Rezeki dalam Islam

Revisi sejak 10 September 2024 06.14 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (menambahkan konten dan rujukan)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Rezeki dalam Islam diartikan sebagai segala hal yang memberikan manfaat kepada makhluk ciptaan Allah. Kata "rezeki" disebutkan sebanyak 123 kali di dalam Al-Qur'an dengan bentuk fi'il, isim dan makna yang berbeda-beda. Makna dari rezeki dalam Islam meliputi pemberian, makanan, hujan, nafkah, pahala atau balasan, surga, syukur dan buah-buahan. Rezeki diberikan dalam dua bentuk, yaitu rezeki zahir dan rezeki batin. Perolehan rezeki telah diterima sejak di dalam rahim hingga di akhirat. Penyumbangan terhadap rezeki dilakukan dalam berbagai bentuk yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

Terminologi

Kata rezeki berasal dari bahasa Arab yaitu رزق – يرزق - زرقا. Ketiga kata tersebut memiliki arti yang berkaitan dengan kata kerja "memberi". Rezeki juga dapat berasal dari kata كل ما ينتفع به yang bermakna segala sesuatu yang bermamfaat. Kata رزق secara mendasar berarti pemberian untuk waktu tertentu. Sedangkan pemberian dalam kata lain seperti هبة (hibah) memiliki arti sebagai pemberian yang diberikan dalam waktu selamanya.[1] Kata-kata yang berkaitan dengan rezeki di dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 123 kali. Dalam bentuk fi'il, kata tersebut disebutkan sebanyak 61 kali, sedangkan dalam bentuk isim disebutkan sebanyak 62 kali. Kumpulan kata ini tersebar di 41 surah di dalam Al-Qur'an.[2]

Pemaknaan

Ibnu al-Jauzi mengemukakan bahwa para ahli tafsir mengartikan rezeki dalam sepuluh makna.[3] Makna kata "rezeki" berbeda-beda yang meliputi pemberian, makanan, hujan, nafkah, pahala atau balasan, surga, syukur dan buah-buahan.[2]

Pemberian

Makna rezeki sebagai pemberian disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 3. Pemaknaan rezeki sebagai pemberian dikaitkan dengan pemberian nafkah yang telah Allah berikan kepada manusia. Rezeki ini diberikan kepada manusia yang beriman terhadap hal-hal yang gaib dan yang mendirikan salat.[3]

Pada Surah Al-Hajj ayat ke-50 dan pada Surah Saba' ayat ke-4 dinyatakan bahwa Allah akan memberikan rezeki yang mulia sekaligus ampunan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan.[4] Ajaran Islam tidak memperbolehkan pencarian rezeki dengan menghalalkan segala cara. Pada Surah Al-Baqarah ayat ke 188 terdapat larangan Allah untuk menghalalkan harta orang lain yang tidak halal diperoleh oleh seseorang yang lain. Larangan ini termasuk pula dengan penghalalan harta melalui penyuapan kepada hakim untuk memperoleh sebagian harta orang lain.[5]

Makanan

Surah Al-Ma'idah ayat 88 menyatakan bahwa makanan adalah salah satu bentuk rezeki dari Allah. Sifat dari makanan dalam ayat ini ialah pemberian yang halal dan baik.[6] Makna rezeki sebagai pemberian disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 25. Ayat ini menjelaskan rezeki sebagai makanan yang disediakan bagi manusia yang beriman dan berbuat baik. Rezeki dalam konteks ayat ini berkaitan dengan makanan di surga sebagai kabar gembira bagi manusia. Bentuk rezekinya berupa buah-buahan yang serupa dengan yang pernah mereka makan. Rezeki lainnya berupa istri-istri yang suci dan kekekalan di dalam surga.[7]

Rezeki juga dapat diartikan sebagai makan siang dan makan malam. Keterangannya diperoleh dalam Surah Maryam ayat 62. Ayat ini menjelaskan tentang pemberian makanan bagi penghuni surga yang diberikan tiap pagi dan petang.[8]

Bentuk

Bentuk rezeki tidak hanya berupa harta atau benda. Rezeki dapat berbentuk berbagai hal yang penting bagi kehidupan, seperti kesehatan, keterampilan dan kekuatan tubuh.[9] Rezeki dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu rezeki zahir dan rezeki batin. Rezeki zahir merupakan rezeki yang bermanfaat bagi tubuh, sedangkan rezeki batin yang bermanfaat bagi hati dan jiwa.[10]

Perolehan

Rezeki merupakan salah satu hal yang telah ditetapkan oleh Allah ketika manusia masih berada di dalam rahim ibunya. Hal lainnya adalah ajal, amal dan takdir untuk hidup sengsara atau bahagia. Ketetapan Allah ini tertulis di dalam kita Lauh Mahfuz. Keterangan mengenai hal tersebut berada di dalam Surah Az-Zariyat ayat 22. Rezeki dari Allah juga diberikan dari dalam Bumi. Salah satunya ialah besi yang disebutkan dalam Surah Al-Hadid ayat 25. Rezeki juga diperoleh melalui 8 jenis hewan ternak yang disebutkan dalam Surah Az-Zumar ayat 6. Allah juga telah menetapkan kadar rezeki yang diberikan oleh-Nya. Keterangan untuk hal ini termuat dalam Surah Al-Hijr ayat 21.[11] Kadar rezeki yang diberikan oleh Allah tidak diketahui oleh siapapun selain-Nya.[12]

Perolehan rezeki dari Allah terhadap manusia merupakan yang terbaik dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Keterangan tersebut tersirat di dalam Surah Al-Isra' ayat 70. Awal ayat ini berisi firman Allah tentang pemuliaan keturunan Adam melalui pengangkutan di daratan dan di lautan. Ayat ini kemudian dilanjutkan dengan keterangan bahwa Allah memberikan rezeki yang sifatnya baik kepada manusia. Rezeki ini memiliki kelebihan yang sifatnya sempurna bila dibandingkan dengan rezeki yang Allah berikan kepada jenis makhluk lainnya. Kebaikan rezeki dari Allah ini berkaitan dengan pemberian yang halal dan terhindar dari yang haram.[13]

Allah memberikan rezeki kepada individu manusia dengan jumlah yang berbeda-beda. Ini sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang dari-Nya. Bagi individu yang bila memiliki banyak rezeki ia cenderung berbuat kejahatan, Allah akan membatasi jumlah rezekinya. Sebaliknya, bagi individu yang bila memiliki sedikit rezeki ia cenderung berbuat kejahatan, Allah akan membuat rezekinya melimpah. Pengaturan ini bertujuan untuk memudahkan setiap individu manusia memperoleh kemudahan untuk meraih surga bagi orang-orang yang beriman.[14]

Penyumbangan

Penyumbangan rezeki tidak harus menggunakan uang semata, tetapi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk lain. Bentuknya seperti menggunakan tenaga, ilmu, pengetahuan, atau keterampilan yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Di dalam Surah Al-Baqarah ayat 3, terdapat anjuran kepada manusia untuk menginfakkan rezeki yang dtelah diberikan oleh Allah.[9]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Mahmud dan Hamzah 2020, hlm. 470.
  2. ^ a b Mahmud dan Hamzah 2020, hlm. 470-471.
  3. ^ a b Thaib dan Zamakhsyari 2016, hlm. 11.
  4. ^ Yani 2008, hlm. 146.
  5. ^ Yani 2008, hlm. 20.
  6. ^ Yani 2008, hlm. 37.
  7. ^ Thaib dan Zamakhsyari 2016, hlm. 11-12.
  8. ^ Thaib dan Zamakhsyari 2016, hlm. 12.
  9. ^ a b asy-Sya'rawi, M. Mutawalli (2007). Basyarahil, U., dan Legita, I. R., ed. Anda Bertanya Islam Menjawab. Diterjemahkan oleh al-Mansur, Abu Abdillah. Jakarta: Gema Insani. hlm. 5. ISBN 978-602-250-866-3. 
  10. ^ Thaib dan Zamakhsyari 2016, hlm. 8.
  11. ^ Mahmud dan Hamzah 2020, hlm. 471-472.
  12. ^ Mahmud dan Hamzah 2020, hlm. 472.
  13. ^ Une, D., dkk. (2015). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi (PDF). Gorontalo: Ideas Publishing. hlm. 33. ISBN 978-602-9262-56-8. 
  14. ^ asy-Sya'rawi, M. Mutawalli (2020). Basyarahil, U., dan Legita, I. R., ed. Anda Bertanya Islam Menjawab. Diterjemahkan oleh al-Mansur, Abu Abdillah. Jakarta: Gema Insani. hlm. 67. ISBN 978-602-250-866-3. 

Daftar pustaka