Sinetron (akronim dari sinema elektronik) adalah istilah bahasa Indonesia yang biasanya digunakan untuk acara televisi bergenre fiktif. Tergantung definisi yang digunakan, istilah sinetron bisa mengacu pada acara dengan format tertentu atau genre yang lebih spesifik. Berbagai tokoh telah disebut sebagai pencipta dan pemopuler istilah ini, di antaranya penulis Arswendo Atmowiloto,[1][2] pengajar film Soemardjono,[1][2] tokoh pertelevisian Indonesia Ishadi S.K.,[3] dan tabloid Monitor.[4]

Definisi

Dalam definisi baku Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinetron mencakup semua film yang dibuat khusus untuk media elektronik.[5] Dalam praktiknya, istilah sinetron digunakan untuk film untuk media televisi saja,[1] atau segala tayangan televisi yang menampilkan cerita secara visual.[6] Istilah "elektronik" dalam kepanjangan "sinema elektronik" sempat ditafsirkan sebagai syarat bahwa sinetron harus dibuat di atas video elektronik, meskipun istilah "sinema elektronik" dibuat dengan mengacu pada media pemancarnya (televisi) yang elektronik.[2] Komite Festival Sinetron Indonesia (FSI) awalnya menyaratkan film yang termasuk sinetron harus direkam di pita kaset video.[2][7] Mulai tahun 1997, FSI baru menerima film yang direkam di seluloid sebagai sinetron.[7]

Ada yang menyebut sinetron bisa berformat apa saja (serial ataupun lepas) serta bergenre apa saja,[1][6][8] dan format atau genre bisa ditambahkan sebagai keterangan (contoh: "sinetron lepas", "sinetron komedi").[8] Ada pula yang mengaitkannya secara khusus dengan program televisi berformat serial yang bergenre opera sabun (bahasa Inggris: soap opera) atau telenovela,[9] sedangkan sinetron lepas disebut FTV (film televisi).[8]

Sebelum muncul istilah sinetron, lakon yang ditayangkan di televisi dan diproduksi di Indonesia disebut TV play (sandiwara televisi),[3] atau sandiwara saja.[10] Istilah bahasa Indonesia lain yang bisa digunakan untuk acara televisi bergenre drama adalah teleseri (televisi serial).[11]

Kritik

Mungkin ada banyak alasan mengapa beberapa orang mungkin menganggap sinetron memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan acara TV atau drama dari negara lain. Salah satu kemungkinan alasannya adalah sinetron seringkali mengandalkan alur cerita yang repetitif dan mudah diprediksi, dengan sedikit pengembangan karakter atau inovasi. Selain itu, beberapa orang mengkritik akting yang berlebihan, nilai produksi yang murah, dan penggunaan penempatan produk yang berlebihan dalam sinetron. Alasan lain yang mungkin adalah fokus industri pada kuantitas daripada kualitas, dengan penekanan pada produksi episode sebanyak mungkin untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini dapat mengakibatkan proses produksi yang terburu-buru, dengan sedikit perhatian pada aspek detail kreatif pertunjukan. Namun, penting untuk dicatat bahwa setiap orang memiliki preferensi dan pendapat yang berbeda dalam hal hiburan, dan apa yang dianggap berkualitas rendah oleh seseorang, mungkin dianggap menyenangkan atau menghibur oleh orang lain.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ a b c d Budi Irawanto (5 Desember 2013). "Menertawakan Kejelataan Kita2: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri". Jurnal Ilmu Komunikasi (PDF). 3 (1). doi:10.24002/jik.v3i1.240. 
  2. ^ a b c d Tempo 2019, hlm. 30–32.
  3. ^ a b Philip Kitley (2000). Television, Nation, and Culture in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Ohio University Press. hlm. 104. 
  4. ^ Sekar Gandhawangi (20 Maret 2021). Khaerudin, ed. ""Ikatan Cinta" dan Kisah Sinetron yang Tetap Digemari Penonton Indonesia". Diakses tanggal 28 April 2023. 
  5. ^ "sinetron". KBBI Daring. Diakses tanggal 26 April 2023. 
  6. ^ a b Ida 2006, hlm. 85.
  7. ^ a b Ida 2006, hlm. 89–90.
  8. ^ a b c Loven 2008, hlm. 46–47.
  9. ^ Sa'diyah El-Adawiyah (14 Mei 2014). Miracel, ed. Sinetron dalam Sudut Pandang Komunikasi Islam. Deepublish. hlm. 51. Diakses tanggal 26 April 2023. 
  10. ^ Chu, Alfian & Pabottinggi 1981, hlm. 112.
  11. ^ "teleseri". KBBI Daring. Diakses tanggal 21 Juli 2023. 

Karya yang dikutip