Saka Guru atau Soko guru dalam budaya Jawa merupakan empat, enam, atau bisa delapan tiang penopang atap yang biasanya berada di sebuah bangunan, Tajug, pendhapa, joglo, maupun masjid khususnya masjid yang memiliki gaya tradisional. Saka guru merupakan elemen bangunan yang paling fundamental pada arsitektur jawa, serta dipenuhi oleh simbolisme dan perlakuan dengan ritual tertentu.[1]

Saka Guru di dalam Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta

Sejarah

 
Saka guru pada serambi Masjid Gedhe Kauman Kraton Yogyakarta

Istilah Saka Guru berasal dari bahasa Sanskerta, Saka bermakna tiang/penopang dan Guru sendiri bermakna Utama. Saka Guru dapat diartikan sebagai tiang utama penyangga sebuah penopang atap dari struktur arsitektural khususnya Arsitektur Jawa. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Saka Guru berarti suatu yang menjadi penegak (negara dan sebagainya). Karena hal tersebut Saka guru bisa memiliki makna simbolis tertentu, bukan hanya dimaknai sebagai penopang struktur bangunan.[2] Secara praktis Saka Guru berfungsi sebagai pendukung struktur atap yang berjenis Tajug lambing gantung atau atap yang berbentuk limasan.

Konstruksi dari sebuah saka guru biasanya digunakan pada bangunan dengan tipe Joglo atau tipe Tajug. Atap tipe Joglo biasanya digunakan untuk rumah-rumah bangsawan, sedangkan tipe tajug digunakan untuk menyangga bangunan suci seperti Masjid atau Candi.

Struktur dan Konstruksi

 
Masjid Mataram Kotagede yang menggunakan tipe atap Tajug

Merupakan salah satu langgam arsitektural yang kaya akan makna, baik dari sisi historis, keagamaan, kemasyarakatan, estetika, dan simbolik.[3] Arsitektur tradisional Jawa memandang bangunan bukan sekadar objek fisik, tetapi juga sebagai sebuah simbol dan bagian dari ritual. Pembentukan arsitektur tradisional Jawa memiliki makna yang berkaitan dengan pemilihan bahan bangunan dan konstruksi, yang dihubungkan dengan pengaturan kosmis, yaitu proses penyucian. Kosmologi adalah konsep yang dimiliki oleh masyarakat Jawa berkaitan dengan kepercayaan, mitos, norma, dan pandangan hidup, yang di dalamnya terkandung keyakinan tentang adanya jagad alit (mikrokosmos) dan jagad gede (makrokosmos).

 
Umpak atau alas tiang kayu

Tiang utama atau kolom dalam struktur rumah Jawa (saka guru) secara langsung menopang atap, bukan dinding. Keempat tiang utama tersebut diletakkan di atas umpak, yaitu batu trapesium tiga dimensi yang berfungsi sebagai penghubung antara tiang dan fondasi. Ukuran umpak bervariasi, mulai dari 20x20cm² hingga lebih dari satu meter persegi, bergantung pada ukuran tiang yang umumnya antara 12 x 12 cm² hingga 40x40cm². Umpak ini berfungsi untuk mencegah tiang kayu terkena air tanah serta mengurangi gaya horizontal yang ditimbulkan oleh gempa bumi.[4]

Dalam pembangunan saka guru, umpak timur laut adalah batu pertama yang diletakkan di lokasi. Umpak ini dirancang menyerupai bunga padma, memberikan kesan kekokohan. Selanjutnya, umpak tenggara diletakkan, diikuti dengan umpak barat laut, dan terakhir umpak barat daya. Tiang-tiang kayu dipasang sesuai dengan arah tumbuh pohon. Setelah saka guru berdiri tegak, diadakan upacara sesaji pada malam hari. [5]

 
Proses pendirian tiang pada alas

Setiap tiang kayu saka guru dilengkapi dengan pen di kedua ujungnya, pen bawah mengikat tiang ke umpak, sementara pen atas (purus pathok) ditancapkan ke dalam lubang dua balok utama. Balok pertama yang dipasang adalah pengeret, diikuti dengan balok kedua, yaitu blandar, yang diletakkan di atas pengeret. Kedua balok ini saling mengunci dan menahan gaya tekan dari struktur saka guru.[5]

Tiang kayu saka guru juga memiliki lubang di bagian atas yang akan diisi oleh pen balok sekunder. Balok pertama disebut sundhuk ("tusuk sate") dan berisi pen yang disebut purus wedokan ("pen betina"). Pen purus wedokan memiliki lubang yang akan dikunci oleh pen balok kedua setelah dimasukkan ke dalam saka guru. Balok kedua dikenal sebagai kili ("jangkar"), dan pen-nya disebut purus lanang ("pen jantan"). Elemen struktur kili dan sunduk berfungsi menstabilkan saka guru. Istilah Jawa untuk pen adalah purus, yang berarti organ seks pria.

 
Bentuk struktur dari rangkaian Saka Guru

Setelah proses penyambungan selesai, saka guru menjadi stabil dan siap menopang atap. Dua atau tiga balok paralel menghubungkan tiang-tiang di bagian atasnya. Tiang-tiang ini bisa langsung menopang rangka atap atau balok atap. Pada rumah joglo, tiang utama biasanya diatapi oleh dua set tiang kayu yang berundak ke dalam, tumpang sari, dan tiang kayu yang berundak ke luar, elar. Jumlah anak tangga pada tumpang sari mencerminkan status pemilik rumah. Usur-duduk adalah kasau pinggul yang membentang dari sudut luar ke punggungan, yang secara tradisional disebut molo.[5]

Referensi

  1. ^ Ulfa, Marya; Junaedi, Sony; Muslimah (2024-05-06). "ANALISIS NILAI BUDAYA TIANG PENYANGGA "SAKA GURU" DI MASJID AGUNG DEMAK". NALAR: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (dalam bahasa Inggris). 3 (1): 29–33. doi:10.56444/nalar.v3i1.1513. ISSN 2962-1488. 
  2. ^ Kusuma, Ajeng (2020). "Kajian Makna Saka Guru di Masjid Gedhé Mataram Kotagede Yogyakarta (Sebuah Tinjauan Arsitektur)". Lintas Ruang: Jurnal Pengetahuan dan Perancangan Desain Interior. 8 (2): 1–10. ISSN 2580-6521. 
  3. ^ A., Prihantoro (2005). Pasar Seni di Jogjakarta: Preseden Arsitektur Tradisional Jawa. Yogyakarta: Perpustakaan FTSP UII. 
  4. ^ "Saka guru". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2024-05-15. 
  5. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0