Puteri Saadong
Puteri Saadong (meninggal 1671), adalah perempuan kedua yang menjadi ratu di Kelantan dan memerintah pada tahun 1667–1671. Ia merupakan anak angkat Siti Wan Kembang (Che Siti) Ratu Kelantan. Ia anak dari Raja Jembal, Raja Loyor bin Raja Sakti, dan istri dari Raja Abdullah.
Puteri Saadong memerintah setelah Siti Wan Kembang turun takhta. Setelah memerintah sebagai Ratu selama empat tahun, Ia diculik dan dijadikan selir Raja Siam.[1]
Legenda
Puteri Saadong dibesarkan di Bukit Marak oleh Che Siti, setelah ibunya meninggal. [2][3]
Che Siti menjodohkan dan menikahkan Puteri Saadong dengan sepupunya sendiri, Raja Abdullah bin Sultan Samiruddin, ketika Ia berusia 15 tahun.[2][3]
Ia ditangkap oleh Kerajaan Siam (sekarang Thailand) dan dipaksa menjadi selir Raja Narai untuk menyelamatkan nyawa suaminya. Karena kejadian itu, Raja Abdullah bersumpah untuk menunggu kepulangan Putri Saadong dan tidak akan menikah lagi. Namun setelah bertahun-tahun menunggu, Raja Abdullah berubah fikiran dan mengingkari sumpahnya untuk menikah lagi.[2][3]
Selama tinggal di Kerajaan Siam, Puteri Saadong mendapat perlakuan yang sangat baik. Meskipun demikan Ia masih memcintai suaminya Raja Abdullah. Ia kemudian memohon kepada Raja Narai untuk dipulangkan jika dapat menyembuhkan penyakitnya. Namun setelah kembali, Ia menemukan kenyataan bahwa suaminya Raja Abdullah telah menikah lagi. Pertengkaran pun terjadi, Puteri Saadong yang diliputi kemarahan, membunuh Raja Abdullah dengan tusuk konde.[2][3]
Setelah kejadian itu, Puteri Saadong meninggalkan Bukit Marak dan kemudian menghilang. Makam Raja Abdullah saat ini masih dapat dilihat dan dikunjungi di Padang Halban, Bachok, Kelantan.
Versi lain mengatakan bahwa Putri Saadong sebenarnya telah difitnah. Dikisahkan Raja Abdullah berencana untuk mengembalikan posisi Putri Saadong sebagai Ratu Kelantan, dan sangat bahagia atas kepulangannya. Hal ini membuat istri baru Raja Abdullah cemburu kemudian membunuhnya. Ia berteriak dan mengatakan pada khalayak bahwa Putri Saadong yang telah membunuh Raja.[2][3]
Referensi
- ^ Aljunied, Khairudin (30 August 2019). Islam in Malaysia: An Entwined History. hlm. 90. ISBN 9780190925215.
- ^ a b c d e Azhar, Syed (2009-08-05), "Residents erasing Bukit Marak history", The Star, diakses tanggal 2010-03-18
- ^ a b c d e Azhar, Syed (2009-08-10), "Museum wants Bukit Marak saved", The Star, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-17, diakses tanggal 2011-03-18