Kesultanan Gunung Tabur

kerajaan di Asia Tenggara

Kesultanan Gunung Tabur adalah salah satu kesultanan yang terbentuk akibat pecahnya Kesultanan Berau pada awal abad ke-19 dan terletak di Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.[1] Selama Perang Dunia II tahun 1945, Istana Gunung Tabur dibom oleh sekutu dan tidak ada bagian dari istana yang tersisa. Pada tahun 1990, Istana Gunung Tabur dibangun kembali dan dijadikan sebagai museum yang diberi nama Museum Batiwakkal yang diresmikan pada tahun 1992.

Kesultanan Gunung Tabur

كسولطانن ڬونوڠ تابور
1810–1960
Bendera
Atas: Bendera kesultanan saat ini
Bawah: Bendera kesultanan pada abad ke-19
{{{coat_alt}}}
Lambang
StatusProtektorat di bawah Kerajaan Belanda (sejak 1837)
Ibu kotaGunung Tabur
Bahasa yang umum digunakanMelayu, Berau
Agama
Islam Sunni (resmi)
Animisme
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1810 – 1834
Zainal Abidin II bin Badaruddin
• 1951 – 1960
Aji Raden Muhammad Ayub
• 2016 – sekarang
Aji Raden Muhammad Bachrul Hadi
Sejarah 
• Didirikan
1810
• Menjadi protektorat Kerajaan Belanda
1837
• Swapraja di bawah Daerah Istimewa Berau
1953
• Kesultanan dihapuskan
1960
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Berau
Indonesia
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Istana Kesultanan Gunung Tabur

Sejarah

Pendirian

Kesultanan Gunung Tabur didirikan karena pemisahan Kesultanan Berau. Perpecahan Kesultanan Berau melahirkan dua kesultanan baru yaitu Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.[2]

Raja Berau kesembilan, Aji Dilayas, memiliki dua permaisuri yang masing-masing dikaruniai seorang putra. Sepeninggal Aji Dilayas, kedua putranya, Pangeran Tua dan Pangeran Dipati, merasa berhak atas takhta kerajaan. Untuk menghindari konflik, keputusan bersama dibuat bahwa mereka harus memerintah secara bergantian.[3]

Sebagai putra sulung, pangeran tua itu berkesempatan memerintah kerajaan dari tahun 1673 hingga 1700. Adiknya Pangeran Dipati memerintah dari tahun 1700 hingga 1731. Situasi ini berlangsung hingga akhirnya perseteruan antara kedua dinasti tersebut tidak dapat diselesaikan. Pada tahun 1810, kerajaan Berau terbelah menjadi dua generasi.[3]

Keturunan Aji Pangeran Dipati, dengan pewaris tahta Sultan Gazi Mahyudi, memperoleh wilayah di sebelah utara Sungai Berau, serta wilaya kiri dan kanan Sungai Segah. Sultan Gazi Mahyudi kemudian mendirikan Kesultanan Gunung Tabur

Sementara, keturunan Aji Pangeran Tua, dengan pewaris tahta Raja Alam bergelar Sultan Alimuddin, mendapat wilayah di sebelah selatan Sungai Berau, serta di wilayah kiri dan kanan Sungai Kelay. Kemudian Raja Alam mendirikan Kesultanan Sambaliung[3]

Batas Wilayah

Kesultanan Gunung Tabur berbatasan dengan Kesultanan Bulungan di sebelah utara, Kesultanan Sambaliung di bagian barat dan selatan, serta Laut Sulawesi pada bagian timur.

Utara Kesultanan Bulungan
Timur Laut Sulawesi
Selatan Kesultanan Sambaliung
Barat Kesultanan Sambaliung

Sultan Gunung Tabur

Berikut adalah daftar sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Gunung Tabur sejak berdirinya pada tahun 1810 hingga saat ini.[4][5]

Daftar Penguasa
No Sultan Masa pemerintahan
1 Sultan Zainal Abidin II bin Badaruddin 1810 – 1834
2 Sultan Aji Kuning II bin Zainal Abidin 1834 – 1850
3 Sultan Amiruddin (Maharaja Dendah I)[6] 1850 – 1876
4 Sultan Hasanuddin (Maharaja Dendah II) 1876 – 1882
* Aji Kuning (Wali) 1882 – 1884
5 Sultan Muhammad Syarifuddin 1884 – 1892
6 Sultan Muhammad Siranuddin 1892 – 1921
7 Sultan Achmad Maulana 1921 – 15 April 1951
8 Sultan Aji Raden Muhammad Ayub 1952 – 1960
9 Sultan Aji Raden Muhammad Bachrul Hadi 28 Desember 2016 – sekarang

Referensi

Sumber

  1. ^ BPCB Samarinda (2015). Profil Cagar Budaya Kalimantan. Samarinda: Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda. hlm. 41. 
  2. ^ Syahiddin, dkk. (2013). Herawati, Y., dkk., ed. Cerita Rakyat Paser dan Berau (PDF). Samarinda: Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur. hlm. 344. ISBN 978-602-777-737-8. 
  3. ^ a b c BPCB Kaltim (2 Februari 2021). "Istana Gunung Tabur". Indosiana Platform Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Diakses tanggal 27 Oktober 2022. 
  4. ^ Indonesia traditional polities
  5. ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1855). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. Lange & Co. hlm. 88.  Teks "Bagian 4" akan diabaikan (bantuan)
  6. ^ (Belanda) Verhandelingen en Berigten Betrekkelijk het Zeewegen, Zeevaartkunde, de Hydrographie, de Koloniën, Volume 13, 1853

Lihat pula

Pranala luar