Hukum pajak

Revisi sejak 9 Mei 2024 13.22 oleh Fazily (bicara | kontrib) (Mengembalikan suntingan oleh 103.189.207.178 (bicara) ke revisi terakhir oleh Abira Ikigai)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Hukum pajak adalah hukum yang bersifat public dalam mengatur hubungan negara dan orang/badan hukum yang wajib untuk membayar pajak.[1] Selain itu, hukum pajak diartikan sebagai keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mencakup tentang kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui uang/kas negara.[1]

Hukum pajak dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang memuat adanya ketentuan-ketentuan dalam mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan.[1] contoh: UU KUP, UU PPSP.

2. Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat tentang ketentuan-ketentuan terhadap siapa yang dikenakan pajak dan siapa yang dikecualikan dengan pajak serta berapa harus dibayar.[1] Contoh: UU PPh, UU PPN dan PPnBM, UU PBB, UU Bea Meterai

Selain itu, hukum pajak juga merupakan bagian dari hukum publik.[2] Hal ini disebabkan karena hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan wajib pajak atau warga negara.[2] Meski demikian, walaupun hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, tetapi hukum pajak juga banyak berkaitan dengan hukum privat, yakni hukum perdata.[2] Hal ini dikarenakan hukum pajak banyak berkaitan dengan materi-materi perdata seperti kekayaan seseorang atau badan hukum yang diatur dalam hukum perdata namun menjadi salah satu objek dalam hukum pajak.[2]

Sejarah Hukum Formal di Indonesia

Sejarah berlakunya ketentuan hukum formal perpajakan (tata cara pelaksanaan perpajakan) di Indonesia dapat dibedakan dalam dua periode:

  • sebelum tahun 1983;
  • setelah reformasi perpajakan pada tahun 1983 (efektif sejak tahun 1984) hingga sekarang.

Sebelum tahun 1983, peraturan perundang-undangan perpajakan, baik pajak pusat maupun pajak daerah berasal dari peraturan perpajakan Hindia Belanda (zaman penjajahan). Peraturan perpajakan tersebut dimuat dalam perundang-undangan yang disebut ordonansi, dan diberlakukan di Indonesia berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945. Contohnya adalah ordonansi pajak perseroan (Ord PPs), ordonansi pajak pendapatan (Ord PPd), ordonansi pajak kekayaan (Ord PKK), aturan bea meterai (ABM).

Undang-undang pajak yang bersifat nasional sebelum tahun 1983 adalah undang-undang Pajak Penjualan 1951 (UU PPn) yang dibuat dan diberlakukan pada tahun 1951. Setiap ordonansi atau undang-undang perpajakan tersebut memiliki ketentuan hukum formal masing-masing, bahkan terdapat hal yang secara substantif sama, namun setiap ordonansi menggunakan istilah berbeda. Sebagai contoh, dalam Ordonansi Pajak PPd, diatur ketetapan pajak, keberatan, wajib pembukuan, dan sebagainya. Dengan demikian, untuk mengetahui cara pemenuhan kewajiban perpajakan harus dipelajari ketentuan formal masing-masing ordonansi atau undang-undang pajak tersebut. Kondisi semacam itu tentu tidak praktis, rumit, dan tentunya menyulitkan anggota masyarakat atau wajib pajak yang hendak memenuhi kewajiban pajak dengan benar dan tepat.

Dengan demikian, untuk mengetahui cara pemenuhan kewajiban perpajakan harus dipelajari ketentuan formal dari masing-masing  ordonansi atau undang-undang pajak tersebut. Kondisi semacam itu tentu tidak praktis, rumit, dan tentunya menyulitkan anggota masyarakat atau Wajib Pajak yang hendak memenuhi kewajiban pajak dengan benar dan tepat. Dengan reformasi perpajakan pada tahun 1983, pemerintah berniat membuat peraturan perpajakan nasional dengan mengubah sistem perpajakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nasional bangsa Indonesia, menyederhanakan teknik pemungutan pajak yang memudahkan wajib pajak berpartisipasi penuh untuk mendukung anggaran belanja negara. Berikut ini perubahan dan penyederhanaan sistem perpajakan tersebut. 

  1. Membuat ketentuan formal hukum pajak dalam satu undang-undang yang disebut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). KUP ini dimaksudkan sebagai tata cara perpajakan nasional sehingga bila ketentuan pajak tertentu memerlukan pengaturan beda, perbedaan tersebut dapat diatur dalam undang-undang terkait sebagai lex specialis.
  2. Keseragaman dalam penggunaan istilah.
  3. Keseragaman dalam pemenuhan kewajiban dan sebagainya.
  4. Keseragaman dalam sanksi perpajakan.[3]

Definisi Penegakan Hukum Perpajakan

Penegakan Hukum Perpajakan adalah serangkaian kegiatan atau proses dilakukannya upaya untuk memastikan tegaknya hukum atau dilaksanakannya keputusan hukum di bidang perpajakan. Pengertian ini tercantum dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Keuangan No.132/PMK.03/2022.

Sedangkan penegakan hukum perpajakan itu meliputi (Pasal 4 ayat (3) huruf b):

  1. intelijen perpajakan;
  2. pemeriksaan bukti permulaan,
  3. penyidikan dan investigasi;
  4. forensik digital perpajakan;
  5. penagihan perpajakan; dan
  6. penelaahan keberatan dan penanganan sengketa perpajakan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, siapa saja yang termasuk penegak hukum perpajakan adalah pegawai pajak yang mengemban fungsi diatas (intelijen pajak, pemeriksa bukti permulaan, penyidik pajak, pemeriksa forensik digital pajak, juru sita pajak negara, penelaah keberatan, petugas yang menangani sengketa perpajakan).

Referensi

  1. ^ a b c d "pengertian pajak". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-16. Diakses tanggal 2014-05-20. 
  2. ^ a b c d "Hukum Pajak". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-27. Diakses tanggal 2014-05-20. 
  3. ^ Djulianto, Suryohadi (2015). Tata Cara Pelaksanaan Pajak (dalam bahasa Inggris). 2. Jakarta: Universitas Terbuka. hlm. 1–43. ISBN 978-7-970119-70-3.