Peristiwa Sanggoledo
Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
Tidak ada masalah yang dispesifikasikan. Tolong jelaskan masalahnya, atau hapus templat ini. |
Peristiwa Sanggoledo adalah sebuah peristiwa sosial yang menarik karena peristiwa ini tidak dapat lagi dilepaskan dari persoalan ensititas [1] Peristiwa ini adalah sebuah peristiwa berdarah yang terjadi di sanggau ledo kalimantan barat, antara suku dayak dan madura, peristiwa ini lebih parah daripada kerusuhan - kerusuhan sebelumnya.
Kapan Terjadinya
Perang antar suku Madura dan Dayak di Sanggauledo - Kalimantan pada bulan Desember 1996 hingga Januari 1997. [2]
Sejarah
Kerusuhan di tahun ini adalah kerusuhan yang amat berbau bar-bar di sebuah situs digambarkan foto seorang anak kecil yang kepalanya telah putus lalu diangkat oleh dua orang madura yang mengendarai sepeda motor.
Peristiwa ini juga melibatkan mangkuk merah yaitu sejenis mangkuk atau cawan terbuat dari porselin atau tanah liat yang diisi dengan beras, kunyit, dan darah Karena adanya darah berwarna merah, maka disebut mangkok merah. Keberadaan darah dalam mangkuk itu menunjukkan kepada orang yang menerima bahwa ada saudara sesuku yang mengeluarkan darah oleh karena perlakuan orang yang dianggap musuh atau lawan.
Awal terjadi
Menurut situs Faith Freedom[3] ditulis bahwa :
"Salah satu penyebabnya adalah karena orang Dayak selama ini merasa terpinggirkan. Mereka adalah penduduk mayoritas di Kalimantan Barat, namun mereka tersisih secara ekonomi, budaya, maupun politik. Ketersisihan ini membuat orang Dayak tertekan dan frustasi.
Suku Madura menjadi sasaran konflik karena dianggap mewakili kaum pendatang yang menjarah kekayaan milik orang Dayak. Selain itu, etnis Madura juga dikenal agresif, baik dalam keseharian atau mencari nafkah. "Tapi, ini hanya salah satu sebab. Dalam konflik seperti ini, penyebabnya tidak tunggal tapi kompleks," jelasnya kepada detikcom.
Pengamat tentang budaya dan masyarakat Dayak ini lalu menunjuk pola pendidikan yang mendewakan keseragaman, dan menabukan perbedaan selama 30 tahun masa orde baru. Ini menyebabkan orang tidak menerima segala yang berbeda dari dirinya. Termasuk, etnis dan budaya.
Kelompok Diskusi Kalbar di Singkawang, dalam kajiannya tak lama setelah Tragedi Sambas 1999, melihat masalah perbenturan budaya sebagai salah satu akar konflik antara etnis Madura dengan Dayak maupun Melayu "
Sementara itu dari sebuah situs yang lain[4]
mengungkapkan bahwa :
" seorang aktifis LSM Mitra Sekolah menuturkan, kerusuhan Sambas hanya soal waktu. Ada prakondisi sebelum kerusuhan meledak. Kerusuhan Sanggoledo 1997, waktunya menjelang Pemilu 1998. Kerusuhan 1999, juga menjelang Pemilu 1999.
Mabes Polri, sebagaimana ditulis majalah D&R edisi 3-8 Mei 1999, sempat menunjuk Prof. Parsudi Suparlan guna memimpin pakar antropologi, sosiologi, dan psikologi, untuk meneliti akar konflik itu selama 9-20 April 1999. Tim dianggotai Prof. Budhisantoso, Prof. Sardjono Jatiman, Prof. Sarlito Wirawan, dan Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie.
Suparlan berpendapat, konflik antarkomunitas etnis di Sambas terjadi karena orang Madura yang ada di Sambas atau di Kalbar, umumnya bersifat ingin menang-menangan. Tidak ada patokan aturan yang mereka ikuti. Sementara itu, orang Melayu seperti orang Jawa, lebih nrimo, mengalah. Orang Melayu lebih senang hidup rukun damai daripada cari perkara. Orang Madura sekiranya ada persengketaan sedikit, langsung cabut clurit. Membacok. Orang-orang Melayu takut. “Karena orang Madura tahu orang Melayu takut, ya, mereka menjadi lebih sewenang-wenang lagi.” "
Kesimpulannya adalah penyebab terjadi sanggoledo ini belum diketahui.
Awal terjadinya pengungsian, dan di daerah mana pengungsian itu berada
Pemda menempatkan pengungsi di berbagai fasilitas umum, seperti komplek GOR Pangsuma, Stadiun Sultan Syarif Abdurrahman, Stadiun Bulu Tangkis Khatulistiwa, dan asrama haji.
Dan ketika kerusuhan yang berbau SARA kembali meluas di tahun 1999 yaitu peristiwa Sambas. banyak pengungsi yang ingin kembali menempati tempat umum tersebut. Kala itu, masyarakat diangkut dengan truk, dan sebagian lagi dengan kapal perang milik TNI AL. terjadi pula perdebatan alot antara Pemda Kalbar dengan mahasiswa, dan tokoh masyarakat Madura ketika pengungsi mendekati Pontianak. Dalam rapat itu, Pemda menolak menempatkan pengungsi di berbagai fasilitas umum, seperti komplek GOR Pangsuma, Stadiun Sultan Syarif Abdurrahman, Stadiun Bulu Tangkis Khatulistiwa, dan asrama haji. Dengan alasan ketika peristiwa sanggoledo banyak barang-barang yang dirusak. [5] Akhirnya Negosiasi berlangsung di rumah pendopo gubernur Kalbar yang kala itu dipimpin oleh Alm. Aspar Aswin, beberapa kepala dinas, mahasiswa dan tokoh Madura, H. Sulaiman. Dan akhirnya sikap pemerintah melunak dan menampung pengungsi di tempat umum.
Keadaan Kalimantan Barat sekarang
Syukur alhamdulillah keadaan Kalimantan Barat saat ini sudah aman, dan semoga tidak ada lagi peristiwa-peristiwa yang berdarah terjadi di kalimantan barat ini. Hal ini dikarenakan Gubernur Kalimantan Barat dipimpin oleh Cornelis yang bersuku dayak, Wakil Gubernur adalah Christiandy Sanjaya bersuku tionghoa, Walikota PontianakSutarmidji bersuku melayu, wakil walikotaParyadi bersuku Madura, dan belum lagi beberapa bupati - bupati yang bersuku Jawa. Hingga tulisan ini dibuat, seluruh penduduk kalimantan barat masih berbeda-beda namun harmonis.
References
- ^ Google Books "Mencari Indonesia: demografi-politik pasca-Soeharto, Riwanto Tirtosudarmo" 'Google Books' [1]
- ^ FICA.org: Sanggoledo
- ^ "FFI" 'beginilah Jadinya kalo Gak menghormati Tuan tanah Dayak'
- ^ Muhlis Blogspot 'mereka yang tercabut' [2]
- ^ Muhlis Blogspot 'mereka yang tercabut' [3]