Bantengan
Seni Bantengan adalah sebuah Tarian Jawa yang meniru hewan Banteng, Kesenian ini berkembang di Mojokerto, Malang dan Batu.
Sejarah Bantengan
BANTENGAN, SEBUAH KEBUDAYAAN KOMUNAL Seni bantengan adalah kesenian komunal artinya melibatkan banyak orang didalam setiap pertunjukannya. Seperti halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu hidup berkelompok (koloni), kebudayaan bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi rasa persatuan kesatuan. Satu contoh perilaku budaya pelaku kesenian bantengan yang mencolok adalah budaya anjang sana anjang sini, yaitu budaya balas budi antar kelompok seni bantengan apabila salah satu diantaranya diundang untuk memainkan keseniannya di daerah lain. Maka, dilain waktu kelompok seni bantengan yang ada di daerah tersebut akan bergantian mendatangi kelompok bantengan yang sebelumnya membantu meramaikan sebuah acara di daerahnya. SEJARAH KESENIAN BANTENGAN KOTA BATU Perkembangan kesenian bantengan di Kota Batu telah dimulai sejak pada jaman perjuangan. Pada masa tersebut, para pemuda Kota Batu (yang masih menjadi bagian Kadipeten Malang) banyak dikirim ke Pondok Pesantren untuk mempelajari Ilmu Kanuragan Pencak Silat yang berpusat di daerah Jombang. Seperti yang telah disebutkan diatas, erat kaitan kesenian bantengan dengan Pencak Silat, maka setelah nyantri (mencari ilmu di Pondok Pesantren) para pemuda Batu kembali kekampung halaman dan mendirikan padepokan Pencak Silat. Untuk menarik para pemuda yang ada di perkampungannya mau mempelajari Kanuragan Pencak Silat, maka dikembangkanlah kesenian Bantengan dengan penokohan hewan Banteng yang liar sedang melawan Macan (Harimau). Pada masa perjuangan melawan penjajah tersebut, penokohan ini dilambangkan yaitu hewan Banteng yang hidup koloni (berkelompok) adalah lambang Rakyat Jelata dan hewan Macan (Harimau) melambangkan Penjajah Belanda, serta ada tokoh hewan Monyet yang suka menggoda Banteng dan Macan serta memprovokasi keduanya untuk selalu bertarung. Monyetan ini melambangkan Provokator. Sampai saat ini, kesenian Bantengan Batu (yang telah berotonommi menjadi Kotamadya tersendiri lepas dari Kabupaten Malang) masih terus menjaga eksistensinya. Bahkan pada perkembangannya di pelosok pelosok pedesaan, kesenian Bantengan telah mampu berdiri sendiri diluar kelompok Padepokan Pencak Silat. Selanjutnya, kesenian Bantengan yang berkembang pesat di Batu ini dibawa oleh salah satu tokoh pencak silat di daerah Bumiaji menuju wilayah Pacet Mojokerto (karena letak dua wilayah yang berdekatan di lereng pegunungan Arjuno-Welirang) dan dikembangkan kesenian ini sampai sekarang. Versi lain menyatakan bahwa : Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi a.Berasal dari Batu b. Berasal dari Cleket (Made) dan berkembang pesat di Pacet a. Berasal dari kota Batu. Menurut catatan yang bersifat dari mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini. b.Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket Kedua versi itu sulit dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia. Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan. Menurut cerita Pak Amir (tokoh Bantengan) dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar (mushollah). Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa. Pemikiran manusia terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni bawah/ tradisional. Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu akhirnya tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak menarik lagi. Para pendekar mencari alternatif lain agar kesenian itu diminati lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian Bantengan ini. Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa pulang. Kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama sebagai lambang atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. Bantengan berdiri sendiri tanpa pencak silat lagi. Akhirnya Bantengan ini menjadi cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum pernah ada usaha untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah kebanggaan yang akhirnya bisa menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto. Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius agar tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa penanganan yang jelas meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran tentang sebuah IKON.
Perkembangan kesenian Bantengan
Perkembangan kesenian Bantengan mayoritas berada di masyarakat pedesaan atau wilayah pinggiran kota di daerah lereng pegunungan se-Jawa Timur tepatnya Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi dan Raung-Argopuro.
Permainan kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor bantengan. Kostum bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli Kerbau atau banteng, adapun yang dibuat replika tanduk dari kayu
Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas bantengan dengan alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Kesenian ini dimainkan oleh dua orang laki-laki, satu di bagian depan sebagai kepalanya, dan satu di bagian belakang sebagai ekornya. dan biasanya, lelaki bagian depan akan kesurupan, dan orang yang di belakangnya akan mengikuti setiap gerakannya.
Tak jarang orang di bagian belakang juga kesurupan. tetapi, sangat jarang terjadi orang yang di bagian belakang kesurupan sedangkan bagian depannya tidak. bantengan dibantu agar kesurupan oleh orang (laki-laki) yang memakai pakaian serba merah yang biasa disebut abangan dan kaos hitam yang biasanya di sebut irengan.
Bantengan juga selalu diiringi oleh macanan. kostum macanan ini terbuat dari kain yang diberi pewarna (biasanya kuning belang oranye), yang dipakai oleh seorang lelaki. macanan ini biasanya membantu bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupannya sampai terlalu ganas. Namun tak jarang macanan juga kesurupan.
Ornamen yang ada pada Bantengan
Ornamen yang ada pada Bantengan yaitu:
- Tanduk (banteng, kerbau, sapi, dll)
- Kepala banteng yang terbuat dari kayu ( waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang, dll)
- Mahkota Bantengan, berupa sulur wayangan dari bahan kulit atau kertas
- Klontong (alat bunyi di leher)
- Keranjang penjalin, sebagai badan (pada daerah tertentu hanya menggunakan kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang)
- Gongseng kaki
- Keluhan (tali kendali)
Dalam setiap pertunjukannya (disebut “gebyak”), Bantengan didukung beberapa perangkat, yaitu:
- Dua orang Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali tampar)
- Pemain Jidor, gamelan, pengerawit, dan sinden. Minimal 1 (satu) orang pada setiap posisi
- Sesepuh, orang yang dituakan. Mempunyai kelebihan dalam hal memanggil leluhur Banteng
- (Dhanyangan) dan mengembalikannya ke tempat asal
- Pamong dan pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan membawa kendali yaitu Pecut (Cemeti/Cambuk)
- Minimal ada dua Macanan dan satu Monyetan sebagai peran pengganggu bantengan.
Konflik Sosial Budaya
pada tahun 2015 Seniman Bantengan di sekitar Pegunungan Mojokerto, Malang dan Batu diresahkan oleh seniman Jaranan Kediri yang menggunakan properti Bantengan yang digunakan secara menyimpang oleh seniman Jaranan Kediri. Pasalnya Seniman Jaranan Kediri mengklaim bahwa Bantengan merupakan tokoh Jaranan Mahesa Suro, selain itu Bantengan di Jaranan Kediri dipersembahkan dengan cara tidak lazim, yakni tidak memakai kain penutup Bantengan dan sering dibenturkan kepada Penonton sehingga memunculkan perkelahian atau tawuran masal.
Protes Seniman Bantengan kepada Seniman Jaranan Kediri tidak pernah ada tanggapan karena Seniman Jaranan kediri menganggap Bantengan Sebagai tokoh pada Jaranan kediri.
Referensi
Pranala luar
- (Indonesia) Bantenganku
- (Indonesia) Facbook Group