Pengguna:Lim Natee/Bak pasir
La Galigo, epos terpanjang di dunia, merupakan mahakarya sastra yang menjadi saksi sejarah peradaban masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Ditulis dalam aksara Lontara, epos ini mencerminkan warisan budaya yang telah bertahan selama berabad-abad. Pada tahun 2011, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengakui nilai universal La Galigo dengan mencatatnya sebagai bagian dari Memori Dunia (Memory of the World). Pengakuan ini mempertegas peran La Galigo sebagai akar kebudayaan dan kecintaan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap sastra.
Epos ini tidak hanya sekadar naskah kuno yang mengisahkan kehidupan manusia, tetapi juga karya seni sastra dengan keindahan bahasa yang luar biasa. La Galigo mengisahkan perjalanan hidup Sawerigading sebagai tokoh utamanya dan diperkirakan berasal dari tradisi lisan yang berkembang sejak abad ke-14. Naskah ini disusun dalam bentuk puisi yang khas, di mana setiap penggalan frasa terdiri atas lima suku kata. Dengan gaya berpuisi bersuku lima, La Galigo dikenal sebagai salah satu contoh sastra kuno yang mendalam dan unik.
Awalnya, La Galigo ditulis pada media daun lontar menggunakan aksara Lontara. Namun, banyak bagian naskah yang hilang seiring waktu. Sebelum dibukukan, kisah ini menyebar dalam bentuk tradisi lisan, berupa nyanyian, mantra, doa, dongeng, hingga lagu pengantar tidur dan ritual adat. Tradisi lisan ini memungkinkan La Galigo tetap hidup dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjadikannya sebagai simbol keberlanjutan budaya Bugis yang kaya dan beragam.