Pembantaian Maliana
Pembantaian Maliana adalah yang tragedi pembunuhan massal yang terjadi di Kantor Kepolisian Resor (Polres) Maliana, Kabupaten Bobonaro, pada tanggal 8 September 1999. Dengan bersenjatakan parang dan membawa daftar nama, sekitar 100 anggota milisi Dadarus Merah Putih (DMP), dibantu oleh pasukan Brimob dan TNI yang mengepung lokasi, memasuki kantor Polres Maliana pada pukul lima sore. Mereka kemudian membunuh para pengungsi yang namanya tertera dalam daftar. Sebuah pembantaian susulan juga dilakukan sehari berikutnya dengan sasaran para pengungsi yang kabur dari kantor polisi.[3][4]
Pembantaian Maliana | |
---|---|
Bagian dari Pendudukan Indonesia di Timor Timur dan Genosida Timor Timur | |
Lokasi | Kantor Kepolisian Resor Maliana, Maliana |
Koordinat | 8°59′26″S 125°13′01″E / 8.9906°S 125.2169°E |
Tanggal | 8 September 1999 | (UTC+9)
Sasaran | Warga Timor Timur pro-kemerdekaan |
Jenis serangan | Pembantaian |
Korban tewas | 47[1][2] 19 (jumlah resmi dari CNRT)[2] |
Pelaku | Dadarus Merah Putih , ABRI (khususnya Angkatan Darat dan Polri) |
Anggota pelaku | 100 anggota milisi |
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Timor Leste |
Garis waktu |
Topik |
Latar belakang
Menjelang pelaksanaan jajak pendapat yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999, para pimpinan milisi pro-Indonesia mulai merasa gelisah akan kemungkinan kekalahan kelompok pro-otonomi di kotak suara. Oleh karenanya, pada tanggal 10 Agustus 1999, beberapa tokoh pro-otonomi seperti Guilherme dos Santos dan João da Costa Tavares, mengadakan rapat di kantor Bupati Bobonaro.[2]
Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa milisi (terutama DMP dan Halilintar dan TNI akan bekerja sama untuk terus mengintimidasi pemilih. Setelah jajak pendapat selesai, mereka akan memancing Falintil untuk bereaksi dengan memprovokasi dan mengintimidasi para pendukung kemerdekaan. Kemudian, setelah Falintil terpancing, mereka akan membunuh warga yang pro-kemerdekaan. Untuk memfasilitasi ini, Dos Santos dan Tavares mengusulkan pembuatan daftar nama yang berisi orang-orang pendukung kemerdekaan, sedang Letnan Kolonel (Kav) Burhanuddin Siagian selaku Dandim Bobonaro berperan memasok senjata.[2][5][6]
Pada tanggal 18 Agustus 1999, pihak milisi memaksa petugas UNAMET untuk kembali ke markas mereka dan membunuh seorang pelajar. Akibatnya, Ketua Perwakilan UNAMET, Ian Martin , melayangkan protes tertulis kepada Ketua Satgas P3TT (Pelaksanaan Penentuan Pendapat Timor-Timur), Agus Tarmidzi. Martin meminta agar para perwira TNI yang terlibat dalam pembinaan milisi segera diganti, termasuk Letkol (Kav) Siagian selaku Dandim 1636 Bobonaro.[7] Akhirnya, pada tanggal 25 Agustus 1999, Siagian digantikan oleh Letkol (Inf) Bambang Supriyanto.[2]
Namun, secara tiba-tiba, Siagian muncul lagi di Maliana pada hari pemungutan suara. Bahkan, kini muncul laporan bahwa para milisi telah diberi pasokan senjata yang baru. Pada tanggal 2 September, milisi membunuh dua orang petugas UNAMET setempat, yakni Ruben Barros Soares dan Domingos Pereira. Terlibat pula dalam insiden ini dua orang perwira TNI, yakni Letnan Satu (Inf) Sutrisno dan Sersan Mayor Assis Fontes. Insiden ini memaksa petugas UNAMET untuk mundur dari Maliana dan kembali ke Dili.[2][8]
Sehari berikutnya, milisi memaksa warga yang pro-kemerdekaan untuk mengungsi ke Kantor Polres Maliana dan membakar rumah mereka. Sebab kantor polisi menjadi penuh sesak, maka kelebihan pengungsi dipindahkan ke RSUD Maliana dan gelanggang olahraga setempat. Sebelumnya, pada tanggal 31 Agustus, ABRI dan milisi telah mengimbau melalui pengeras suara agar warga yang pro-otonomi untuk mengungsi ke markas Kodim dan warga pro-kemerdekaan pindah ke kantor polisi. Akan tetapi, sebagian besar warga tidak menghiraukannya.[2]
Setelah warga pro-kemerdekaan berhasil dipaksa untuk mengungsi di kantor Polres, polisi dan para tokoh setempat bekerja sama membuat daftar nama mereka yang diungsikan. Alasan yang dikemukakan adalah untuk mempermudah pengiriman bantuan makanan kepada para pengungsi. Bantuan tersebut, tentunya, tidak pernah dikirimkan.[9]
Pembantaian
Pada tanggal 6 September, Siagian menggelar rapat di kantor Polres Maliana yang juga dihadiri beberapa tokoh seperti Kapolres Maliana Letkol (Pol) Budi Susilo (Kepala Polisi Resort Maliana), Bupati Guilherme dos Santos, dan ketua DMP Natalino Monteiro serta wakilnya Marcos Tato Mali. Letkol Budi Susilo meminta agar para pengungsi dipindahkan ke bagian belakang kompleks kantor dengan dalih memberi ruang bagi para personel polisi dan keluarganya yang ditarik mundur dari Polsek di sekitar Maliana sebagai bagian dari proses penarikan mundur pasukan Indonesia setelah kekalahan Indonesia dalam jajak pendapat. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah personel polisi di kompleks Polres menjadi 435 orang.[2][10]
Dua hari berikutnya, Natalino Monteiro dan wakilnya Marcos Tato Mali memberikan pengarahan kepada anggota milisi Dadarus Merah Putih di kediaman Monteiro di Ritabou . Dalam pengarahan tersebut juga hadir personel dari TNI, termasuk seorang perwira Satuan Gabungan Intelijen (SGI) dari Kopassus bernama Rizal. Rizal memberi daftar nama-nama pendukung kemerdekaan yang akan dibunuh di kantor Polres. Beberapa nama di antaranya adalah Camat Maliana, Julio Barros, dan Kepala Desa Ritabou, Domingos Pereira. Sebelum pergi ke kantor Polres, para milisi DMP akan diberangkatkan dengan dua kendaraan ke markas Koramil 1636-01 di Maliana untuk bergabung dengan anggota milisi lain yang sudah menunggu di sana. Mereka diperintahkan untuk menggunakan cat samaran pada wajah mereka. Sebagian juga memakai ikat kepala berwarna merah putih.[11] Lettu (Inf) Sutrisno menjadi komandan lapangan operasi ini.[2]
Sebelum serangan dimulai, seorang saksi melihat Siagian dan Monteiro melewati kantor Polres dan berhenti di sebuah pos penjagaan TNI yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi kejadian untuk berbicara dengan tentara.[2] Pada pukul lima atau enam sore, para milisi yang dipersenjatai dengan parang, pedang, dan pisau memasuki kompleks Kantor Polres dari segala sisi dan secara sistematis mencari dan membunuh para tahanan yang namanya tertera dalam daftar. Mereka dipisahkan dari tahanan lain sebelum kemudian dibunuh. Sebagian dibunuh di hadapan keluarga mereka sendiri. Di belakang barisan mereka terdapat tentara dan polisi (termasuk anggota Brimob).[4][11][12]
Semua petugas polisi, kecuali delapan orang yang dicurigai pro-kemerdekaan, dalam keadaan bersenjata. Sebagian pengungsi yang panik meminta bantuan kepada anggota Brimob, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Semua personel polisi telah diperintahkan oleh Letkol (Pol) Budi Susilo untuk tidak ikut campur.[11] Bahkan, Letkol (Pol) Budi Susilo malah mengancam para pengungsi yang panik bahwa mereka juga akan dibunuh.[12] Sebagian petugas polisi justru memperparah keadaan dengan mencegah korban yang hendak melarikan diri. Para pengungsi berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berbagai cara, seperti memanjat pohon, naik ke atas plafon bangunan kantor, atau bersembunyi di lemari dan matras.[2][5][10][11] Seorang saksi mengatakan bahwa saat kejadian, dia melihat Siagian, Sutrisno, dan Budi Susilo berjalan di tengah-tengah kerumunan, mengamati jalannya operasi.[12]
Pembantaian itu berlangsung selama tiga jam. Setelah usai, mayat-mayat korban dibawa oleh milisi dengan dua kendaraan, sebuah mobil Toyota Kijang berwarna gelap dan sebuah mikrolet, ke Batugade untuk dibuang ke laut sesuai perintah Letkol Siagian dan Lettu Sutrisno.[2][11][9] Seorang saksi membeberkan jumlah korban dari serangan tersebut sebanyak 47 orang. Meski demikian, cabang CNRT setempat hanya berhasil mengidentifikasi sebanyak 19 korban.[2]
Pembantaian susulan
Setelah pembantaian di Maliana selesai, para milisi memburu pengungsi yang berhasil kabur dari kejadian tersebut. Setelah kabur dari Maliana, para penyintas yang selamat saling bertemu di belakang sekolah di Desa Holsa . Mereka kemudian menyeberangi Jembatan Nunura (dulu Jembatan Soso) dan berpisah dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelamatkan diri, dengan salah satu kelompok berada di Desa Mulau. Keberadaan mereka dilaporkan oleh seorang penduduk desa kepada milisi DMP di Ritabou .[2]
Alhasil, anggota DMP di bawah komando Sersan TNI Miguel Soares, seorang perwira seksi intelijen Korem 1636/Maliana, memburu mereka. Setelah berhasil tertangkap, kelompok pengungsi yang berjumlah 13 orang itu dibawa ke sebuah kolam dan ditembak mati. Mayat mereka kemudian dibawa oleh sebuah truk berwarna kuning ke Batugade untuk dibuang ke laut.[2][11] Di hari yang sama, pembunuhan juga terjadi di Desa Odomau. Dua orang penyintas, Avalino Tilman dan Victor dos Santos, dibunuh oleh anggota DMP di bawah pimpinan Sersan TNI Frederico M. Pires dan Kopral Romeu da Silva, keduanya perwira Korem 1636/Maliana. Pada tanggal 13 September, dua orang penyintas lainnya, Francisco Teresao dan Lemos Guterres, dibunuh di Rokon (bagian dari Desa Holsa ) atas perintah Sersan Pires.[2]
Referensi
- ^ Rimmer 2010, hlm. 182.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Sahude, Syaldi (1 Juli 2007). "LtCol (Cav) Burhanuddin Siagian". Masters of Terror. Diakses tanggal 24 Mei 2024.
- ^ Sahude, Syaldi (1 Juli 2007). "Maliana". Masters of Terror. Diakses tanggal 20 Mei 2024.
- ^ a b Fichtelberg 2015, hlm. 149.
- ^ a b Sahude, Syaldi (1 Juli 2007). "Guilherme dos Santos". Masters of Terror. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-20. Diakses tanggal 1 September 2018.
- ^ Sahude, Syaldi (1 Juli 2007). "Natalino Monteiro". Masters of Terror. Diakses tanggal 24 Mei 2024.
- ^ Martin 2010, hlm. 76-77.
- ^ Sahude, Syaldi (1 Juli 2007). "First Lt (Inf) Sutrisno". Masters of Terror. Diakses tanggal 24 Mei 2024.
- ^ a b Special Panels for Serious Crimes; District Court of Dili (15 Juli 2004). "The Prosecutor v. Lt Col Burhanuddin Siagian and others".
- ^ a b Sahude, Syahli (1 Juli 2007). "LtCol (Pol) Budi [Munikh] Susilo". Masters of Terror. Diakses tanggal 24 Mei 2024.
- ^ a b c d e f "Bab 7.3: Pemindahan Paksa dan Kelaparan" (PDF). Chega! Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR). 2006.
- ^ a b c Jolliffe, Jill (27 November 1999). "A Traumatised Town Craving UN Justice". Sydney Morning Herald. Diakses tanggal 24 Mei 2024.
Daftar pustaka
- Fichtelberg, Aaron (2015). Hybrid Tribunals: A Comparative Examination. London: Vintage Books. ISBN 9780802142931.
- Martin, Ian (2010). Self-Determination in East Timor: The United Nations, the Ballot, and International Intervention. London: Lynne Rienner. ISBN 9781588260338.
- Rimmer, Susan Harris (2010). Gender and Transitional Justice: The Women of East Timor. London: Routledge. ISBN 9780415561181.