Peristiwa Mandor
Peristiwa Mandor atau yang dikenal juga dengan istilah Oto Sungkup (Mobil Penutup Kepala) adalah peristiwa pembantaian massal yang menurut catatan sejarah terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. Peristiwa Mandor ini sendiri sering dikenal dengan istilah Tragedi Mandor Berdarah yaitu suatu kejadian pembantaian massal tanpa batas etnis dan ras yang dilakukan oleh Tentara "海軍 (Kaigun) Tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang".
Tanggal | 28 Juni 1944 |
---|---|
Lokasi | Kalimantan Barat, Indonesia |
Koordinat | 0.316435,109.336575 |
Nama lain | Insiden Mandor Tragedi Mandor Berdarah ポンティアナック事件 (Tragedi Pontianak) |
Jenis | Pembunuhan massal |
Motif | Melenyapkan pemberontak masyarakat Kalimantan Barat sudah diketahui oleh pihak Jepang |
Sasaran | Masyarakat Kalimantan Barat |
Peserta/Pihak terlibat | Masyarakat Kalimantan Barat
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang |
Tewas | ± 21.037 |
Tersangka | Angkatan Laut Kekaisaran Jepang |
Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat melalui rapat paripurna DPRD Kalimantan Barat merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor.[1]
Kejadian awal
Peristiwa Mandor adalah sebuah peristiwa kelam yang pernah terjadi di Kalimantan Barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor, Kabupaten Landak.
Sewaktu itu, pihak Jepang sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat dan Selatan terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas feodal lokal, cendikiawan, ambtenar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama. Sehingga komplotan-komplotan tersebut diatasi dengan aksi kekerasan. Penangkapan-penangkapan yang pernah terjadi antara September 1943 hingga awal 1944.[2]
Menurut data yang ada, jumlah korban dari peristiwa Mandor tersebut adalah ± 21.037 orang. Akan tetapi pihak dari Jepang menolak pernyataan tersebut dan menganggap hanya ada 1.000 korban saja.[3] Peristiwa Mandor terjadi akibat ketidaksukaan pihak Jepang waktu itu terhadap para pemberontak yang ada di Kalimantan Barat dikarena ketika itu Jepang ingin menguasai sumber daya alam yang ada di bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa Mandor, juga terdapat peristiwa Cap Kapak dimana kala itu tentara - tentara Jepang secara paksa mendobrak pintu - pintu rumah masyarakat dikarenakan mereka ingin menakut-nakuti masyarakat agar tidak berani untuk melakukan pemberontakan. Meskipun demikian, ternyata menurut sejarah yang dibunuh bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun rakyat biasa juga tidak luput dari pandangan mereka.
Jepang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalimantan Barat kala itu. Di sebuah koran harian Jepang yang berjudul "ボルネオ新聞 (Boruneo Shinbun)", surat kabar yang terbit pada masa itu, mengungkapkan rencana tentara Negeri Matahari Terbit tersebut untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang yang ada di Kalimantan Barat.
Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.[4]
Korban
Secara garis besar yang menjadi korban dari pihak masyarakat Kalimantan Barat saat itu sebagai berikut :
- Syarif Mohammad Alkadrie (Sultan Pontianak, 74 tahun)
- Pangeran Adipati (Putra Sultan Pontianak, 31 tahun)
- Pangeran Agung (26 tahun)
- JE Patiasina (51 tahun)
- Tjong Tjok Men
- Ng Nyiap Soen (40 tahun)
- Lumban Pea (43 tahun)
- dr. Roebini
- Kei Liang Kie
- Ng Nyiap Kan
- Panangian Harahap
- Noto Soedjono
- FJ Loway Paath
- CW Octavianoes Loecas
- Ong Tjoe Kie
- Oeray Alioeddin
- Goesti Saoenan (Panembahan Ketapang, 44 tahun)
- Mohammad Ibrahim Tsafioeddin (Sultan Sambas, 40 tahun)
- Sawon Wongso Atmodjo
- Abdoel Samad
- dr. Soenaryo Martowardoyo
- Moehammad Yatim
- Raden Mas Soediyono
- Nasaroeddin
- Soedarmadi
- Tamboenan
- Thji Boen Khe (wartawan)
- Nasroen St (Pangeran)
- E Londok Kawengian
- WFM Tewoe
- Wagimin bin Wonsosemito
- Ng Loeng Khoi
- Theng Swa Teng
- dr. R.M Ahmad Diponegoro
- dr. Ismail
- Ahmad Maidin
- Amaliah Roebini (istri dr. Roebini)
- Noerlela Panangian Harahap (istri Panangian)
- Tengkoe Idris (Panembahan Sukadana, 50 tahun)
- Goesti Mesir (Penembangan Simpang, 43 tahun)
- Syarif Saleh (Panembahan Kubu Raya, 63 Tahun)
- Gusti A Hamid (Panembahan Ngabang)
- Ade Moehammad Arief (Panembahan Sanggau)
- Goesti Moehammad Kelip (Panembahan Sekadau, 41 tahun)
- Goesti Djafar
- Raden Abdoel Bahry Daroe Perdana (Panembahan Sintang)
- Moehammad Taoefik (Panembahan Mempawah, 63 tahun)
- AFP Lantang
- Raden Nalaprana
- Tjoeng Kiung Liung
Tokoh yang bertanggung jawab
Menurut sumber yang tidak pasti, ada yang mengatakan bahwa "州知事地よ西武妖夢(Shūchijichiyo Seibu Youmu) atau dalam bahasa Indonesianya adalah "Gubernur Negara Bagian (Kalimantan Barat) Youmu Seibu.
Referensi
- ^ Andry, Borneo Tribun (June 27, 2008). "Hadirkan Dubes Jepang" Borneo Tribun [1]
- ^ Ricklefs, Merle Calvin; Nugraha, Moh.Sidik. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 hal. 430. Penerbit Serambi. ISBN 978-979-024-115-2
- ^ Google Books "Peristiwa Mandor Berdarah" 'Google Books'
- ^ Eddy Jp "Travelling Indonesia: My Family History di Makam Juang Mandor " Multiply [2] Diarsipkan 2016-03-05 di Wayback Machine.