang mongondow 1938
  • Bolaang Mongondowsch Woordenboek 1951;dsb.

Pada tahun 1906 melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W. Dunnebier telah mengusahakan pembukaan beberapa sekolah rakyat yang dikelola oleh zending di beberapa desa di Bolaang Mongondow dengan tiga kelas. Guru-gurunya didatangkan dari Minahasa, antara lain:

  • Di Nanasi, guru J. Rondonuwu dan S. Sondakh
  • Di Nonapan, guru H. Werung dan A. Rembet
  • Di Mariri Lama, guru P. Assa dan Mandagi
  • Di Kotobangon, guru J. Pandegirot dan Tumbelaka
  • Di Moyag, guru F. Tampemawa dan K. Palapa
  • Di Pontodon, guru J. Ngongoloi, M. Tombokan dan W. Tandayu
  • Di Pasi, guru Th. Kawuwung dan W. Wuisan
  • Di Popo Mongondow, guru S. Saroinsong dan J. Mandagi
  • Di Otam, guru J. Kodong dan S. supit
  • Di Motoboi Besar, guru S. Mamesah, A. Kuhu dan K. Angkow
  • Di Kopandakan, guru H. Lumanaw dan P. Kamasi
  • Di Poyowa Kecil, guru D. Matindas dan Gumogar
  • Di Pobundayan, guru Th. Masinambouw dan A. Supit.

Jumlah murid yang tertampug di sekolah-sekolah tersebut adalah 1605 orang (Sejarah Pendidikan daerah Sulawesi Utara oleh Drs.L.Th. Manus dkk).

Pada tahun 1912 di Dumoga juga dibuka sekolah zending dengan guru Jesaya Tumurang. Pada tahun 1926 sekolah-sekolah seperti itu juga dibuka di Tabang, Tungoi, Poigar, Matali dan Lolak. Pada Tahun 1911 didirikan sebuah sekolah berbahasa Belanda di Kotamobagu, Yaitu Holland Inlandshe School (H.I.S) dengan Kepala sekolah Adrian van der Endt.

Disamping sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending, maka pada sekitar tahun 1926 diusahakan pembukaan sekolah-sekolah rakyat yang dikelola oleh Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam (BPPI) yang berpusat di desa Moliow. Guru-gurunya didatangkan dari Yogyakarta seperti antara lain: Mohammad Safii Wirakusumah, Sarwoko, R. Ahmad Hardjodiwirdjo, Sukirman, Sumarjo, Surjopranoto, Muhammad Djazuli Kartawinata dan alin-lain. Juga ditambah dengan Ali Bakhmid dari Manado Usman Hadju dari Gorontalo dan Mohammad Tahir dari Sangir Talaud (Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Utara oleh Drs.L.Th.Manus dkk. 1980).

Perkembangan pendidikan yang dikelola oleh BPPI demikian pesatnya sehingga pada tahun 1931 dibuka sebuah H.I.S berbahasa Belanda di Molinow. Untuk medidik guru-guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah yang dikelola oleh BPPI, maka pada tahun 1937 dibuka lagi sebuah sekolah guru, yaitu Kweekschool di Molinow.

Disamping sekolah-sekolah yang dikelola oleh zending dan BPPI, maka usaha pihak swasta untuk membuka sekolah terlihat antara lain: Particuliere Schakel School yang dibuka oleh A.C. Manoppo. Kemudian sekolah seperti itu dibuka oleh A.E. Lewu, yaitu Neutrale Particuliere School yang berlangsung sampai tahun 1941 sebelum bahas Jepang masuk Indonesia karena perang dunia ke-2. Sebuah sekolah swasta seperti itu juga pernah dibuka oleh Sumual pada tahun 1925, namun tidak berlanjut. Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun, dengan kepala sekolahnya N. Ares.

Kotamobagu sebagai ibu kota kabupaten Bolaang Mongondow, sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu dianggap kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ibu kota ke tempat yang sekarang ini, yaitu Kotamobagu, yang peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas di Bolaang Mongondow tahun 1910-1915.

Kedudukan istana raja di desa Kotobangon, yang sebelumnya pada masa pemerintahan raja Riedel Manoppo berkedudukan di desa Bolaang. Karena raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintah oleh Belanda, maka Belanda melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja, lalu bersama-sama denga Controleur Anthon Cornelis Veenhuizen dikawal oleh sepasukan prajurit melalui Minahasa selatan masuk Bolaang Mongondow dan mendirikan komalig (isatana raja) di Kotobangon pada tahun 1901.

Pada tahun 1911 didirikan seuah rumah sakit di ibu kota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat.

Dengan masuknya agama dan pendidikan, maka sistem kehidupan sosial budaya masyarakat turut mengalami perubahan, antara lain: tentang cara pengelolaan tanah pertanian (mulai mengenal penanaman padi di sawah), adat kebiasaan, pernikahan, kematian, pembangunan rumah, pengaturan saran perhubungan, dan media komunikasi.

Sebagai informasi perlu disampaikan bahwa: rumah adat Bolaang Mongondow yang diwujudkan dalam bentuk pavilyun Bolaang Mongondow di Taman Mini Indonesia Indah jakarta (samping bangunan rumah adat Sulawesi Utara), yang miniaturnya diminta oleh almarhum Alex Wetik dan dibawa ke Manado tahun 1972 dan kemudian menjadi contoh pembangunan rumah adat Bolaang Mongondow di TMII Jakarta.

Umumnya rumah tempat tinggal di Bolaang Mongondow berbentuk rumah panggung dengan sebuah tangga di depan dan sebuah di belakang. Dengan adanya pengaruh luar, maka bentuk rumahpun sudah berubah. Kehidupan sosial budaya masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan pembangunan sekarang ini, banyak yang telah berubah. Namun budaya daerah yang masih mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menunjang pembangunan fisik material dan mental spiritual, masih tetap dipelihara dan dilestarikan.

Pada saat masyarakat mulai mengenal mengenal mata uang seperti real dan doit sebagai alat penukar bahan keperluan hidup, maka penduduk mulai menjual hasil pertanian tersebut seperti: sayur, buah-buahan dan lain-lain. Hasil pertanian tersebut diletakkan di depan rumah dekat jalan raya dan diatur setumpuk-setumpuk dengan harga satu doit per-tumpuk. Pemilik tidak perlu menjaga bahan dagangannya. Sore hari, pemilik akan mengambil uang harga jualannya. Bila habis terjual, maka di tempat penjualan itu terletak uang harag bahan yang dijual dalam keadaan utuh, tidak berkurang. Contoh seperti ini menunjukkan keluhuran budi pekerti setiap anggota masyarakat yang masih jujur, serta menyadari bahwa setiap perbuatan jahat itu tidak dikehendaki oleh Ompu Duata (Yang Maha Kuasa). Pada saat itu mereka belum mengenal dusta, tipu muslihat dan lain-lain sifat jahat yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Kerukunan hidup antar keluarga dan antar tetangga dimasa itu belum tercemar oleh pengaruh luar.

Bahasa

Suku Mongondow dalam kehidupan keseharian menggunakan bahasa Mongondow, bahasa Bolango dan bahasa Bintauna. Secara linguistik, bahasa-bahasa ini masuk kedalam Rumpun bahasa Filipina, bersama dengan Bahasa Gorontalo, Bahasa Minahasa dan Bahasa Sangir. Suku Mongondow juga menggunakan Bahasa Melayu Manado dan juga Bahasa Indonesia dalam komunikasi mereka dengan masyarakat Sulawesi Utara lainnya.

Marga

Seperti suku lain di Indonesia, Suku Mongondow juga memiliki marga yang diwariskan kepada setiap keturunan, diantaranya: Makalalag, Mokoginta, Mokodongan, Manoppo, Makalunsenge, Mokoagow, Mokodompit, Mamonto, Damopolii, Podomi, Pasambuna, Potabuga.

Pemekaran Daerah

Karena wilayah Bolaang Mongondow memiliki luas 54,3% dari luas wilayah Sulawesi Utara sehingga Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow bersama tokoh masyarakat, tokoh adat dan agama sepakat melakukan pemekaran wilayah dengan Dukungan Penuh Bupati Bolaang Mongondow saat itu Ny. HJ Marlina Moha Siahaan,

Dengan dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat serta Pemkab Bolaang Mongondow panitia pemekaran berhasil meyakinkan pemerintah pusat dan DPR RI sehingga wilayah Bolaang Mongondow secara resmi mekar menjadi 5 daerah tingkat II yaitu:

Lihat Pula

Tokoh Mongondow

Referensi