Swarga (Sanskerta: स्वर्गम्, lit.'persemayaman cahaya', IAST: Svargam),[1] Swargaloka, Indraloka, atau Keindraan adalah alam hunian dewa-dewi menurut ajaran agama Hindu.[2] Di dalam kosmologi Hindu, Swarga merupakan salah satu dari ketujuh loka (alam hunian) lapisan atas.[3] Kata swarga diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi surga, kendati Swarga dianggap tidak sama dengan surga yang dipahami agama-agama ibrahimi.[4][5][6][7]

Ukiran gandarwa dan apsara, makhluk-makhluk penghuni Swarga

Gambaran

Swarga adalah segugus alam angkasawi yang bertumpu dan mengawang di puncak Mahameru, didiami arwah orang-orang baik yang tekun mengamalkan ajaran kitab-kitab suci, tempat mereka bersenang-senang sebelum terlahir kembali ke dunia. Alam hunian ini adalah hasil karya Batara Twastri, undagi dewata menurut Weda.[8]

 
Batara Indra, penguasa Swarga, berwahanakan Airawata

Batara Indra, raja dewata, adalah penguasa Swarga. Ia memerintah Swarga bersama-sama dengan permaisurinya, Batari Indrani.[9] Keratonnya dinamakan Waijayanta,[10] di dalamnya terdapat bangsal kencana Sudarma, balairung megah tiada tara. Amarawati adalah ibu kota Swarga, gapuranya dijaga Airawata, raja segala gajah.[11]:84 Swarga disebut-sebut sebagai tempat tinggal Kamadenu, sapi pelimpah rejeki, dan tempat tumbuhnya Parijata, pohon pengabul hajat.[12] Di tengah-tengah taman sari Nandana, tumbuh pohon Kalpawreksa, ditanam Batara Indra sesudah mumbul dari lautan susu pada peristiwa Samudramantana. Berdasarkan letaknya, Swarga disebut Tridiwa, langit tertinggi ketiga.[13]

Di dalam mitologi Hindu, keberdaulatan dewa-dewi atas Swarga kerap menjadi titik tengkar utama di dalam perang abadi melawan seteru-seteru mereka, asura-asuri. Tema umum yang mengemuka di dalam berbagai legenda perang dewa-dewi lawan asura-asuri adalah kemunculan tokoh raja asura, misalnya Hiranyakasipu, yang berhasil menyerobot Swarga. Batara Wisnu, Sang Hyang Pemelihara Jagat, kerap turun tangan untuk memulihkan status quo, kadang-kadang dengan menjelma menjadi awatara, misalnya Narasinga, demi menaklukkan raja asura, dan mengembalikan Batara Indra beserta segenap dewa-dewi ke tempat mereka yang semula.[14] Setiap kali terjadi pralaya, binasalah tiga alam utama, yakni Buloka, Buwarloka, dan Swargaloka. Di dalam ajaran agama Hindu dewasa ini, Swarga kerap diturunkan derajatnya menjadi semacam kahyangan rendahan, kahyangan yang lebih rendah taraf kesuciannya maupun ketinggian letaknya daripada Waikunta dan Kailasa, yakni kahyangan Batara Wisnu dan kahyangan Batara Siwa.[15][16]

Kesusastraan

Weda

Di dalam gita-gita puja Atarwaweda, Swarga dipahami sebagai Pitraloka, alam tempat orang dapat berjumpa dengan para leluhurnya. Berdiam di Pitraloka merupakan pahala yang dikaruniakan kepada orang-orang yang rajin berkurban. Dikatakan bahwa kurban-kurban yang dipersembahkan akan serta-merta terangkat ke Swarga dan tersimpan di sana, menanti kedatangan arwah orang yang mempersembahkannya. Di dalam salah satu gita puja, Swarga digambarkan sebagai alam permai penuh kembang teratai dan bunga seroja, danau-danau mentega berpantai madu, juga sungai-sungai yang mengalirkan anggur, susu, dadih, dan air. Memuliakan tetamu dengan memberi hadiah juga dikatakan sebagai salah satu kebajikan yang mendatangkan pahala Swarga.[17]

Pustaka Wedantasutra memerikan gagasan perpindahan jiwa (nyawa) dari Swarga ke Buloka. Menurut pustaka ini, jiwa yang rajin berkurban dan berderma semasa hidup di dunia akan naik ke Swarga, dan apabila tiba saatnya untuk turun kembali ke dunia, jiwa itu akan menjelma menjadi mega mendung yang nantinya mengembun menjadi butir-butir air hujan lalu menitik ke bumi dan diserap tanaman pangan. Jika tanaman pangan itu diolah menjadi santapan, lalu disantap seorang lelaki, maka masuklah jiwa itu ke dalam air maninya, yang nanti akan berpindah ke dalam rahim seorang perempuan melalui sanggama, lalu terlahir kembali. Pustaka ini menggunakan istilah sampata untuk menyebut gagasan yang memungkinkan orang naik ke Swarga. Dikatakan pula bahwa jiwa yang berperilaku baik selama berada di Swarga akan terlahir sebagai seorang Brahmana, Satria, atau Wesia, sementara yang tidak berperilaku baik akan terlahir sebagai makhluk-makhluk yang lebih rendah derajatnya, misalnya orang yang tidak berkasta atau mahkluk hidup selain manusia.[18]

Mundakopanisad menandaskan betapa pentingnya pelaksanaan upacara-upacara Weda demi beroleh pahala Swarga.[19]

Purana

Bagawatapurana menyatakan bahwa Swarga adalah alam yang diperuntukkan bagi orang yang sanggup membedakan baik-buruk perbuatan, dan mengasihi sesama manusia dengan berbuat kebajikan bagi mereka. Menurut pustaka ini, orang baik dan berbudi luhur lagi bertakwa adalah jenis orang yang dapat naik ke Swarga, yang disifatkan sebagai alam kenikmatan, tempat kemerduan alunan musik surgawi, keelokan paras makhluk-makhluk surgawi, dan aneka rupa benda surgawi mampu memuaskan hasrat insan mana pun. Lama waktu berdiam di Swarga ditentukan oleh seberapa kaya punya (budi pekerti yang luhur) seseorang. Kecerdasan yang mumpuni saja tidak cukup melayakkan seseorang untuk naik ke Swarga, tingkat kesucian batinnya pun harus memadai.[20]

Ramayana

Di dalam wiracarita Ramayana dikatakan bahwa mengayakan punya dan berbuat kebajikan adalah prasyarat beroleh Swarga.[21]

Baca juga

Rujukan

  1. ^ In Praise of the Goddess: The Devimahatmya and Its Meaning (dalam bahasa Inggris). Nicolas-Hays, Inc. 2003-12-01. hlm. 189. ISBN 978-0-89254-616-9. 
  2. ^ Doniger, Wendy (2022). After the War: The Last Books of the Mahabharata (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 11. ISBN 978-0-19-755339-8. 
  3. ^ B. K. Chaturvedi (2004). Shiv Purana. Diamond Pocket Books. hlm. 124. ISBN 8171827217. 
  4. ^ Williams, George M. (2008-03-27). Handbook of Hindu Mythology (dalam bahasa Inggris). OUP USA. hlm. 150. ISBN 978-0-19-533261-2. 
  5. ^ Muller, F. Max (2013-11-05). The Upanisads (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 61. ISBN 978-1-136-86449-0. 
  6. ^ Hiltebeitel, Alf (2001-10-30). Rethinking the Mahabharata: A Reader's Guide to the Education of the Dharma King (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. hlm. 149. ISBN 978-0-226-34054-8. 
  7. ^ Craig, Edward (1998). Routledge Encyclopedia of Philosophy: Index (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. hlm. 254. ISBN 978-0-415-07310-3. 
  8. ^ Coulter, Charles Russell; Turner, Patricia (2013-07-04). Encyclopedia of Ancient Deities (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 447. ISBN 978-1-135-96390-3. 
  9. ^ Buck, William (2021-06-08). Ramayana (dalam bahasa Inggris). Univ of California Press. hlm. 9. ISBN 978-0-520-38338-8. 
  10. ^ Bane, Theresa (2014-03-04). Encyclopedia of Imaginary and Mythical Places (dalam bahasa Inggris). McFarland. hlm. 136. ISBN 978-0-7864-7848-4. 
  11. ^ Fausbøll, V. (1903). Indian mythology according to the Mahābhārata : in outline. London: Luzac. ISBN 0-524-01055-2. OCLC 690682510. 
  12. ^ Klostermaier, Klaus K. (2014-10-01). A Concise Encyclopedia of Hinduism (dalam bahasa Inggris). Simon and Schuster. hlm. 91. ISBN 978-1-78074-672-2. 
  13. ^ Walker, Benjamin (2019-04-09). Hindu World: An Encyclopedic Survey of Hinduism. Dua Jilid. Jilid II M-Z (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 210. ISBN 978-0-429-62419-3. 
  14. ^ Bonnefoy, Yves (1993-05-15). Asian Mythologies (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. hlm. 52. ISBN 978-0-226-06456-7. 
  15. ^ Cush, Denise; Robinson, Catherine; York, Michael (2012-08-21). Encyclopedia of Hinduism (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 595. ISBN 978-1-135-18979-2. 
  16. ^ Dutt, Romesh Chunder (1890). A History of Civilization in Ancient India: Based on Sanscrit Literature (dalam bahasa Inggris). Thacker, Spink and Company. hlm. 295. 
  17. ^ The Atharva-Veda Described: With a Classified Selection of Hymns, Explanatory Notes and Review (dalam bahasa Inggris). Christian Literature Socity for India. 1897. hlm. 59–60. 
  18. ^ The Taittirīya-upanishad (dalam bahasa Inggris). Printed at the C. T. A. Printing Works. 1903. hlm. 561–563. 
  19. ^ Satchidanandendra, Swami; Saraswati, Swami Satchidanandendra (1997). The Method of the Vedanta: A Critical Account of the Advaita Tradition (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass Publ. hlm. 29. ISBN 978-81-208-1358-8. 
  20. ^ Sinha, Purnendu Narayana (1901). A Study of the Bhagavata Purana: Or, Esoteric Hinduism (dalam bahasa Inggris). Freeman & Company, Limited. hlm. 236. 
  21. ^ Guruge, Ananda W. P. (1960). The Society of the Ramayana (dalam bahasa Inggris). Saman Press. hlm. 269. 

Templat:Death in Hinduism Templat:Heaven