Kesultanan Jambi
Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi, Indonesia.[1][2][3] Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak di Kota Jambi, pada tahun 1460.[4][5] Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.[6][7] Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin.[8][9]
Kesultanan Jambi | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1615–1904 | |||||||||||||
Peta Kerajaan Melayu Jambi, meliputi kawasan sebagian wilayah Riau dan semenanjung Palembang utara. | |||||||||||||
Ibu kota | Tanah Pilih (sekarang Kota Jambi) | ||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Melayu Jambi | ||||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||||
Pemerintahan | Monarki Kesultanan | ||||||||||||
Sultan | |||||||||||||
• 1615–1643 | Sultan Abdul Kahar | ||||||||||||
• 1900–1904 | Sultan Thaha Syaifuddin | ||||||||||||
Sejarah | |||||||||||||
• Didirikan | 1615 | ||||||||||||
• dibubarkan Belanda | 1904 | ||||||||||||
| |||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Sejarah
Pendirian
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu. Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah Jambi. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh. Pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.[10]
Masa kejayaan
Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Kegiatan perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa. Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar.
Sultan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor. Bahkan, pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh. Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.
Peperangan
- Perang Jambi-Johor
Selama abad ke-16, Jambi menjadi terkenal berkat lada yang ditanam di dataran tinggi. Pada tahun 1615 Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris mendirikan pangkalan-pangkalan mereka masing-masing di kawasan tersebut. Pada masa itu, Jambi bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika mereka menyatakan berhak mengendalikan Kuala Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan Jambi dengan Indragiri yang merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam.
Sekitar tahun 1671 dan 1674, perselisihan yang berkepanjangan itu memuncak menjadi sebuah konflik terbuka, orang laut yang tunduk pada penguasa Jambi merompak kapal-kapal di perairan Johor, sementara orang laut dari Johor melancarkan aksi serupa di Jambi. Armada Johor bahkan berlayar masuk ke Sungai Batanghari dan mengancam ibukota Jambi. Namun, hubungan mereka kemudian membaik dan di tahun 1681 para penguasa Jambi dan Johor masih bersedia untuk membina suatu persekutuan guna menghadapi saingan bersama mereka yaitu Palembang. Orang Laut dari kedua kerajaan menyerang kapal-kapal dagang di perairan Palembang dan juga menjarah kawasan pesisir.
Kemunduran
Setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut, memilih mengundurkan diri dari takhta dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung. Perjanjian pertama Kesultanan Jambi dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan.
Kejayaan Jambi tidak berumur panjang, pada tahun 1680-an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan Belanda dalam politik kerajaan.
Keruntuhan
Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan Thaha Syaifuddin menolak keras perjanjian dengan Belanda. Bahkan utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian kepadanya selalu dihindari. Akibatnya Belanda marah dan melayangkan serangan pada 1858, hingga berhasil menguasai istana.
Dalam serangan itu Sultan Thaha melarikan diri, sehingga Panembahan Prabu kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota Jambi), namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan. Ketika Sultan Thaha dalam pelarian, Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda. Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.
Pada tahun 1903, Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan dari Sultan Thaha menyerah kepada Belanda. Kemudian Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Kesultanan Jambi benar-benar berakhir, saat Sultan Thaha dibunuh oleh Belanda di persembunyiannya pada 1904. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1906 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan Jambi.
Geografi
Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.
Kependudukan
Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu Jambi berdiam dipinggiran sungai Batang Hari dan Batang Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagai orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.[butuh rujukan]
Pemerintahan
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.
Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:
- Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
- Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)
Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.
Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :
- Pangeran Adipati
- Pangeran Suryo Notokusumo
- Pangeran Jayadiningrat
- Pangeran Aryo Jayakusumo
- Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo
Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.
Daftar penguasa
Nama-nama dibawah menggunakan ejaan modern yang mungkin berbeda dari ejaan dalam dokumen asli. Nama nasab (patronim gaya Arab) juga tidak disertakan dalam daftar berikut.
No | Periode | Nama Penguasa | Nama/Gelar Lain |
---|---|---|---|
1 | 1460 – 1480 | Datuk Paduka Berhala dan Putri Selaras Pinang Masak | Ahmad Salim, Ahmad Barus II |
2 | 1480 – 1490 | Orang Kaya Pingai | Sayyid Ibrahim |
3 | 1490 – 1500 | Orang Kaya Kedataran | Sayyid Abdul Rahman |
4 | 1500 – 1515 | Orang Kaya Hitam[11][12] | Sayyid Ahmad Kamil |
5 | 1515 – 1540 | Panembahan Rantau Kapas | Pangeran Hilang diair |
6 | 1540 – 1565 | Panembahan Rengas Pandak | |
7 | 1565 – 1590 | Panembahan Bawah Sawo | |
8 | 1590 – 1630 | Panembahan Kota Baru | |
9 | 1615 – 1630 | Pangeran Kedah | Sultan Abdul Kahar[a] |
10 | 1630 – 1679 | Sultan Agung[b][13] | Sultan Abdul Jalil, Pangeran Dipati Anom, Pangeran Ratu |
11 | 1679 – 1687 | Sultan Anom Ingalaga[13][14] | Sultan Abdul Muhyi, Sultan Muhammad Syafi'i, Pangeran Anom, Pangeran Ratu, Raden Penulis |
12a | 1687 – 1719 | Sultan Kiai Gede[15] | Raden Cakra Negara, Pangeran Dipati |
12 | 1691 – 1710 | Pangeran Pringgabaya[c][16] | Sri Maharaja Batu Johan Pahlawan Syah, Raden Julat |
13 | 1719 – 1725 | Sultan Astra Ingalaga[d][17][18] | Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara |
14 | 1725 – 1726 | Sultan Muhammad Syah | Pangeran Suryanegara |
(13) | 1727 – 1742 | Sultan Astra Ingalaga | Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara |
15 | 1743 – 1770 | Sultan Ahmad Zainuddin Anom Sri Ingalaga[17] | Pangeran Sutawijaya |
16 | 1777 – 1790 | Sultan Mas’ud Badaruddin Ratu Sri Ingalaga[17] | |
17 | 1805 – 1826 | Sultan Mahmud Muhyiuddin Agung Sri Ingalaga[19] | Pangeran Wangsa, Raden Danting |
18 | 1827 – 1841 | Sultan Muhammad Fakhruddin Anom Sri Ingalaga[20] | Pangeran Ratu Cakra Negara |
19 | 1841 – 1855 | Sultan Abdul Rahman Nasiruddin Ratu Anom Dilaga[20] | Pangeran Ratu Martaningrat |
20 | 1855 – 1858 | Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga[e][21] | Pangeran Ratu Jayaningrat |
21 | 1858 – 1881 | Sultan Ahmad Nasiruddin Ratu Inga Dilaga[22] | Panembahan Prabu |
22 | 1881 – 1885 | Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman | |
23 | 1885 – 1899 | Sultan Ahmad Zainuddin Ratu Sri Ingalaga[23] | |
(20) | 1900 – 1904 | Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga[24] | Pangeran Ratu Jayaningrat |
1906 | Dibubarkan Belanda | ||
25 | 2022- Sekarang | Sayyid Fuad bin Abdurrahman | }
Galeri
Catatan
Rujukan
Daftar Pustaka
Pranala luar
|