Teori konspirasi perusahaan farmasi besar

teori konspirasi

Teori konspirasi perusahaan farmasi besar adalah teori konspirasi yang mengklaim bahwa perusahaan farmasi, terutama yang tergolong industri besar, bertindak dengan cara yang sangat rahasia dan jahat, sehingga melakukan tindakan yang merugikan pasien. Hal ini termasuk dengan menyembunyikan pengobatan yang efektif, bahkan mungkin hingga menyebabkan dan/atau memperburuk berbagai penyakit, dalam upaya mencari keuntungan lebih tinggi dan/atau tujuan jahat lainnya.[1][2]

Beberapa teori menggabungkan pernyataan bahwa pengobatan alami dan alternatif untuk berbagai masalah kesehatan sedang tekanan dan penzaliman, bahwa pengobatan HIV/AIDS sebenarnya tidak efektif dan berbahaya, bahwa obat yang efektif untuk semua jenis kanker sebenarnya telah ditemukan, tetapi disembunyikan dari publik, bahwa vaksin COVID-19 tidak efektif, atau bahwa pengobatan alternatif untuk COVID-19 itu sendiri ada. Dalam sebagian besar kasus, para penganut teori konspirasi menyalahkan pencarian keuntungan secara serakah oleh perusahaan farmasi. Sejumlah analisa telah mengakui dan menentukan bahwa klaim-klaim ini salah, meskipun pada ujungnya mereka tetap menyatakan bahwa kritik terhadap industri farmasi adalah sah.[3][4][5][6][7][8][9]

Sejarah

Menurut Steven Novella, penggunaan istilah seperti Big Pharma (secara harfiah berarti perusahaan farmasi besar) pada masa kini mengandung mengandung motif demonisasi terhadap industri farmasi, yang digambarkan dengan cara yang emosional, mengabaikan kompleksitas sejarah bisnis yang sebenarnya.[5] Profesor Robert Blaskiewicz menulis bahwa penganut teori konspirasi menggunakan istilah Big Pharma sebagai "singkatan untuk entitas abstrak comprising perusahaan, regulator, LSM, politisi, dan seringkali malah menuduh dokter, bahwa mereka semua memiliki kepentingan dalam kue farmasi resep dokter, senilai triliunan dolar".[1]

Menurut Blaskiewicz, teori konspirasi Big Pharma memiliki empat ciri klasik. Pertama, asumsi bahwa konspirasi dilakukan oleh kelompok kecil, namun memonopoli pengetahuan, yang jahatnya luar biasa. Kedua, keyakinan bahwa masyarakat umum tidak tahu kebenaran yang pasti. Ketiga, bahwa para penganutnya memperlakukan kurangnya bukti sebagai bukti itu sendiri, mirip dengan apa yang dilakukan penganut teori bumi datar. Dan terakhir, bahwa argumen yang diajukan untuk mendukung teori ini tidak rasional, salah pengertian, atau keliru.[1]

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, teori konspirasi ini dipromosikan oleh Ann Wigmore yang berpendapat bahwa penyakit, termasuk kanker dan HIV/AIDS, dapat diobati secara efektif dengan diet makanan mentah. Dalam konteks ini, Wigmore percaya bahwa industri farmasi adalah bagian dari konspirasi untuk membuat masyarakat tetap sakit agar tetap meraup keuntungan dari penjualan obat.[10]

André Picard menulis pada tahun 2009 bahwa internet telah mengubah secara radikal sifat diskursus ilmiah populer dari yang jarang dan penuh rasa hormat menjadi luas dan sebaliknya, malah menjadi berbasis konspirasi. Debat ilmiah sering digantikan dengan penolakan terhadap sains sebagai "bagian dari konspirasi besar". Dalam pandangan dunia konspirasi, "Dokter, perawat, apoteker, ahli farmasi, ahli biokimia, ahli imunologi, ahli genetika, dan jurnalis tidak bisa dipercaya. Mereka semua terlibat dalam jejaring korupsi".[11]

Penelitian di Italia pada tahun 2016 menemukan bahwa hampir setengah dari populasi dewasa percaya bahwa perusahaan farmasi menghambat pengembangan obat-obatan efektif untuk menyembuhkan penyakit serius, yang menurut para penulis adalah sebuah teori konspirasi, dan bahwa kepercayaan tersebut berkorelasi negatif dengan kepercayaan dan keimanan mainstream sambil terus menganut dasar anti-sains dan anti-elitisme.[2]

Penerapan

Teori konspirasi ini memiliki berbagai manifestasi spesifik yang berbeda. Masing-masing teori memiliki narasi yang berbeda, tetapi selalu menggambarkan perusahaan farmasi besar sebagai penjahat dalam cerita ini.[1]

Serangan terhadap pengobatan HIV/AIDS

Sejak awal epidemi AIDS, banyak hipotesa berbahaya yang diajukan untuk menjelaskan asal-usul dan sifat penyakit ini. Salah satu teori konspirasi mengklaim bahwa AIDS diciptakan oleh pemerintah AS untuk mengendalikan dan/atau memberantas kaum gay dan Afrika Amerika. Selain itu, ada obat untuk HIV/AIDS yang sebenarnya efektif namun disembunyikan dari orang miskin.[12][13] Teori lainnya mengatakan bahwa meskipun virus ini berbahaya, risiko dari obat antiretroviral lebih besar daripada manfaatnya. Obat-obat ini dianggap sebagai racun yang disebarkan oleh dokter yang telah terkorupsi oleh industri farmasi besar.[14]

Dalam kolomnya pada tahun 2006 untuk Harper's Magazine, jurnalis Celia Farber mengklaim bahwa obat antiretroviral nevirapine adalah bagian dari konspirasi oleh "kompleks ilmiah-medis" untuk menyebarkan obat beracun.[15] Farber mengatakan bahwa AIDS bukan disebabkan oleh HIV dan bahwa nevirapine telah diberikan secara tidak etis kepada wanita hamil dalam uji klinis, yang mengarah pada kematian.[15] Teori dan klaim Farber dibantah oleh para ilmuwan, tetapi, menurut peneliti Seth Kalichman, publisitas yang dihasilkan telah membuka jalan bagi penyangkalan AIDS.[16]

Mantan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki, yang dipengaruhi oleh penyangkal AIDS Peter Duesberg, memperkenalkan kebijakan yang menolak pengobatan bagi pasien AIDS. Menurut perkiraan, keputusan bodoh ini menyebabkan, antara lain, lebih dari 300.000 orang meninggal terlalu cepat.[17][18]

Serangan terhadap vaksinasi

Gagasan bahwa vaksin diciptakan oleh industri farmasi besar justru untuk membuat orang sakit, atau untuk mengubah DNA manusia,[19][20] sebenrnya telah ada sejak lama tetapi mendapatkan nyawa baru sejak pandemi COVID-19 merebak.[21][22]

Teori konspirasi bahwa vaksin menyebabkan autisme dapat ditelusuri kembali ke sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet pada Februari 1998.[23][24] Andrew Wakefield mengklaim bahwa ada hubungan antara vaksin MMR dan autisme. Studi tersebut kemudian terbukti palsu, dan menyebabkan Wakefield dicabut dari daftar tenaga medis yang bisa dipercaya. Organisasi The Lancet juga telah menarik artikel tersebut secara resmi.[25] Meskipun sejumlah studi telah membantah hubungan antara autisme dan vaksin,[26] teori konspirasi ini tetap saja bertahan dalam berbagai bentuk, dan telah disebarkan oleh, antara lain, bahkan oleh Donald Trump.[27][28]

Teori konspirasi lainnya mengklaim bahwa vaksin digunakan untuk menanamkan mikrochip untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian pikiran.[29] Antara lain, Bill & Melinda Gates Foundation dituduh ingin memprogram mikrochip ke populasi dunia melalui program vaksinasi global.[30][31][32]

Penerimaan

Salah satu klaim umum di kalangan pendukung teori konspirasi adalah bahwa perusahaan farmasi menekan penelitian tentang obat-obat mereka dengan memberi tekanan finansial pada peneliti dan jurnal. Penganut pemikiran skeptis, Benjamin Radford, meskipun mengakui bahwa "pasti ada butir kebenaran" dalam klaim ini, dan mencatat bahwa sebenarnya ada makalah yang mengkritik obat-obat tertentu yang diterbitkan di jurnal-jurnal top secara teratur.[3] Contoh penting yang dicatat oleh Radford adalah tinjauan sistematis yang diterbitkan di British Medical Journal yang menunjukkan bahwa paracetamol sebenarnya tidak efektif untuk nyeri punggung bawah dan memiliki efektivitas minimal untuk osteoarthritis.[3][33]

Dalam bukunya tahun 2012 Bad Pharma, Ben Goldacre secara keras mengkritik industri farmasi, namun menolak anggapan bahwa tulisannya adalah bentuk teori konspirasi. Dia berpendapat bahwa masalah-masalah ini bisa ikut dipikirkan sekalipun oleh orang-orang biasa, namun banyak dari mereka mungkin bahkan tidak tahu apa yang telah mereka lakukan".[4]

Steven Novella menulis bahwa meskipun industri farmasi memiliki sejumlah aspek yang memang layak dikritik, demonisasi terhadapnya adalah tindakan yang sinis dan malas secara intelektual.[5] Dia tetap untuk mempertimbangkan bahwa serangan berlebihan terhadap "Big Pharma" justru membebaskan industri farmasi "dari tanggung jawab" karena hal itu mengalihkan perhatian dari dan merusak kritik terhadap masalah-masalah yang lebih penting.[5] Dia juga menulis, di Skepticblog, tentang salah pengertian umum dan sensasionalisasi penelitian kanker yang biasanya menyertai pola pikir konspiratorial. Dia menunjukkan bahwa obat-obatan untuk kanker, daripada disembunyikan, bukanlah obat yang seperti yang awalnya disorot media dan malah berujung pada jalan buntu, tujuan penelitian lebih lanjut, atau penurunan angka kematian untuk jenis kanker tertentu.[6]

Dave Roos dan Oliver Childs mengkritisi gagasan bahwa menahan obat untuk kanker akan menghasilkan lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan menyajikan obat tersebut.[7][8] Dina Fine Maron lebih lanjut mencatat bahwa pandangan ini sebagian besar mengabaikan kenyataan bahwa kanker bukanlah satu penyakit, melainkan banyak penyakit, dan kenyataan bahwa langkah besar telah diambil dalam perjuangan melawan kanker.[9]

Pada tahun 2016, David Robert Grimes menerbitkan sebuah makalah penelitian yang menjelaskan tentang ketidakmampuan membahas secara matematis oleh para pencipta teori konspirasi pada umumnya.[34] Dia memperkirakan bahwa jika ada konspirasi Big Pharma untuk menyembunyikan obat kanker, konspirasi itu akan terbongkar setelah sekitar 3,2 tahun karena jumlah orang yang diperlukan untuk menjaga kerahasiaannya.[35]

  1. ^ a b c d Blaskiewicz, Robert (2013). "The Big Pharma conspiracy theory". Medical Writing. 22 (4): 259. doi:10.1179/2047480613Z.000000000142. 
  2. ^ a b Ladini R (12 May 2021). "Religious and conspiracist? An analysis of the relationship between the dimensions of individual religiosity and belief in a big pharma conspiracy theory". Italian Political Science Review/Rivista Italiana di Scienza Politica. 52 (1): 33–50. doi:10.1017/ipo.2021.15. eISSN 2057-4908. hdl:2434/843881 . ISSN 0048-8402. The wording of the survey item is as follows: "Pharmaceutical companies hinder the development of effective medications to heal serious diseases because they fear losing profits". 
  3. ^ a b c Radford, Benjamin (12 January 2016). "Big Pharma Conspiracy Debunked". centerforinquiry.org. Diakses tanggal 21 June 2018. 
  4. ^ a b Goldacre, Ben (2008). "Foreword". Bad Pharma. Fourth Estate. ISBN 978-0-00-735074-2. 
  5. ^ a b c d Novella, Steven (22 April 2010). "Demonizing 'Big Pharma'". Science-Based Medicine. 
  6. ^ a b Novella, Steven. "ANOTHER CURE FOR CANCER?". skepticblog.org. Diakses tanggal 25 June 2018. 
  7. ^ a b Roos, Dave (5 June 2018). "Is There a Hidden Cure for Cancer?". howstuffworks.com. Diakses tanggal 21 June 2018. 
  8. ^ a b Childs, Oliver (24 March 2014). "Don't believe the hype – 10 persistent cancer myths debunked". Cancer Research UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 February 2021. Diakses tanggal 27 April 2019. 
  9. ^ a b Maron, Dina Fine. "Can We Truly "Cure" Cancer?". scientificamerican.com. Diakses tanggal 21 June 2018. 
  10. ^ Kale S (11 November 2021). "Chakras, crystals and conspiracy theories: how the wellness industry turned its back on Covid science". The Guardian. 
  11. ^ Picard A (5 March 2009). "Bloggers, there's no Big Pharma conspiracy". Globe & Mail (Toronto, Canada). 
  12. ^ Lancet, The (2005-02-05). "Conspiracy theories of HIV/AIDS". The Lancet (dalam bahasa English). 365 (9458): 448. doi:10.1016/S0140-6736(05)17875-1 . ISSN 0140-6736. PMID 15705438. 
  13. ^ Heller, Jacob (January 2015). "Rumors and Realities: Making Sense of HIV/AIDS Conspiracy Narratives and Contemporary Legends". American Journal of Public Health. 105 (1): e43–e50. doi:10.2105/AJPH.2014.302284. PMC 4265931 . PMID 25393166. 
  14. ^ Specter, Michael (2007-03-05). "The AIDS Denialists". The New Yorker (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  15. ^ a b Schaffer, A. (2006). "Drug trials and error: conspiracy theories about big pharma would amuse, if they were not a matter of life and death". MIT Technology Review. 109 (2): 70, May 1.  (perlu berlangganan)
  16. ^ Nattrass, N.; Kalichman, S. (2009). Denying AIDS: conspiracy theories, pseudoscience, and human tragedy. Springer. hlm. 183. ISBN 9780387794754. 
  17. ^ Chigwedere, Pride; Seage, George R. III; Gruskin, Sofia; Lee, Tun-Hou; Essex, M. (2008-12-01). "Estimating the Lost Benefits of Antiretroviral Drug Use in South Africa". Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes (dalam bahasa Inggris). 49 (4): 410–415. doi:10.1097/QAI.0b013e31818a6cd5 . ISSN 1525-4135. PMID 19186354. 
  18. ^ Weigmann, Katrin (2018-02-28). "The genesis of a conspiracy theory". EMBO Reports. 19 (4): e45935. doi:10.15252/embr.201845935. PMC 5891410 . PMID 29491005. 
  19. ^ "The COVID-19 vaccine does not change human DNA". www.unicef.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  20. ^ Forster, Victoria. "Covid-19 Vaccines Can't Alter Your DNA, Here's Why". Forbes (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  21. ^ "How the Anti-Vax Movement Is Taking Over the Right". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  22. ^ Lee, Jon D. (2021-01-11). "The Utter Familiarity of Even the Strangest Vaccine Conspiracy Theories". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  23. ^ "Do Vaccines Cause Autism?". cpp-hov.netlify.app (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  24. ^ Cummins, Eleanor (2019-02-02). "How autism myths came to fuel anti-vaccination movements". Popular Science (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-06-14. 
  25. ^ "Retraction—Ileal-lymphoid-nodular hyperplasia, non-specific colitis, and pervasive developmental disorder in children". The Lancet (dalam bahasa English). 375 (9713): 445. 2010-02-06. doi:10.1016/S0140-6736(10)60175-4. ISSN 0140-6736. PMID 20137807. 
  26. ^ S. Gerber, Jeffrey; Offit, Paul A. (2010-07-22). "Vaccines and Autism: A Tale of Shifting Hypotheses". Clinical Infectious Diseases. 48 (4): 456–461. doi:10.1086/596476. PMC 2908388 . PMID 19128068. 
  27. ^ "Trump claims vaccines and autism are linked - but his own experts vehemently disagree". The Independent (dalam bahasa Inggris). 2018-05-05. Diakses tanggal 2022-05-06. 
  28. ^ Einbinder, J. K. Trotter, Nicole. "The powerful media mogul at the core of Trump's debunked views on vaccines and autism". Insider (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  29. ^ Sriskandarajah, Ike (2021-06-05). "Where did the microchip vaccine conspiracy theory come from anyway?". The Verge (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-06-14. 
  30. ^ Joyce, Kathryn (12 May 2020). "The Long, Strange History of Bill Gates Population Control Conspiracy Theories". Type Investigations (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  31. ^ "Are Bill Gates and the ID2020 Coalition Using COVID-19 To Build Global Surveillance State?". Snopes.com (dalam bahasa Inggris). 22 April 2020. Diakses tanggal 2022-05-06. 
  32. ^ "CBS News | The posts on social media about you and coronavirus are considered the most widespread coronavirus falsehoods that exist ... To be clear, do you want a vaccine so that you can implant microchips into people?". Twitter (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-05-06. 
  33. ^ Machado, G. C.; Maher, C. G.; Ferreira, P. H.; Pinheiro, M. B.; Lin, C.-W. C.; Day, R. O.; McLachlan, A. J.; Ferreira, M. L. (31 March 2015). "Efficacy and safety of paracetamol for spinal pain and osteoarthritis: systematic review and meta-analysis of randomised placebo controlled trials". BMJ. 350 (mar31 2): h1225. doi:10.1136/bmj.h1225. ISSN 1756-1833. PMC 4381278 . PMID 25828856. 
  34. ^ Grimes, David Robert (26 January 2016). Bauch, Chris T., ed. "On the Viability of Conspiratorial Beliefs". PLOS ONE. Public Library of Science (PLoS). 11 (1): e0147905. Bibcode:2016PLoSO..1147905G. doi:10.1371/journal.pone.0147905 . ISSN 1932-6203. PMC 4728076 . PMID 26812482. 
  35. ^ Berezow, Alex. "Maths study shows conspiracies 'prone to unravelling'". BBC. Science and Environment. Diakses tanggal 25 June 2018.