Hukum
Hukum oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) didefinisikan sebagai berikut:
- peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
- undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
- patokan (kaidah, ketentuan).
- keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan, vonis.
Sistem Hukum
Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, sistem hukum agama.
Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem Hukum Anglo-Saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem Hukum Adat/Kebiasaan
Hukum adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.
Sistem Hukum Agama
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.
Bidang Hukum
Hukum dapat dibagai dalam berbagai bidang, antara lain Hukum Perdata, Hukum Publik, Hukum Pidana, Hukum Acara, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional
Hukum Perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil.
Penggolongan hukum perdata
Hukum Publik
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah.
Hukum Pidana
Hukum Acara
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Hukum Internasional
Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan luas. 1. Dalam arti sempit meliputi : Hukum publik internasional saja 2. Dalam arti luas meliputi : Hukum publik internasional dan hukum perdata internasional
Hukum Indonesia
Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia.
Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Sejarah Hukum
Sosiologi Hukum
MAHKAMAH KONSTITUSI
OLEH: Saiful Mustika fakultas hukum WIDYAGAMA-MALANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
TUGAS DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Pendahuluan
Reformasi nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (kemudian akan kita sebut UUD RI 1945) yang disakralkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk tidak direvisi. Setelah reformasi, konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan 'checks and balances' sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Dalam Pasal 24C hasil perubahan ketiga UUD RI 1945, dimasukkannya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kedalam konstitusi negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ konstitusi lainnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi telah dilembagakan berdasarkan Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24, 2003), sejak tanggal 13 Agustus 2003. Hal ini disahkan dengan adanya ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD RI 1945 yang menentukan: "Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang." Oleh karena itu, sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai mestinya, Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi telah dilakukan dengan proses rekruitmen calon hakim menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi "Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden".
Mahkamah Konstitusi secara resmi dibentuk dengan adanya Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 dan setelah pelantikan dan pengucapan sumpah tanggal 16 Agustus 2003, maka kewenangan transisi Mahkamah Agung yang dibebani tugas oleh pasal III Aturan Peralihan UUD RI 1945, untuk melaksanakan segala kewenangan Mahkamah Konstitusi telah berakhir. Untuk itu pada bagian berikut ini akan kita bahas kewenangan mahkamah konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan peranannya sebagai penjaga konstitusi seperti yang diatur dalam UUD RI 1945.
2. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga konstitusi, yaitu melakukan kekuasaan kehakiman seperti diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945. Sedangkan yang di maksud dengan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan mahkamah konstitusi diberi beberapa kewenangan (Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945). Adanya sebuah kekuasaan kehakiman yang bebas adalah salah satu prasyarat bagi negara hukum disamping syarat-syarat yang lainnya.
Untuk memahami peran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, haruslah dikaji dengan komprehensif kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD RI 1945 kepada lembaga ini. Pasal 24 C ayat (1) menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dimana putusannya bersifat final. Dari ketentuan tersebut berarti Mahkamah Konstitusi bersifat tunggal yang tidak mempunyai peradilan yang berada dibawahnya dan tidak merupakan bawahan dari lembaga lain. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Agung yang mempunyai peradilan-peradilan dibawahnya dan merupakan puncak dari peradilan-peradilan yang berada dibawahnya. Dengan ketunggalannya dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalam sebuah forum khusus untuk melakukan kewenangannya. Didalam menjalankan perannya sebagai penjaga konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diberi kewenangan seperti yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili: a. Menguji undang-undang terhadap UUD RI 1945; b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu; e. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam UUD RI 1945. Pelanggaran hukum yang diduga dilakukan presiden yang disebut dalam pasal 10 ayat (2) UU No. 24, 2003, telah diperjelas dalam ayat (3) dengan memberi batasan sebagai berikut: a. Penghianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang; b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. Perbuatan tercela adalah perbuatan-perbuatan yang dapat merendahakan martabat Presiden danatau Wakil Presiden; e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden danatau wakil presiden adalah syarat sebagaimana dtentukan dalam pasala 6 UUD RI 1945. Dari kewenangan yang disebutkan diatas terlihat bahwa sengketa yang diperkarakan dan diadili Mahkamah Konstitusi sangat banyak berkaitan dengan proses politik, sebagian besar merupakan perselisihan yang syarat dengan sifat politik sebagai salah satu karakteristik sengketa. Jadi yang dikemukakan oleh Agung Laksono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Mahkamah Konstitusi untuk tetap memegang komitmen dalam menjalankan tugasnya di wilayah hukum dan tidak memasuki wilayah politik adalah kurang begitu tepat (Kompas 11 Oktober, 2005). Sudah barang tentu hal ini juga akan mempunyai dampak pada pihak-pihak yang dapat menggerakkan mekanisme Konstitusional kontrol oleh berbagai lembaga negara.
Diberbagai negara didunia sebanyak lebih kurang 78 negara yang dalam konstitusinya juga mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi, semenjak Hans Kelsen merancang undang-undang dasar Austria dan memasukkan lembaga ini dalam konstitusi Austria. Sebagian besara negara-negara demokrasi yang sudah mapan kecuali Jerman, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Fungsinya dicakup dalam fungsi Mahkamah Agung yang ada disetiap negara (Jimly Asshiddiqie. 2003).
Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu kewenangan utama, dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi: (a) pengujian undang-undang terhadap UUD, (b) memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi), sebaiknya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan utamanya yaitu untuk memutus memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah konstitusi Austria, Itali, Jerman dan lainnya. Dengan diberikannya kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi wajib menerima dan memutus permohonan dari rakyat bilamana adanya produk peraturan yang berada dibawah undang-undang seperti Keputusan Presiden, Penetapan Presiden, Instruksi Presiden dan atau Peraturan Presiden untuk diajukan judicial review. Seperti kita ketahui bahwa Peraturan Presiden no 552005 tentang harga BBM yang mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dimana Pasal 28 ayat (2) dan (3), telak di dikoreksi dalam judicial review Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Desember 2004 karena dinilai bertentangan dengan UUD RI 1945. Tanpa diberi kewenangan tersebut diatas maka Mahkamah Konstitusi belum bisa melakukan perannya sebagai penjaga konstitusi secara tuntas dan menyeluruh. (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sedangkan kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara satu dengan yang lainnya. UUD RI 1945 memberikan kewenangan tambahan tersebut berupa; (a) pembubaran partai politi, (b) perselisihan hasil pemilihan umum, (d) pemberian putusan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan atau wakil presiden.
Peranan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya sebagai sebuah lembaga peradilan oleh UUD RI 1945, mencerminkan semangkin kuatnya penuangan prinsip negara hukum dalam UUD RI 1945 setelah adanya perubahan. Pilar yang sangat fundamental yang diletakkan dalam UUD RI 1945 untuk memperkuat prinsip negara hukum adalah perumusan pada Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan adanya perumusan ini, maka Indonesia yang menganut asas demokrasi dalam penyelenggaraan kenegaraan menyandarkan mekanisme demokrasinya kepada hukum, yaitu UUD RI 1945. Hak-hak yang diakui dalam UUD RI 1945 , dan tata cara pelaksanaan demokrasi didalamnya menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan demokrasi. Karena demokrasi tanpa hukum akan mengarah menjadi anarki. Pelanggaran terhadap konstitusi dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Meskipun DPR yang anggotanya dipilih dalam pemilihan umum dan Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, yang berarti keduanya mempunyai dasar legitimasi perwakilan aspiratif, namun, dalam prinsip negara hukum kedua lembaga ini tetap dapat melakukan pelanggaran terhadap konstitusi (Harjono. 2003). Dengan ditetapkannya mekanisme pembuatan undang-undang dalam UUD RI 1945, yang melibatkan kedua lembaga ini, DPR dan Presiden, maka produk bersama dari kedua lembaga ini, yaitu undang-undang secara potensial pun dapat menyimpang dari UUD RI 1945. Sebuah undang-undang dapat menjadi objek legislative review, yang dilakukan oleh badan legislative yang membuatnya. Namun, haruslah diingat bahwa legislative review masih tetap didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan politik karena memang produk dari lembaga politik. Kehadiran Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji undang-undang adalah untuk menjaga menegakkan konstitusi bilamana terjadi pelanggaran konstitusi oleh undang-undang. Dengan mekanisme ini jelas bahwa peranan Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara.
Mahkamah Konstitusi yang melaksanakan fungsi peradilannya untuk melakukan uji undang-undang harus membatasi dirinya jangan samapai menjadi super body dalam pembuatan undang-undang yang terjebak untuk menjadi lembaga yang mempunyai hak "veto" secara terselubung. Dalam hal pembuatan undang-undang harus dipahami secara kesistiman bahwa terdapat tiga kategori substansi dalam konstitusi; (a) pembuat undang-undang diberi kewenangan penuh untuk mengatur dan menetapkan, (b) dalam mengatur dan menetapkan pembuat undang-undang dengan kualifikasi atau pembatasan, (c) pembuat undang-undang tidak diberi kewenangan untuk mengatur dan menetapkan karena telah ditetapkan dan diatur sendiri oleh konstitusi.
UUD RI 1945 telah mendistribusikan kewenangannya kepada beberapa lembaga negara. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut sangat mungkin akan terjadi dimana satu lembaga negara menggunakan kewenangannya melampaui batas kewenangan yang diberikan kepadanya sehingga melanggar kewenangan lembaga lain. Dengan adanya perubahan UUD RI 1945, hubungan antar lembaga negara diposisikan secara fungsional, dan tidak secara hirarkis, maka diperlukan sebuah lembaga yang secara final dapat memutus perselisihan kewenangan antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi berperan sebagai lembaga peradilan yang memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara. Sebelumnya peran ini dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dimana sebagai sebuah lembaga pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang omnipotent, yang berwenang untuk melakukan apa saja termasuk didalamnya untuk menmyelesaikan persengketaan yang timbul antar lembaga negara. Dapat diartikan bahwa peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dalam sistem check and balances antar lembaga negara. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana tata cara pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
3. Tata Cara Pengajuan Permohonan
Untuk melaksanakan peranannya menjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan mekanisme constitutional control, digerakkan oleh adanya permohonan dari pemohon yang memiliki legal standing untuk membela kepentingannya. Pemilihan kata pemohon dan bukan gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi bilamana dibandingkan dengan Hukum Acara Perdata, seolah-olah perkara itu merupakan perkara yang bersifat satu pihak (ex parte) dan tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai pihak atau termohon dan yang mempunyai hak melawan permohonan tersebut. Hal ini tidak selalu benar, karena dalam jenis perkara tertentu harus ada pihak yang secara tegas ditetapkan dan ditarik sebagai pihak, dan yang mempunyai hak untuk menjawab atau menanggapi permohonan tersebut (Maruarar, Siahaan. 2003).
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2002 tentang tata cara penyelenggaraan wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung dalam Pasal 1 ayat (7) dan (8) membedakan permohonan dan gugatan. Terhadap perkara: 1. Pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar; 2. Sengketa wewenang antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang dasar RI 1945; 3. Memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden danatau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7B ayat (1) UUD RI 1945 dan perubahannya. Diajukan dalam permohonan yang merupakan permintaan untuk diputus. Di pihak lain jika perkara yang diajukan adalah mengenai: 1. Pembubarana partai politik; 2. Perselisihan hasil pemilihan umum. Maka harus dengan gugatan yang merupakan tuntutan yang diajukan secara tertulis.
Undang-undang No. 24 tahun 2003 menyebutkan bahwa semuanya diajukan dengan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditanda tangani oleh pemohon kuasa, diajukan dalam 12 rangkap dan syarat-syarat yang harus dipenuhi disebut dalam Pasal 31 adalah sebagai berikut: a. Nama dan alamat pemohon; b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan; c. Hal-hal yang diminta untuk diputus. Permohonan itu harus pula melampirkan bukti-bukti sebagai pendukung permohonan, yang menunjukkan permohon bersungguh-sungguh. Dengan kata lain, pemohon harus memuat identitas piha-pihak posita dan petitum. Tapi Undang-undang No. 24 tahun 2003 tidak mengharuskan disebut termohon. Karena sifatnya yang lebih banyak melibatkan lembaga-lembaga negara dan khusus tentang pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945, yang berada dalam posisi sebagai termohon tidak terlalu menentukan karena putusan yang diminta adalah bersifat deklaratif terhadap aturan yang berlaku umum juga dilain pihak oleh karena adanya kewajiban Mahkamah Konstitusi memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan danatau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan termohon, maka yang menentukan termohon itu adalah Mahkamah Konstitusi. Meski tidak secara tegas disebut perlu dimuat siapa yang menjadi termohon, sebagai pihak yang paling berwenang dan berkepentingan menjawab gugatan tersebut, secara praktis dengan penunjukan termohon. Termohon dapat dipanggil untuk memberikan keterangan. Bisa juga dianalogikan keterangan tersebut dengan jawaban dalam Hukum Acara Perdata. Hal ini untuk memenuhi tenggang waktu yang disebut Pasal 4i ayat (3) yang menentukan paling lambat tujuh hari kerja sejak permintaan Hakim Konstitusi diterima, lembaga negara yang bersangkutan wajib menyampaikan penjelasan. Permohonan dapat disatukan dengan panggilan sebagaimana disebutkan dalam Acara Perdata.
Memang secara spesifik dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak disebut siapa yang menjadi termohon, tapi dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara, pembubaran partai politik, impeachment, termohon harus ditulis secara tegas. Khusus mengernai sengketa kewenangan antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahakan pihak pemohon danatau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Tanpa adanya penyebutan termohon secara tegas dalam penetapan yang sifatnya menghentikan kewenangan sementara, maka putusan itu boleh jadi tidak mempunyai arti apa-apa, karena tidak jelas siapa yang wajib melaksanakan perintah tersebut. Hal yang lebih tegas lagi adalah ketika permohonan untuk membatalkan hasil pemilu dan pembubaran partai politik dikabulkan, maka harus jelas siapa yang wajib melaksanakan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut.
Mahkamah konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang plenonya dengan sembilan (9) Hakim Konstitusi, akan tetapi dalam keadaan luar biasa dengan tujuh (7) Hakim. Itulah sebabnya surat permohonan diajukan dua belas (12) rangkap, karena disamping dibagikan pada sembilan (9) Hakim, juga harus disampaikan kepda presiden dan DPR dalam waktu tujuh (7) hari sejak permohonan dicatat dalam register perkara konstitusi. Mahkamah Agung, menurut Pasal 53 cukup diberi tahu tentang permohona judicial review. Namun, tidak diatur secara tegas bahwa permohonan disampaikan ke Mahkamah Agung, yang mempunyai arti bahwa tidak perlu diberkanan copy surat permohonan. Salah satu perbedaan dengan gugatan dalam perkara perdata adalah permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat didaftar harus telah menyertakan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut (Pasal 32 ayat (2) dan (3) UU No. 24 tahun 2003). Karena masih ada proses untuk memeriksa perkara dan alat-alat bukti, maka hal ini harus ditafsirkan sebagai bukti awal yang menunjukkan kesungguhan permohonan tersebut dan bukan hanya bertujuan untuk menimbulkan sensasi atau uji coba. Selanjutnya kita akan membahas siapa yang dapat mengajukan permohonan pada bagian berikut.
4. Siapa yang Dapat Mengajukan Permohonan
Yang berhak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi adalah setiap orang yang memiliki kepentingan hukum atau kewenangan yang dilanggar dan dirugikan dengan kata lain bahwa yang bersangkutan harus mempunya legal standing untuk mengajukan permohonan. Pemohon untuk setiap jenis perkara konstitusi berbeda.
A. Pengujian Undang-undang terhadap UUD RI 1945 Permohonan untuk pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945 dapat dilakukan bagi yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya sedang dan akan dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang terdiri dari: 1. Individu atau perorangan warga negara Indonesia; 2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; 3. Badan hukum publik atau privat; atau 4. Lembaga negara. Keempat kategori yang disebut diatas, jika hak dan kewenangan konstitusionalnya dilanggar oleh berlakunya satu undang-undang mempunyai legal standing, untuk mengajukan permohonan.
B. Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Pihak yang mengajukan permohonan dalam hal ini adalah lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan, akan tetapi lembaga negara dimaksud harus secara khusus yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945. Kalau diteliti dalam UUD RI 1945, secara tegas dapat disebut MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi yang dibagi atas Kabupaten dan Kotamadia. Mahkamah Agung sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD RI 1945 tidak dapat menjadi pihak baik pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara (Pasal 65 UU 24 2003).
C. Pembubaran Partai Politik Pemohon dalam sengketa pembubaran partai politik adalah pemerintah dan lebih jauh dijelaskan pemerintah pusat. Tetapi, departemen atau lembaga dimana wewenangnya memohon hal semacam ini dari pemerintah pusat? Sebagai wakil untuk mengajukan permohonan adalah Jaksa Agung. Tapi boleh jadi dalam prakteknya nanti akan berkembang yang akan memungkinkan mengajukan permohanan adalah departemen-departemen atau lembaga negara yang mempunyai kaitan langsung dengan alasan pembubaran partai politik. Karena pemerintah pusat adalah kesatuan, maka harus terlebih dahulu diperoleh izin atau perintah atau penunjukan presiden sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan alasan yang diajukan karena ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik tertentu yang dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945.
D. Perselisihan Hasil Pemilu Perselisihan hasil pemilu merupakan sengketa tentang hasil pemilu secara nasional yang dipandang penetapan Komisi Pemilihan Umum mempengaruhi: a. Terpilihnya anggota DPD; b. Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden; c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Munculnya sengketa ini adalah karena adanya perbedaan pendapat tentang hasil perhitungan suara yang oleh pemohon dipandang tidak benar dan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali 24 jam) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Sedangkan pemohon dalam sengketa ini adalah: 1. Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilu; 2. Pasangan calon Presiden Wakil Presiden peserta pemilu Presiden Wakil Presiden; 3. Partai politik peserta pemilu.
E. Pendapat DPR mengenai Pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden Dalam hal ini yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini tentu melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 23 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 23 anggota DPR (Pasal 7 B ayat (3) UUD RI 1945).
5. Kesimpulan
Peranan Mahkamah Konstitusi dalam menjaga Konstitusi melalui kekuasaan kehakiman meliputi kewenangan utama dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi; (a) Pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945, (b) memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sedangkan dinegara lain diberikan kepada mahkamah konstitusi), (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sebagai kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara satu dengan negara lainnya. Sedangkan UUD RI 1945 memberikan kewenangan tambahan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu; (a) pembubaran partai politik, (b) perselisihan hasil pemilihan umum, (c) pemberian putusan DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden danatau wakil presiden. Sebaiknya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan utamanya yaitu untuk memutus memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah konstitusi Austria, Itali, Jerman dan lainnya. Dengan sendirinya bisa melakukan perannya sebagai penjaga konstitusi secara tuntas.
Daftar Pustaka 1. Harian Kompas 11 Oktober, 2005 2. Hajono. 2003. Kedudukan dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Kekuasaan Kehakiman dan Ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 3. Jimly, Asshiddiqie. 2003. Mahkamah Konstitusi: Penomena Hukum Tata Negara. Mahkamah Konstitusi. 4. Maruarar, Siahaan. 2003. Prosedur Berperkara di Mahkamah Konstitusi dan Perbandingan dengan Hukum Acara di Pengadilan Umum dan TUN. Mahkamah Konstitusi. 5. Alder, John, 1989, Constitutional and administrative law. 6. Posner, Richard A, 1993, The problem of jurisprudence, Harvard University Press, Cambridge. 7. Vandevelde, Kenneth J, 1996, Thinking like a lawyer, An introduction to legal reasoning, Westview Press, Colorado. 8. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 9. Tap MPR RI nomor III Tahun 2000 tentang "Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan" 10. Undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pranala luar
- (Indonesia) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Depkehham) Republik Indonesia
- (Indonesia) Kejaksaan Agung Republik Indonesia
- (Indonesia) Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia)
- (Indonesia) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
- (Indonesia) Produk Perundang-Undangan Republik Indonesia (di situs www.ri.go.id)