Kerajaan Haru

monarki Batak Karo di Sumatera Utara
Revisi sejak 30 Desember 2023 05.41 oleh Frendy Aldo Tobing (bicara | kontrib) (Membatalkan 1 suntingan oleh 2404:C0:1C20:0:0:0:429:D1C3 (bicara) ke revisi terakhir oleh Frendy Aldo Tobing (TW))

Haru (Surat Batak Karo: ᯀᯒᯬ) adalah sebuah kerajaan Batak etnis Karo yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara dan berkuasa pada kurun abad ke-13 sampai abad ke-16 Masehi. Pada masa jayanya kerajaan ini adalah kekuatan bahari yang cukup hebat, dan mampu mengendalikan kawasan bagian utara Selat Malaka.[1]

Kerajaan Haru

ᯀᯒᯬ
1225–1613
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah
Ibu kotaKota Rentang
Bahasa yang umum digunakan
Agama
PemerintahanMonarki
Sejarah 
• Didirikan
1225
• Serangan dari Majapahit
1365
• Dikalahkan oleh Kesultanan Aceh
1613
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Penduduk asli menjalankan kepercayaan animisme, Pemena, dan juga Hinduisme. Pada abad ke-13 Masehi, ajaran Islam datang dan kemudian juga dipratikkan bersamaan dengan ajaran asli setempat yang sudah ada.[2] Ibu kota Aru terletak dekat dengan Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Penduduk kerajaan Aru dipercaya merupakan keturunan orang-orang Karo yang menghuni pedalaman Sumatera Utara.[1]

Historiografi

Catatan sejarah terawal yang menyebut Kerajaan Haru adalah berasal dari catatan Tiongkok dari Dinasti Yuan (akhir abad ke-13 Masehi). Kerajaan ini juga disebut-sebut dalam sumber catatan Tiongkok dari zaman berikutnya, yakni Yingya Shenglan (1416) dari zaman Dinasti Ming.

Kerajaan Haru juga disebut dalam catatan naskah-naskah Jawa, yakni kitab Nagarakretagama (1365) dan Pararaton (sekitar abad ke-15 Masehi).[3] Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa:[4]

Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa

Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:[4]

Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa

dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.

lwir niṅ nusa pranusa pramukha sakahawat / ksoni ri malayu, naṅ jambi mwaṅ palembaṅ karitan i teba len / darmmaçraya tumut, kandis kahwas manankabwa ri siyak i rkan / kampar mwan i pane, kampe harw (haru) athawe mandahilin i tumihaṅ parllak / mwan i barat.

Terjemahan:

“Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu di Malayu, di Jambi dan Palembang kemudian Toba dan Dharmasraya pun turut, Kandis, Kahwas, Minangkabau di Siak, Rokan, Kampar dan Pane, Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak yang di barat.

Sementara itu dalam catatan Portugis Suma Oriental yang ditulis pada awal abad ke-16 Masehi menyebutkan Aru sebagai kerajaan yang makmur.[5] Suma Oriental menyebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.[6] Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.

Dalam kitab berbahasa Arab-Melayu Sulalatus Salatin, menyebutkan Kerajaan Haru sebagai salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di kawasan. Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.[7] Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru juga ditemukan di Kota China dan Kota Rantang.

Wilayah kekuasaan

Bekas wilayah Kerajaan Haru atau Aru sekarang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Secara tradisional, lokasi Haru atau Aru dikaitkan dengan negara penerusnya, yakni Kesultanan Deli, yang kini terletak di sekitar Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Pendapat ini diajukan oleh seorang orientalis Inggris Richard Olaf Winstedt.[8] Akan tetapi, Groenveldt, seorang sejarawan Belanda, berpendapat bahwa pusat ibu kota Kerajaan Haru terletak jauh ke tenggara, yakni dekat muara Sungai Barumun dan Panai, di Kabupaten Labuhanbatu, dan karena itu terkait dengan pendahulunya yaitu Kerajaan Pannai yang bercorak agama Buddha. Gilles mengajukan pendapat bahwa ibu kotanya terletak dekat Pelabuhan Belawan, sementara sejarahwan lain mengajukan pendapat bahwa lokasi pusat kerajaan Aru terletak di dekat muara Sungai Wampu dekat Teluk Haru, Kabupaten Langkat.[9]

Situs Kota Cina di kawasan Medan Marelan,[10] dan situs Benteng Putri Hijau di Deli Tua, Namorambe, adalah situs-situs arkeologi di dekat Kota Medan, yang dikaitkan dengan Kerajaan Haru.[11] Situs arkeologi Benteng Putri Hijau kini tengah terancam proyek pembangunan hunian.[12] Situs arkeologi lainnya adalah Kota Rentang di daerah Hamparan Perak, Deli Serdang, yang diajukan oleh ahli arkeologi sebagai lokasi ibu kota Kerajaan Haru.[13]

Karakteristik

Kondisi Benteng tersebut melingkupi areal berukuran ± 732 x 250 meter atau memiliki luas sekitar 17 ha. Batas-batas Benteng Putri Hijau adalah sebagai berikut : di sebelah utara berbatasan dengan pemukiman penduduk yang menempati areal di luar maupun di dalam benteng. Sebelah barat sebagian merupakan areal yang berbatasan dengan tebing curam, terutama yang terletak di sisi sebelah baratlaut. Sebagian lagi berbatasan dengan areal landai yang saat ini dimanfaatkan sebagai perladangan. Demikian juga dengan sisi selatan berbatasan dengan perladangan penduduk, sedangkan di sebelah timur benteng tanah menghadap langsung ke jurang, di mana terdapat hulu aliran Sungai Deli yang disebut Sungai Petani (Lau Tani).

Di luar benteng tanah terdapat parit-parit buatan yang mengelilingi. Benteng tanah, maupun parit buatan berukuran lebar mencapai 4 meter, bahkan lebih. kedalaman parit mencapai lebih dari 2 meter. Adapun bangunan benteng tanah di beberapa tempat, berukuran tinggi mencapai hingga 6-7 meter. Pintu masuk utama benteng pada masa lalu diperkirakan terletak di sebelah timur, tepat di sebelah pemandian Putri Hijau (Pancuran Gading). Bagian pintu masuk benteng merupakan dinding tebing yang dilandaikan. Di samping kiri-kanan pintu masuk tersebut terdapat dinding tanah berukuran cukup tinggi.

Di beberapa tempat tampaknya terdapat pemotongan bagian benteng. Tidak diketahui secara pasti, apakah pemotongan dinding benteng merupakan sisa aktivitas masa lalu atau dilakukan pada masa belakangan. Benteng tanah juga mengalami kerusakan akibat aktivitas masa. Dalam bukunya yang berjudul “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”, Tuanku Lukman Sinar menyebutkan bahwa pada tahun 1869, Kontelir Cats de Raet menemukan sebuah meriam (lela) yang telah diserahkan ke Museum Pusat di Jakarta dengan kapal Baron Sloet v.d. Beele. Pada meriam tersebut terdapat pertulisan dalam aksara Melayu/Jawi yang berbunyi “Sanat….03 Alamat Balun Haru”. Sanat…03 Tidak Jelas, Namun Apabila 03 Berarti Tahun 1003 Hijriyah, Berarti Cocok Dengan 1539 Masehi, yang menurut Pinto merupakan ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar. “Alamat Balun Haru” dapat juga berarti Alamat sadar (siuman) Haru, tetapi dalam bahasa Aceh dapat berarti: “Dalam Tahun ….03, di tempat saya menyerahkan Haru kepada Tuanku”. Dalam Bahasa Melayu “Balun” juga berarti “sadar” atau juga “dilibas”.Terlepas dari isi/arti pertulisan tersebut, di tengah-tengah benteng Putri Hijau telah didapatkan bukti tentang nama Haru.

Temuan peluru senjata api berbahan timah, menunjukkan bahwa di situs tersebut pernah terjadi perang atau setidaknya senapan yang ditembakkan. Apabila kepemilikan senjata api tersebut sejaman dengan peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Aru (Deli?) maka senjata api tersebut kemungkinan berasal dari Turki. Senjata api jenis senapan laras panjang itu umum digunakan pada abad ke 15-19, yang dikenal dengan sebutan musket atau tufenk. Senapan-senapan tersebut dibawa ke Deli Tua dari Negara asal pembuatnya (Turki) oleh tentara Aceh atau sepasukan tentara Turki sendiri yang diperbantukan untuk menyerang wilayah kekuasaan kerajaan di Deli Tua (BP3 Aceh, 2008:17).

Selain itu terdapat temuan berupa koin Aceh yang diperkirakan berasal dari abad ke XVII. Keberadaan mata uang Aceh berkaitan dengan kedatangan dan atau digunakan koin-koin Aceh untuk transaksi perdagangan. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan, mengingat keberadaan Kesultanan Aceh pada waktu yang sama, bahkan sebelumnya telah mengeluarkan mata uang resmi kerajaan untuk perdagangan, sehingga tidak mustahil apabila koin-koin yang beredar di Kerajaan Aceh juga beredar di Kerajaan Aru, untuk memperlancar transaksi perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Hubungan dagang antara Kerajaan Aru (Deli Tua) pada masa yang cukup lama juga telah dilakukan dengan bangsa-bangsa lain seperti India dan Cina. Melalui hubungan perdagangan secara tidak langsung juga berpengaruh pada kontak-kontak kebudayaan, yang dilakukan dengan Cina ataupun India. E.E. Mc Kinnon menyebutkan bahwa walaupun bukti-bukti secara fisik sangat jarang ditemukan, kebudayaan masyarakat batak sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang berasal dari batak.

Bukti-bukti adanya kontak dengan Cina secara fisik dapat diketahui, dari adanya bukti berupa temuan keramik yang tersebar di situs Benteng Putri Hijau. Berdasarkan hasil analisis temuan keramik yang ditemukan di Deli Tua dari hasil penggalian yang dilakukan diketahui bahwa periode masa hunian di bagian dalam benteng tanah Deli Tua adalah dalam rentang waktu antara 15-18. Temuan hasil penggalian menunjukkan bahwa periode tertua adalah temuan keramik yang berasal dari abad 15-14 M, bahkan ditemukan sekeping fragmen keramik yang berasal dari abad 15-19 M. Periode yang lebih muda menunjukkan bahwa situs tersebut masih digunakan sampai abad 17-18.

Sebaliknya berdasarkan hasil survey permukaan menunjukkan bahwa temuan keramik terbanyak berasal dari abad ke 17-18 M, disusul oleh temuan yang berasal dari abad 15-19 M. Hal ini menunjukkan bahwa di situs tersebut mengalami masa hunian yang cukup lama. Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab maju mundurnya hunian di Benteng Putri Hijau.

Sosiokultural

Sebagai kerajaan yang berkembang di Tanah Batak dan Melayu, kehidupan sosiokultural Kerajaan Haru menunjukkan karakteristik Batak Karo dan Melayu yang cukup kental. Kebudayaan dan linguistik Haru sendiri mengadopsi kebudayaan dan bahasa Batak Karo dengan pengaruh Melayu yang cukup kuat saat masuknya Islam di Kerajaan Haru. Bahkan kerajaan Haru sendiri digadang-gadang sebagai cikal bakal/nenek moyang (leluhur) dari masyakarat Melayu Sumatra Timur (terutama Deli).

Pada abad ke-15, pemimpin Kerajaan Haru dan penduduknya kemungkinan besar telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sulalatus Salatin disebutkan bahwa kerajaan tersebut mengalami islamisasi oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.

Sumber-sumber Tiongkok menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, pertukangan, dan hasil bumi Haru memiliki keselarasan dengan Melaka, Samudera, dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain.[14]

Peninggalan arkeologi di Kota China menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Tiongkok dan India.[15]

Daftar penguasa

  1. Raja Serbanyaman (±1225—1255)
  2. Raja Kembat (±1255—1292)
  3. Serangan Singasari (1292)
  4. Serangan Majapahit (1365)
  5. Diserahkan ke Pagaruyung (±1375—1410)
  6. Sultan Husin (1410—1456)
  7. Sultan Mansur Shah (1456—1477)[16]
  8. Sultan Ali Boncar (1477—1500)
  9. Pertarungan Aceh (1500—1538)
  10. Putri Enche Sinni (±1538—1564)
  11. Sultan Abdullah bin Alaudin dari Aceh (1564—1599)
  12. Serangan Aceh masa Iskandar Muda (1613)

Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat. Menurut Peret (2010), lembaga ini telah ada sebelum pengaruh Aceh dibagian utara Pulau Sumatra. Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat berperan dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli dan Serdang, dengan menempatkan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.[16]

Referensi

  1. ^ a b Bonatz, Dominik; Miksic, John; Neidel, J. David, ed. (2009). From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing. ISBN 978-1-4438-0497-4. 
  2. ^ "Kerajaan Aru (Haru), Penguasa Maritim yang Terlupakan". Wacana. 25 September 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 October 2018. Diakses tanggal 11 May 2017. 
  3. ^ I Ketut Riana (2009). Kakawin dēśa Warṇnana, uthawi, Nāgara Kṛtāgama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 96–102. ISBN 978-979-709-433-1. 
  4. ^ a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  5. ^ Pires, Tomé (2005). "The Suma Oriental of Tomé Pires". Dalam Cortesão, Armando. The Suma Oriental of Tomé Pires: An Account of the East from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515; and, the Book of Francisco Rodrigues, Rutter of a Voyage in the Red Sea, Nautical Rules, Almanack and Maps Written and Drawn in the East Before 1515. 1. New Delhi: Asian Educational Services. hlm. 1–223+. ISBN 81-206-0535-7. 
  6. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  7. ^ Ming, Ding Choo (2012). "Penafsiran Kuasa Raja Dalam Beberapa Teks Sastera Melayu Lama". Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara. 3 (2): 55–74. 
  8. ^ Milner, A. C.; McKinnon, E. Edwards; Sinar, Tengku Luckman (1978). "A Note on Aru and Kota Cina". Indonesia. 26 (26): 1–42. doi:10.2307/3350834. JSTOR 3350834. 
  9. ^ Slamet Muljana (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 15. ISBN 9789798451164. 
  10. ^ "Museum Kota Cina, Situs Awal Perdagangan Penting di Pantai Timur Sumatera Abad XI". SeMedan.com. 3 January 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 July 2017. Diakses tanggal 8 May 2017. 
  11. ^ Repelita Wahyu Oetomo (8 June 2014). "Benteng Putri Hijau Berdasarkan Data Sejarah dan Arkeologi". Direktorat Jenderal Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 January 2017. Diakses tanggal 8 May 2017. 
  12. ^ "Perumahan Kepung Situs Kerajaan Haru". Serambi Indonesia. 27 October 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 January 2018. Diakses tanggal 11 May 2017. 
  13. ^ Juraidi (23 August 2008). "Menelusuri Jejak Kerajaan Aru". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 September 2017. Diakses tanggal 9 May 2017. 
  14. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama waspada
  15. ^ A Note on Aru and Kota China (Part 2)[pranala nonaktif permanen]
  16. ^ a b Perret, D (2010). Kolonialisme dan Etnisitas". KPG