Batanghari Sembilan
Batang Hari Sembilan adalah istilah untuk irama musik dengan petikan gitar tunggal yang berkembang di Wilayah Sumatera Bagian Selatan.
Latar belakang
Pengambilan nama Batang Hari Sembilan itu sebenarnya mengikut ke pada adanya 9 anak sungai Musi. Sungai Musi merupakan sungai terbesar di daerah ini yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian. Sebutan Batanghari Sembilan, suatu istilah "tradisional" untuk menyebut sembilan buah sungai besar yang merupakan anak Sungai Musi, yakni : Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Batang, Leko, Ogan, dan Komering.
Alat dan Syair
Alat yang dipergunakan untuk mengiringi tembang, di masa lalu masyarakat memiliki alat-alat musik tradisional seperti Serdam, Ginggung, Suling, Gambus, Berdah dan Gong alat tersebutlah yang mengikuti rejung atau tembang atau adakalanya mereka melantunkan tembang tanpa alat dan tanpa syair “meringit”. Selain ini adalagi sastra lisan seperti guritan, andai-andai, memuning dan lain-lain saat ini sudah langka yang dapat melakukannya. Dengan kemajuan yang dilalui, masyarakatnya berinteraksi dengan peralatan moderen, menyebabkan alat tradisional tersebut bertambah atau berganti alat-alat baru seperti Accordion (ramanika), Biola (piul) dan Guitar (itar). Sejak tahun enam puluh-an didominasi oleh Gitar Tunggal ( hanya mempergunakan dan hanya satu gitar saja ) untuk mengiringi tembang.
Tembang tersebut biasanya hanyalah berupa pantun empat kerat bersajak a-b a-b, bahasa yang dipergunakan sebagaimana telah penulis singgung di awal tadi yaitu mempergunakan bahasa yang lebih mirip melayu. Tentang kemiripan bahasa dan bentuk pantun ini merupakan sampingan dari penulisan ini, yaitu sebuah lontaran pemikiran tentang asal muasal suku-suku di atas. Adapun tujuan tulisan ialah pengumpulan koleksi tembang yang pernah ditembangkan oleh penembang-penembang professional yang telah pernah memasuki dunia rekaman patron yaitu Palapa Record. Dengan adanya koleksi ini diharapkan akan lebih mempermudah penembang-penembang yang ingin mecoba untuk menekuni dunia tarik suara ini, dalam upaya melestarikan budaya daerah.
Semoga saja dari koleksi ini dapat untuk dikembangkan lebih jauh dan syukur-syukur kiranya dapat menghantar pendengarnya lebih mendekatkan diri ke pada Sang Penciptanya. Hal ini sangat berkemungkian dapat untuk direalisasikan mengingat irama dan nada yang muncul dari tembang atau rejung itu memiliki nuansa estetik natural dalam arti membawakan suara alam semesta yang pada dasarnya jarang orang tidak dapat mengappresiasinya. Nuansa estetik natural ini tidak hanya sekedar memenuhi konsumsi pemikiran enerjik melainkan lebih kepada unsur qalbu sentimental.
Jiwa insaniah yang terdalam dapat diraih maka terkadang tidak mengherankan jika unsur pemikirian tidak terlalu dominan sehingga dapat memberi celah hidup dalam hati, di situlah letak dari tembang ini. Tentu saja sasarannya adalah manusia yang masih hidup secara batiniahnya.