Sastra Lampung

Sastra Melayu lama di Sumatra

Sastra Lampung adalah sastra yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media kreasi, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Sastra Lampung memiliki kedekatan dengan tradisi Melayu yang kuat dengan pepatah-petitih, mantra, pantun, syair, dan cerita rakyat.

Sastra Lisan

Sastra lisan Lampung adalah milik suku Lampung secara kolektif. Ciri utamanya kelisanan, anonim, dan lekat dengan kebiasaan, tradisi, dan adat istiadat dalam kebudayaan masyarakat Lampung. Sastra ini banyak tersebar dalam masyarakat, dan merupakan bagian sangat penting dari khazanah budaya etnis Lampung.

Jenis Sastra Lisan Lampung

A. Effendi Sanusi (1996) membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa, teka-teki, mantra, puisi, dan cerita rakyat.

Sesikun/Sekiman (Peribahasa)

Sesikun/Sekiman adalah jenis sastra yang menggunakan bahasa kiasan, atau tidak bermakna harfiah. Fungsinya beragam, mulai dari alat pemberi nasihat, motivasi, sindiran, celaaan, sanjungan, perbandingan, juga pemanis dalam berbahasa.

Berikut beberapa contoh sesikun atau sekiman:

1. Di kedo biduk teminding, di san wai tenimbo.

  • Arti harfiah: “Di mana sampan berlabuh, di situ air ditimba.”
  • Arti asli: Pandai-pandailah membawa diri, bersikaplah sesuai dengan adat-istiadat setempat.

2. Dang happuk di kemutik, beguno ki gayah.

  • Arti harfiah: “Jangan membuang buah muda, berguna saat susah.”
  • Artinya: Jangan meremehkan orang yang tidak punya atau orang bodoh;siapa tahu, dalam keadaan tertentu, justru mereka yang bisa membantu.

Seganing/Teteduhan (Teka-Teki)

Seganing/Teteduhan adalah soal yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau untuk pengasah pikiran. Contohnya:

Sanak sango muaghei lapah di sabah, makai kawai besei, kepiahno adek bah. Nyo kidah?

(Sanak-saudara pergi ke sawah, berbaju besi, kopiah mengarah ke bawah. Apa itu?)

Memang (Mantra)

Memang adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib; dapat menyembuhkan, dapat mendatangkan celaka, dan sebagainya.

Warahan (Cerita Rakyat)

Warahan adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan; bisa berbentuk epos, sage, fabel, legenda, mite, atau semata-mata fiksi.

Puisi jenis lucu Lampung

Puisi Lampung memiliki ciri-ciri khusus dalam penyusunannya, di antaranya:

  1. Umumnya menggunakan rima ABAB, walau ada yang AAAA.
  2. Satu larik terdiri atas 7 suku kata, walau variasi ada dengan jumlah 4 sampai 10 suku kata.
  3. Satu bait umumnya terdiri dari 4 baris, walau terdapat variasi.

Bentuk-Bentuk Puisi Lampung

Puisi-puisi Lampung dibedakan berdasarkan fungsi mereka. Berdasarkan fungsi, ada lima macam puisi Lampung, yang masing-masing memiliki beragam nama tergantung dialek:

  1. Paradinei/paghadini
  2. Pepaccur/pepaccogh/wawancan
  3. Pattun/segata/adi-adi
  4. Bebandung
  5. Ringget/pisaan/dadi/highing-highing/wayak/ngehahaddo/hahiwang.

Paradinei/Paghadini

Paradinei/paghadini adalah puisi Lampung yang biasa digunakan dalam upacara penyambutan tamu pada saat berlangsungnya pesta pernikahan secara adat. Paradinei/paghadini diucapkan juru bicara masing-masing pihak, baik pihak yang datang maupun yang didatangi. Secara umum, isi paradinei/paghadini berupa tanya-jawab tentang maksud atau tujuan kedatangan (A. Effendi Sanusi).

Contoh1:

Dari pihak yang datang:

Penano cawono pun, tabik ngalimpuro.
Sikam jo keno kayun, tiyan sai tuho rajo.
Ki cawo salah susun, maklum kurang biaso.

Dari pihak yang didatangi:

Sikam nuppang betanyo, jamo metei sango iringan.
Metei jo anjak kedo, nyo maksud dan tujuan?
Mak dapek lajeu di jo, ki mak jelas lapahan.

Contoh 2:

 Tabik pun nabik tabik,tabik pun ngalimpukha
 Sikam jo sanak tippik, haga numpang butanya
 Mahap ki salah cutik, gekhalna mangkung biasa
 Sikam numpang butanya, jama pekhwatin si wat dija
 Kuti jo anjak ipa, api haga cekhita?

Pepaccur/Pepaccogh/Wawancan

Pepaccur/Pepaccogh/Wawancan adalah salah satu jenis sastra lisan Lampung yang berbentuk puisi, lazim digunakan untuk menyampaikan pesan atau nasihat dalam upacara juluk adek/adok (pemberian gelar).

Sudah menjadi adat masyarakat Lampung, bahwa pada saat bujang atau gadis meninggalkan masa remajanya, pasangan pengantin itu diberi adek/adok sebagai penghormatan dan tanda bahwa mereka sudah berumah tangga. Pemberian adek/adok dilakukan dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah ngamai adek/ngamai adok, atau jika dilakukan di tempat mempelai wanita, nandekken adek dan inei adek/nandok.

 Gelakhne ... anjak ...
 Bingi hinji lagi senang sekhta bahagia
 Lain moneh tipugampang astawa dipumudah
 Adokne sanak sinji yakdo lah ...

Pattun/Segata/Adi-Adi

Pantun/Segata/Adi-Adi adalah salah satu jenis puisi Lampung yang digunakan dalam acara-acara yang sifatnya untuk bersukaria, misalnya pengisi acara muda-mudi nyambai, miyah damagh, dan kedayek.

Contoh pattun/segata:

Bukundang Kalah Sahing

Numpang pai nanom peghing
Titanom banjagh capa
Numpang pai ngulih-ulih
Jama kutti sai dija

Adek kesaka dija
Kuliak nambi dibbi
Adek gelagh ni sapa
Nyin mubangik ngughau ni

Budaghak dipa dinyak
Pullan tuha mak lagi
Bukundang dipa dinyak
Anak tuha mak lagi

Payu uy mulang pai uy
Dang saka ga di huma
Manuk disayang kenuy
Layau kimak tigaga

Nyilok silok di lawok
Lentera di balimbing
Najin ghalang kupenok
Kidang ghisok kubimbing

Kusassat ghelom selom
Asal putungga batu
Kusassat ghelom pedom
Asal putungga niku

Kughatopkon mak ghattop
Kayu dunggak pumatang
Pedom nyak sanga silop
Min pitu minjak miwang

Indani ghaddak minyak
Titanom di cenggighing
Musakik kik injuk nyak
Bukundang kalah sahing

Musaka ya gila wat
Ki temon ni peghhati
Ya gila sangon mawat
Niku masangkon budi

Ali-ali di jaghi kiri
Gelang di culuk kanan
Mahap sunyin di kutti
Ki salah dang sayahan

Terjemahannya:

Pacaran Kalah Saingan

Numpang menanam bambu
Ditanam dekat capa
Numpang bertanya
Kepada kalian di sini

Adik kapan kemari
Kulihat kemarin sore
Nama adik siapa
Agar enak memanggilnya

Berladang dimana aku
Hutan tua tiada lagi
Pacaran dengan siapa aku
Anak tua tiada lagi

Ya oi pulang dulu oi
Jangan lama-lama di ladang
Ayam disayang elang
Kacau kalau tak dicegah

Melihat-lihat di laut
Lentera di balimbing
Walau jarang kulihat
Tapi sering kuucap

Kucari ke dasar gelap
Asal bersua batu
Kucari hingga ke tidur
Asal bersua denganmu

Kurebahkan tak rebah
Kayu di ujung pematang
Sejenak aku tertidur
Tujuh kali terbangun menangis

Layaknya ghaddak minyak*
Ditanam di lereng bukit
Betapa derita kurasakan
Pacaran kalah saingan

Sudah lama sebenanya ada
Kalau memang lebih perhatian
Ya memang tidak
Kau menanam budi

Cincin di jari kiri
Gelang di kaki kanan
Maaf semuanya kepada kalian
Kalau salah jangan mengejek

  • Nama pohon untuk pelindung tanaman kopi

Berikan contoh Bubandung santeghi adalah

Ringget/Pisaan

Ringget/pisaan, juga dikenal dengan nama dadi/highing-highing/wayak/ngehahaddo/hahiwang dalam beragam dialek, adalah puisi tradisi Lampung yang lazim digunakan sebagai pengantar acara adat, pelengkap acara pelepasan pengantin wanita ke tempat pengantin pria, pelengkap acara cangget, pelengkap acara muda-mudi (seperti nyambai, miyah damagh, dan kedayek), senandung saat meninabobokan anak, dan pengisi waktu bersantai.

Sastra modern Lampung

Sebagaimana Melayu di Sumatra pada umumnya, Suku Lampung sangat kental dengan tradisi kelisanan. Pantun, syair, mantra, dan berbagai jenis sastra berkembang tidak dalam bentuk keberaksaraan, sehingga wajar jika memiliki pola-pola sastra lama yang serupa sebagai ciri dari kelisanan itu.

Tidak seperti sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern, sastra modern berbahasa Lampung baru bisa ditandai dengan kehadiran kumpulan sajak dwibahasa Lampung Indonesia karya Udo Z. Karzi, Momentum (2002). 25 puisi yang terdapat dalam Momentum tidak lagi patuh pada konvensi lama dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung, baik struktur maupun dalam tema. Dengan kata lain, Udo melakukan pembaruan dalam perpuisian Lampung sehingga ada yang menyebutnya "Bapak Puisi Modern Lampung".

Berikut Karya-karya sastra (berbahasa) Lampung modern:

Kumpulan Puisi

Kumpulan Cerbun

Novel

Lihat Pula

Pranala luar