Okky Madasari

pengarang asal Indonesia

Okky Madasari, Ph.D. (lahir 30 Oktober 1984) adalah seorang sastrawan dan sosiolog Indonesia yang dikenal karena penggambarannya tentang kondisi sosial dan politik di Indonesia. Ia memfokuskan tulisannya pada perlawanan terhadap ketidakadilan dan perjuangan untuk kebebasan dan kemanusiaan.

Okky Madasari
Madasari pada tahun 2024
Madasari pada tahun 2024
LahirOkky Puspa Madasari
30 Oktober 1984 (umur 40)
Magetan, Jawa Timur, Indonesia
Pekerjaannovelis, akademisi
BahasaBahasa Indonesia, English
KebangsaanIndonesia
Pendidikan
PeriodeAngkatan 2000 (2010–sekarang)
Genrenovel, novel anak, cerpen, esai, karya ilmiah
Temasosial politik, perlawanan, dominasi agama, keadilan gender
Karya terkenalMaryam, Entrok, Pasung Jiwa, Seri Mata, Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan
PenghargaanAnugerah Sabda Budaya (2022)

Nominasi Cerpen Terbaik Kompas (2021)

Southeast Asia's Women of the Future Award 2019 (Nomination)

Kusala Sastra Khatulistiwa (2012)
PasanganAbdul Khalik
Website
okkymadasari.net

Sebagai sastrawan, ia memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2012 untuk novel ketiganya, Maryam[1] di usia 28 tahun dan menjadi pemenang termuda sepanjang sejarah penghargaan tersebut.

Novel pertamanya, Entrok, bercerita mengenai kehidupan di bawah kekuasaan totalitarian dan militerisme pada zaman Orde Baru di Indonesia, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada Juli 2013 dengan judul The Years of the Voiceless.[2][3][4][5] Dua novel lainnya, Maryam dan Pasung Jiwa,[6] juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris masing-masing dengan judul The Outcast dan Bound.

Pada bulan Mei 2016, Okky menerbitkan novel kelimanya, Kerumunan Terakhir, yang bercerita tentang kegagapan generasi muda dalam menghadapi perubahan zaman, utamanya yang disebabkan oleh kehadiran teknologi.[7]

Okky lahir pada 30 Oktober 1984 di Magetan, Jawa Timur, Indonesia. Ia lulus dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada pada 2005 dengan Gelar Sarjana dalam bidang Ilmu Pengetahuan Politik. Ia memilih untuk menjadi pewarta dan penulis sejak kelulusannya. Pada 2012, ia mengambil jurusan sosiologi untuk gelar Master-nya dari Universitas Indonesia, dan lulus pada Juli 2014 dengan tesis berjudul "Genealogi Novel-Novel Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan".[8]

Okky kemudian memperoleh beasiswa penuh dari Universitas Nasional Singapura (NUS) pada tahun 2019 untuk menempuh program doktor pada universitas tersebut.[9] Okky menyelesaikan tesis doktoralnya dengan judul Sensor dan Produksi Pengetahuan di Indonesia. Ia meraih gelar Ph.D dalam bidang Ilmu Sosial pada 2024.[10]

Pandangan Pribadi

Okky telah menulis sejumlah esai tentang berbagai isu untuk media Indonesia dan internasional.

Dalam esainya untuk Griffith Review yang berjudul "Islam, Kapitalisme dan Sastra" pada tahun 2015, ia mengkritik penetrasi ajaran fundamentalis Islam ke dalam fiksi, terutama novel. Ia berpendapat bahwa penerbit lebih berfokus pada penjualan buku daripada kualitas isi dan memperingatkan akan matinya sastra yang serius dan paparan yang lebih luas dari kaum muda Indonesia terhadap fundamentalisme. Dia juga menulis sebuah artikel tentang masalah yang sama untuk Jakarta Post berjudul "Mempertanyakan Label Islam pada Buku dan Film," yang mengkritik penggunaan Islam dalam produk budaya dan berpendapat bahwa buku-buku dan film-film tersebut sama sekali tidak Islami. Okky juga berbicara menentang tekanan terhadap perempuan dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab dalam artikelnya di Jakarta Post, dengan mengutip fakta bahwa pihak berwenang sebenarnya mengharuskan siswa untuk mengenakan jilbab di sekolah, dan menyatakan bahwa mereka yang tidak memakai jilbab akan menerima intimidasi dan ancaman.

Okky juga mengkritik meningkatnya aktivisme perempuan yang didorong oleh penafsiran Islam yang ketat dan fundamentalis, dengan menyatakan bahwa aktivisme berbasis moral seperti itu sewenang-wenang, dan sering kali bertentangan dengan kepentingan publik.

Dia sangat aktif dalam menentang undang-undang penistaan agama dalam banyak tulisannya, dengan alasan bahwa undang-undang tersebut melegalkan dan melegitimasi kebencian dan melanggar hak asasi manusia.

Okky telah menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk secara terbuka menangani berbagai pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan pembunuhan, termasuk pembantaian tahun 1965, dan penculikan para aktivis dari gerakan 1998 melawan Suharto, terutama kasus Widji Thukul.

Dia menuntut revisi kurikulum nasional untuk lebih baik dalam menangani pembunuhan massal 1965-66 dan mendesak pihak berwenang Indonesia untuk secara resmi mengakui pembantaian tersebut, dan meminta maaf kepada para korban.

Dalam isu-isu regional, ia percaya bahwa ikatan yang sejati dan tulus antara orang-orang di Asia Tenggara hanya dapat dicapai melalui pertukaran budaya dan sastra. Ia juga menulis tentang kontribusi intelektual Australia untuk Indonesia, memuji para cendekiawan Australia atas pengaruhnya terhadap pikiran kritis di Indonesia.

Dalam beberapa wawancara dan pidato, Okky menyatakan bahwa ia dipengaruhi oleh Karl Marx dan Michel Foucault, namun di atas semua itu, ia percaya akan kebebasan individu dan kreativitas manusia.

Aktivisme Global

Pada tahun 2017, Okky diundang untuk berbicara di Berlin International Literature Festival di Jerman tentang karya-karyanya dan juga tentang Indonesia secara umum. Pada tahun 2016, ia juga diundang oleh University of Warwick di Inggris untuk berbicara tentang peran budaya dan sastra dalam menempa kemakmuran dan persatuan ASEAN. Pada tahun 2015, ia diundang oleh pemerintah Austria untuk menjadi pembicara dalam acara Islam dan Sastra Kontemporer Perempuan di Hittisau, Austria. Pada bulan Oktober tahun itu, ia menjadi salah satu penulis Indonesia yang tampil di Frankfurt Book Fair, di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan. Pada tahun 2014, ia diundang untuk berbicara tentang sastra dan masyarakat di Festival Film Douarnenez di Perancis.

Okky juga pernah diundang untuk berbicara di Singapore Writer Festival, Philippine Literary Festival, dan Kuala Lumpur Book Fair. Ia turut mendirikan ASEAN Literary Festival pada tahun 2014 dan merupakan direktur program festival tersebut. Pada tahun 2019, ia dinominasikan untuk Southeast Asia's Women of the Future Awards atas kontribusinya dalam memajukan budaya di kawasan ASEAN.

ASEAN Literary Festival

Pada tahun 2014, Okky ikut mendirikan ASEAN Literary Festival (bersama dengan jurnalis Indonesia, Abdul Khalik), yang bertujuan untuk memperkenalkan para penulis ASEAN dan karya-karyanya kepada dunia global sekaligus menyediakan media bagi para penulis untuk saling bertukar ide dan karya. ASEAN Literary Festival pertama kali diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret 2014. Festival ini dengan cepat menjadi salah satu acara budaya tahunan yang paling penting di kawasan ini.

Pada tahun 2016, Kepolisian Republik Indonesia mencoba melarang festival ini dengan menarik izin yang sebelumnya telah dikeluarkan karena adanya protes dari berbagai organisasi yang menentang diskusi mengenai isu-isu LGBT dan pembantaian terhadap kaum Komunis pada tahun 1965-1966.

Saksi Ahli

Dalam komitmennya terhadap kebebasan berekspresi dan perjuangan melawan penyensoran serta perlindungan terhadap minoritas, Okky pernah menjadi saksi ahli bagi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam kasus penyensoran baru-baru ini di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melawan rektor universitas yang membubarkan seluruh tim editorial pers mahasiswa, Suara USU, karena penerbitan sebuah cerpen.

Kehidupan pribadi

Okky menikah dengan Abdul Khalik, seorang jurnalis pada surat-surat kabar berbahasa Inggris di Indonesia (The Jakarta Post, 2003-2012, dan Jakarta Globe, 2012-sekarang).[11] Keduanya bertemu ketika keduanya menghadiri Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan Korupsi (UNCAC) di Bali pada Januari 2008 sebelum mereka menikah pada Desember 2008. Dalam setiap novelnya, ia menjadikan suaminya sebagai pembaca pertamanya dan mitra dalam diskusi untuk gagasan pada novel-novelnya.

Omong-Omong Media

Omong-Omong Media adalah sebuah platform yang didirikan oleh Okky Madasari. Platform ini merupakan bagian dari OM Group yang juga memayungi OMG! My Story dan OM Institute. Omong-Omong Media menyediakan ruang alternatif untuk penyedia informasi dan wacana, dengan fokus pada esai, fiksi, dan puisi yang beragam topik dan perspektif.

Platform ini didasarkan pada semangat "omong-omong," yang berarti bercakap-cakap atau berbincang, dan berusaha untuk mengantarkan gagasan dan cerita dari kontributor kepada pembaca.

OM Institute

OM Institute adalah platform pendidikan di bawah payung OMGroup, yang juga mencakup Omong-Omong Media dan OMG! My Story. OM Institute menawarkan berbagai kelas yang berfokus pada penulisan, konten kreatif, dan pengembangan pribadi.

Beberapa program yang mereka tawarkan meliputi:

•Kelas Menulis Fiksi: Kursus yang mencakup dasar-dasar menulis fiksi.

•Private Mentoring: Bimbingan pribadi untuk proyek-proyek seperti novel, cerita pendek, dan artikel opini.

•Advanced Essay Writing with AI: Eksplorasi bagaimana AI dapat membantu dalam menulis esai.

•Writing Retreats: Retret menulis intensif yang dirancang untuk membantu penulis fokus dan menyelesaikan proyek mereka.

OM Institute bertujuan untuk menumbuhkan kreativitas dan menyediakan peta bagi penulis untuk mengembangkan keterampilan mereka dan menghasilkan tulisan bermutu.

Buku

  1. Entrok (2010)
  2. 86 (2011)
  3. Maryam (2012)
  4. Pasung Jiwa (2013)
  5. Kerumunan Terakhir (2016)
  6. Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (2017)
  7. Mata di Tanah Melus (2018)
  8. Mata dan Rahasia Pulau Gapi (2018)
  9. Mata dan Manusia Laut (2019)
  10. Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam dan Sastra Perlawanan (2019)
  11. Mata dan Nyala Api Purba (2021)

Rujukan