Mugiyanto
Mugiyanto, dipanggil juga dengan nama Mugi, atau dikenal juga dengan nama lengkap Mugiyanto Sipin adalah aktivis reformasi 1998 dari SMID, yang diculik dan mengalami penyiksaan[1]. Ia kini aktif memperjuangkan hak asasi manusia dengan menjadi Senior Program Officer HAM dan Demokrasi INFID. Ia juga diangkat menjadi Tenaga Ahli Madya Kedeputian V, Kantor Staf Presiden.[2]
Kronologi penculikan
Sebelumnya ia bersama aktivis lain telah berusaha bersembunyi karena pengejaran aparat. Mugiyanto bersembunyi di Rusun Klender. Tanggal 13 Maret 1998, ia menghubungi Nezar Patria agar tidak membelikan lagi makanan karena sudah mendapat makanan dari acara yang diikuti sebelumnya, terkait solidaritas untuk Timor Leste. Di acara tersebut ia menyuarakan demokratisasi Indonesia dan sebelumnya juga menyuarakan desakan pembebasan Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari di markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro.[1]
Gelagat mencurigakan mulai dirasakan Mugiyanto saat sekelompok ibu-ibu menatap kedatangannya lalu buru-buru membubarkan diri. Ia mengetuk pintu kamar, mengira rekannya Aan dan Nezar Patria ada di dalam. Ia lalu membuka kunci dan menyaksikan kamarnya berantakan, laptop raib, dan berbagai buku sudah tidak ada. Gagang telepon juga tidak ditaruh sebagaimana mestinya. Mugiyanto kemudian mengintip keluar dan menyaksikan beberapa orang bertubuh tegap dan berambut cepak berjaga di bawah rusun. Ia berusaha melarikan diri., namun posisinya sudah terkepung. Ia kemudian ditangkap tanpa perlawanan berarti. [1]
Mugiyanto kemudian dibawa ke Komando Rayon Militer Duren Sawit. Di sana ia bertemu Jaka, yang ternyata Kapten Inf Jaka Budi Utama, anggota Tim Mawar Kopassus. Mereka dibawa ke Komando Distrik Militer Jakarta Timur, diangkut mobil Polisi Militer. Jaka kemudian menghilang, dan Mugiyanto menduga sedang terjadi saling rebut tahanan antara berbagai kesatuan di tubuh militer. Dari sana ia diambil lagi oleh dua perwira, matanya ditutupi, dan dibawa lagi ke markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. [1]
Selama dalam penculikan, Mugiyanto terus disiksa dan diinterogasi terkait aktivitas mereka yang berusaha menurunkan Soeharto, mencabut Dwifungsi ABRI, hingga membangun sistem multipartai. Interogator juga berusaha menyelidiki hubungan mereka dengan Megawati Sukarnoputri dan Abdurrahman Wahid. Keberadaan Andi Arief dan Widji Thukul juga ditanyakan. Ia langsung disiksa dengan pukulan bahkan setruman listrik jika jawabannya dianggap tidak memuaskan. Ia kemudian menyadari disiksa di ruang yang sama dengan Aan dan Nezar Patria. [1]
Tanggal 15 Maret 1998, ketiganya dinyatakan dijerat dengan Undang-Undang Anti Subversi. Akhir Maret ia diperbolehkan menerima kunjungan dari ayahnya. Selama masa ini, ia beberapa kali dipinjam oleh kesatuan lain untuk diperiksa. Pada 6 Juni 1998, setelah Soeharto turun dan UU Subversi ditiadakan, Mugi dan rekan-rekannya dibebaskan. Ia ditampung oleh Pejuang HAM, Munir dan diminta berkeliling mengkampanyekan perlawanan terhadap penghilangan orang di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya iamenjadi koresponden stasiun televisi Belanda, NOS, dan kerap meliput persoalan politik.[1]
Dampak psikologis
Setelah dilepaskan, ia mengalami trauma secara permanen. Bunyi handie talkie, suara radio membuatnya teringat kembali penculikan tersebut. Ia juga selalu merasa diawasi orang lain saat pergi ke mana pun. [3][4]
- ^ a b c d e f Kisah Mencekam Mugiyanto, Korban Penculikan 1998 Dekati Maut. dari situs CNN Indonesia
- ^ KSP Moeldoko Ajak Tiga Deputi Tampung Kritik dan Masukan Masyarakat NTB. dari situs KSP
- ^ Kisah Mugiyanto Korban Penculikan 1998: Aku Dihajar, Disetrum, Diancam Dibunuh. dari situs kumparan
- ^ Mugiyanto mencari keadilan. dari situs berita BBC.com